Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Teknologi Industri Mebel Kalah dari Vietnam, HIMKI Harap Pengusaha RI Berbenah
30 Agustus 2024 10:26 WIB
ยท
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) mengakui penerapan teknologi industri mebel dan kerajinan Tanah Air jauh tertinggal dari Vietnam.
ADVERTISEMENT
Wakil Sekretaris Jenderal III HIMKI, Syahrizal Mustafa, menyebutkan pelaku usaha ingin mempelajari lebih lanjut penerapan teknologi di industri mebel Vietnam. Tak tanggung-tanggung, negara sosialis tersebut bisa lebih maju belasan hingga puluhan tahun dari Indonesia.
"Saya melihat tumbuhnya industri yang besar, tapi tumbuhnya industri itu tidak semata-mata besar dalam segi skala, tapi mereka juga punya konten teknologi yang memadai. Ini yang kita lemah, kita hanya bangun tapi manual, lebih banyak padat karya bukan pada teknologi," katanya kepada kumparan di Ho Chi Minh City, Vietnam, dikutip Jumat (30/8).
Untuk belajar lebih lanjut, HIMKI pun melawat ke beberapa pabrik mebel di Vietnam, yakni dua perusahaan anggota Binh Duong Furniture Assosiation (BIFA), Lam Viet Joint Stock Company dan Hiep Long Fine Furniture Company.
ADVERTISEMENT
Lam Viet didirikan pada tahun 2002, memproduksi mebel outdoor, indoor, dan peralatan dapur. Saat ini memiliki total 800 karyawan dengan luas area pabrik mencapai 8 hektare. Perusahaan bisa memproduksi setidaknya 200 kontainer setiap bulannya.
Hiep Long merupakan perusahaan yang berdiri sejak 1993, saat ini memiliki total 600 karyawan dengan luas pabrik 4 hektare. Perusahaan juga memproduksi berbagai macam produk mebel indoor dan outdoor.
Kemudian pabrik ketiga adalah anggota Dong Nai Wood and Handicraft Association (DOWA) yaitu Tavico. Perusahaan yang didirikan pada tahun 2005 ini memiliki kapasitas produksi hingga 200 ribu m3 kayu bulat dan 200 ribu m3 kayu potong per tahun dan sudah masuk dalam rantai pasok kayu global.
"Mereka sudah berapa generasi, 30 tahun lebih, sudah implementasi belasan tahun, artinya dari sisi itu kita sudah ketinggalan belasan tahun, mereka sudah implementasi itu 15 tahun yang lalu kita baru mau, itu pun masih susah," jelas Rizal.
ADVERTISEMENT
Rizal mengungkapkan, pabrik mebel di Indonesia bisa memiliki jumlah karyawan hingga 2.000-3.000 orang. Meski lebih padat karya, namun produktivitasnya belum tentu lebih besar dari perusahaan di Vietnam.
"Skala produksi di sini bisa jual 30 kontainer per minggu, kita mungkin cuma berapa belas atau berapa kontainer seminggu, walaupun dengan jumlah karyawan sedikit. Produktivitas bisa dicapai karena ada teknologi," tegasnya.
Perbedaan lain dengan Indonesia, Rizal menyebutkan perusahaan mebel di Vietnam sudah menerapkan Enterprise Resources Planning (ERP) sejak belasan tahun lalu. ERP merupakan sistem teknologi informasi yang memantau proses produksi mulai dari pengolahan bahan mentah sampai pengiriman produk jadi dan penjualannya.
Implementasi teknologi di industri ini, menurut Rizal, adalah sebuah keniscayaan. Meski demikian, dia mengakui bahwa penerapan teknologi dan mesin canggih di pabrik mebel, butuh sokongan pendanaan atau investasi yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut, kata dia, yang membuat pola pikir para pelaku usaha mebel dan kerajinan di Indonesia enggan menerapkan teknologi di pabriknya yang sudah mendulang keuntungan jumbo.
"Saya pernah beberapa kali dapat komentar dari teman anggota kita juga, ah ngapain mau pakai IT segala, gini juga doang enak dapet sekian miliar setahun. Ya tidak apa-apa, sah-sah saja dia punya pendapat begitu," tutur Rizal.
Kendati strategi perusahaan berbeda-beda, Rizal masih berharap agar para pengusaha mebel dan kerajinan di Indonesia mengubah pola pikirnya. Sebab, dia meyakini bahwa jika tidak kunjung berubah, industri manufaktur Indonesia akan mandek.
"Saya hampir punya keyakinan dia tidak akan berkembang skalanya segitu-gitu saja, artinya akan sulit bagi dia beradaptasi merespons kebutuhan dan kemauan konsumen dan peningkatan atau upscalling kapasitas produksi," kata Rizal.
ADVERTISEMENT
Rizal juga menilai, dengan penerapan teknologi pasti ada konsekuensi lanjutan, seperti pengurangan jumlah karyawan sebagai dampak perubahan sistem manajemen. Namun, hal tersebut menjadi bagian dari adaptasi, kendati memang harus dilakukan dengan bijak.
"Dengan menggunakan teknologi yang terkini existing workers itu bisa kita switch. Pait-paitnya memang kita harus PHK, enggak apa-apa PHK dengan layak saja orang juga mau kok kayaknya asal layak ya," tandasnya.
Adapun perbedaan produktivitas industri mebel dan kerajinan Indonesia dan Vietnam salah satunya terlihat dari kinerja ekspor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021 ekspor mebel dan kerajinan Indonesia mencapai hampir USD 3,5 miliar, namun turun menjadi USD 3,2 miliar pada 2022, kemudian menjadi USD 2,5 miliar pada 2023.
Ekspor mebel dan kerajinan Indonesia pada Januari-Maret 2024 secara kumulatif mengalami penurunan sebesar 4,01 persen. Kelompok furnitur atau mebel pada tahun ini mengalami kenaikan tipis sebesar 1,15 persen, sedangkan kelompok kerajinan turun 17,26 persen.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, berdasarkan data BIFA, total omzet ekspor kayu dan produk kayu Vietnam mencapai USD 7,5 miliar sepanjang semester I 2024. Tahun ini, negara tersebut memperkirakan total nilai ekspor olahan kayu bisa mencapai rekor di USD 17,5 miliar.