Terengah-engah Kelas Menengah, Banyak Beban Iuran Tapi Tak Ada Bantuan

28 Juli 2024 11:49 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi seorang pekerja wanita dengan kerjaan yang melebihi kapasitas. Foto: TORWAISTUDIO/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang pekerja wanita dengan kerjaan yang melebihi kapasitas. Foto: TORWAISTUDIO/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Beban pekerja kelas menengah akan semakin bertambah. Gaji mereka bakal kembali dikurangi untuk membayar iuran demi iuran setiap bulannya.
ADVERTISEMENT
Tak berhenti di iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, hingga pajak penghasilan (PPh), gaji pekerja bakal kembali dipotong lewat adanya program asuransi wajib kendaraan dan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Kewajiban pembayaran asuransi kendaraan bermotor berupa tanggung jawab hukum pihak ketiga atau Third Party Liability (TPL) akan berlaku mulai Januari 2025. Ihwal skema pemungutan premi beserta besarannya masih digodok.
Sementara itu, aturan mengenai Tapera tertuang dalam UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera. Aturan turunannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 dan berlaku pada 2027 mendatang. Peserta Tapera wajib membayar iuran 3 persen dari upah, sebesar 2,5 persen ditanggung pekerja dan 0,5 persen ditanggung pemberi kerja. Sedangkan bagi pekerja mandiri harus menanggungnya sendiri, sebesar 3 persen.
ADVERTISEMENT
Di tengah berbagai pungutan tersebut, nasib kelas menengah belum diiringi dengan mudahnya insentif atau perlindungan sosial dari pemerintah, termasuk pemberian bantuan sosial. Tak heran, kalau pekerja kelas menengah bakal kesulitan mengelola keuangan, seperti untuk menabung dan menyisihkannya untuk orang tua.
Kesulitan yang dialami oleh pekerja kelas menengah tersebut diakui juga oleh mantan Menteri Keuangan dan Ekonom Senior Chatib Basri. Chatib menilai menjadi kelas menengah di Indonesia memang tak mudah. "Instrumen perlindungan sosial tak memadai," kata Chatib kepada kumparan,
Chatib Basri Foto: bekraf.go.id
Chatib membeberkan data enam bulan terakhir daya beli kelompok menengah bawah yang tergerus. Menurutnya, berdasarkan Mandiri Spending Index (MSI), porsi pengeluaran untuk groceroes (bahan makanan) meningkat dari 13,9 persen menjadi 27,4 persen dari total pengeluaran. Angka itu menunjukkan semakin rendah pendapatan seseorang, semakin besar porsi konsumsi makanan dalam pengeluarannya. Begitu pun sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Chatib menjelaskan jika pendapatan seseorang turun, maka dia akan tetap mempertahankan konsumsi kebutuhan pokoknya seperti makanan. Namun jika pendapatan menurun sedangkan konsumsi makanan tetap, maka porsi konsumsi makanan dalam total pengeluaran akan meningkat.
Chatib mengatakan salah satu cara untuk mengatasi kondisi tersebut adalah dengan memperluas perlindungan sosial kepada para pekerja kelas menengah.
"Rumitnya perlindungan sosial untuk kelas menengah ini bukan hanya soal dukungan keuangan, namun juga soal kualitas. Kelas menengah akan menuntut birokrasi yang baik, kualitas jasa publik yang baik, kualitas pendidikan yang baik dan kualitas kesehatan yang lebih baik, juga keadilan dan demokrasi. No viral no justice. Dan ini punya dampak ekonomi politik," ujar Chatib.
Kelas menengah bawah juga perlu mendapat pekerjaan dengan pendapatan yang memadai. BPS mencatat per Agustus 2023 rata-rata gaji bersih karyawan dalam sebulan hanya sebesar Rp 3.178.227. Upah tertinggi berada di Provinsi DKI Jakarta yakni sebesar Rp 5.532.624, sementara upah terendah di Jawa Tengah Rp 2.321.344.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan Bank Dunia bertajuk Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class yang terbit tahun 2020, Bank Dunia menyebut ada sekitar 52 juta masyarakat Indonesia yang masuk kategori menengah.
Kemudian, ada juga 115 juta orang yang berhasil keluar dari garis kemiskinan namun belum mencapai tingkat ekonomi yang aman (calon kelas menengah/aspiring middle class/AMC). Kelompok ini sangat rentan kembali lagi menjadi miskin.
Bank Dunia mendefinisikan kelas menengah sebagai kelompok masyarakat dengan pengeluaran (sebagai proksi pendapatan) yang berada dalam kisaran 3,5-17 kali di atas garis kemiskinan.

Kelas Menengah Terabaikan

Sejumlah pekerja berjalan usai bekerja dengan latar belakang gedung perkantoran di Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (16/4) Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, mengatakan tambahan beban pengeluaran yang bersifat wajib seperti rencana potongan Tapera dan asuransi kendaraan bermotor, dipastikan akan semakin memberatkan masyarakat kelas menengah dan bawah.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, kenaikan biaya hidup dan stagnasi pendapatan masyarakat adalah fenomena yang kini semakin terlihat jelas. Kedua hal ini dapat melemahkan daya beli.
“Kecenderungan semakin lemahnya daya beli masyarakat terutama kelas menengah dan kelas bawah ini mengkhawatirkan,” kata Yusuf.
Pelemahan daya beli masyarakat kelompok menengah tercermin dari tabungan kelas bawah dan menengah yang semakin turun. Fenomena ini bahkan terlihat secara konsisten setelah pandemi.
Yusuf mengatakan penurunan daya beli tidak terjadi pada kelas atas. Setelah pandemi, kekayaan kelas atas meningkat jauh lebih cepat dibandingkan kelas bawah dan menengah.
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tabungan orang kaya yaitu simpanan dengan nominal di atas Rp 5 miliar, antara Maret 2020 hingga Maret 2024 rata-rata tumbuh 11,1 persen per tahun. Sedangkan simpanan kelas bawah dan menengah, yaitu simpanan di perbankan untuk kelompok tiering nominal di bawah Rp 100 juta, antara Maret 2020 hingga Maret 2024 hanya tumbuh rata rata 5,5 persen per tahun.
ADVERTISEMENT
“Sejak pandemi, terlihat pola yang konsisten, pangsa tabungan kelas atas meningkat tajam dan pangsa tabungan kelas bawah semakin terpuruk,” tuturnya.
Yusuf menganggap kebijakan untuk mendorong daya beli masyarakat selama ini terfokus pada kebijakan bansos, yang diprioritaskan pada masyarakat miskin atau kelas bawah. Kelas menengah selama ini cenderung terabaikan secara sederhana karena besarnya jumlah kelas menengah dan keterbatasan APBN.
Ia menyebut jumlah kelas bawah, yaitu kelompok miskin dan rentan miskin di kisaran 100 juta jiwa. Sedangkan jumlah kelas menengah bawah di kisaran 130 juta jiwa. Hanya sekitar 40 juta jiwa yang termasuk kelas menengah atas.
“Dibutuhkan reformasi kebijakan fiskal dan perpajakan yang komprehensif agar redistribusi pendapatan dan penguatan daya beli kelas bawah dan menengah dapat berjalan progresif,” kata Yusuf.
ADVERTISEMENT
Penguatan daya beli kelas bawah dan menengah akan semakin progresif jika diikuti dengan reformasi kebijakan pengupahan yang mengizinkan kelas buruh menikmati kenaikan upah di atas tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, tidak menampik adanya beban berat yang dialami kelas menengah. Sebelum resmi dipungut iuran Tapera dan asuransi kendaraan bermotor, ia mengakui kelas menengah dari waktu ke waktu memang sudah melemah daya belinya.
“Akhirnya, bukannya ekonomi akan tumbuh meningkat, justru beban-beban baru yang datang saat ekonomi hanya tumbuh moderat saat ini akan semakin menggerus potensi untuk akselerasi,” ujar Eko.
Jika beban bertambah, Eko memperkirakan kelas menengah akan memprioritaskan makan dan kebutuhan primer. Akibatnya dunia usaha di sektor sekunder dan tersier perlu bersiap penurunan demand karena healing dan traveling bukan lagi menjadi pilihan kelas menengah.
ADVERTISEMENT