Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Peluh sebesar-besar biji jagung bertetesan dari dahi Saepudin, petambak garam asal Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Bekerja di bawah terik memang jadi kesehariannya, karena matahari adalah sahabatnya dalam bekerja memproduksi garam.
ADVERTISEMENT
Lelah? Pasti! Tapi kalau hasil panen garamnya bagus, semua peluh dan kelelahan itu terbayar lunas. Terutama jika harga jual garamnya menguntungkan dan bisa menutupi segala ongkos produksi. Tapi hal itu seperti kenyataan yang jauh dari angan-angan.
Saepudin menuturkan, sudah tiga tahun terakhir harga jual garam hasil usahanya terus turun. Bahkan pada 2018 sempat tidak laku terjual, karena produksi pada waktu itu sangat banyak. Padahal setahun sebelumnya di 2017, harga mencapai rekor tertinggi yaitu Rp 2.500 sampai Rp 4.000 per kilogram.
Kenangan harga garam di 2017, kini sepertinya makin jauh untuk digapai. Apalagi pemerintah kembali merencanakan impor garam pada 2021 ini.
"Bukan tidak setuju impor, tapi regulasinya harus diutamakan dan seperti apa?" kata Saepudin, menanggapi impor garam yang akan dilakukan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Pemerintah telah memutuskan mengimpor garam sebanyak 3,07 juta ton. Hal itu telah diputuskan pada saat rapat antarkementerian, untuk memenuhi kebutuhan tahun 2021. Impor tersebut meningkat 13,88 persen dibanding tahun 2020 yang berkisar 2,7 juta ton garam.
Pemerintah memang berdalih yang diimpor merupakan garam industri, yang tak bisa dipenuhi produksi dalam negeri. Tapi dari pengalaman Saepudin, impor selalu ikut menekan garam konsumsi produksi petambak lokal.
Saat harga anjlok, para petambak garam seperti Saepudin lebih memilih menyimpan hasil produksi mereka di gudang, areal tambak, bahkan sampai tepi jalan pantura. Para petambak terus berharap harga akan bersahabat dengan mereka, namun harapan itu tidak kunjung datang.
"Biasanya kalau masuk musim hujan harga akan naik, tapi sampai saat ini sama saja," tutur Saepudin seperti dilansir Antara.
ADVERTISEMENT
Harga garam rakyat saat ini Rp 400 per kilogram, dengan syarat sudah berada di tepi jalan serta telah dimasukkan ke dalam karung. Tentu harga tersebut tidak bisa menutupi ongkos produksi para petambak garam.
Turunnya harga garam rakyat disinyalir adanya kuota impor yang terus meningkat, sehingga garam rakyat tidak dapat terserap.
Namun alasan yang sering digunakan oleh pemerintah terkait tidak terserapnya garam rakyat oleh industri, karena Natrium klorida (NaCl) nya kurang dari 97 persen, sebab industri menetapkan NaCl garam harus di atas 97 persen.
Padahal ketika mengacu pada tahun 2017, di mana waktu itu impor sulit, garam rakyat di Kabupaten Cirebon ludes terjual dan bahkan harganya meningkat tajam, yang biasa hanya dihargai Rp 400 per kilogram, menjadi Rp 4.000 per kilonya.
ADVERTISEMENT
"Pas tahun 2017 garam kita laku, banyak industri yang memakai, karena pada waktu itu impor sulit," katanya.
Puluhan Ribu Ton Garam Rakyat Belum Terjual
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon mencatat dari tahun 2018 sampai 2020 terdapat 26.995 ton garam rakyat yang belum terserap, dengan rincian 2.848 ton kualitas satu dan 24.147,95 ton kualitas dua.
Kabupaten Cirebon menjadi salah satu produsen garam rakyat terbesar di Indonesia, di mana setiap tahunnya kurang lebih 1.557,8 hektare lahan tambak garam dikelola oleh masyarakat.
Tapi untuk potensi lahan garam dari data yang ada yaitu seluas 3.140 hektare, tersebar di delapan kecamatan yakni Losari, Gebang, Penagenan, Astanajapura, Mundu, Gunungjati, Suranenggala dan Kecamatan Kapetakan. Produksi garam rakyat di daerah Jawa Barat paling timur itu pernah mencapai rekor tertinggi pada tahun 2018 dengan jumlah 424.615,78 ton, karena pada waktu itu hampir semua lahan memproduksi garam.
ADVERTISEMENT
Sementara produksi terendah dari data yang ada yaitu pada tahun 2020, di mana dalam setahun produksi garam rakyat di lumbung garam Indonesia hanya berjumlah 2.670,78 ton.
Turunnya produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon, bukan karena lahan yang hilang, tapi disebabkan anjloknya harga garam ditingkat petambak garam.
Sehingga membuat sebagian besar para petambak pada tahun lalu memilih tidak memproduksi garam, mengingat garam mereka masih menumpuk tak laku dijual.
Kini petambak garam lokal di Indonesia menantikan kebijakan-kebijakan yang memberdayakan mereka, yang ujungnya sangat diharapkan garam lokal menjadi tuan rumah di Tanah Airnya sendiri.