Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sebagian orang mungkin tak familier dengan Tim Transparansi Industri Ekstraktif, dan baru mendengarnya justru saat ia dibubarkan. Jadi, apa ia sebetulnya dan apa fungsinya selama ini?
Tim Transparansi Industri Ekstraktif (Extractive Industries Transparency Initiatives—EITI) punya tugas cukup berat. Ia harus memastikan transparansi pendapatan negara dan pendapatan daerah yang diperoleh dari industri ekstraktif, yakni kegiatan pengambilan sumber daya alam dari perut bumi baik berupa mineral, batu bara, minyak bumi, atau gas bumi.
EITI dibentuk pada era Susilo Bambang Yudhoyono berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif.
Tim tersebut berwenang untuk meminta informasi, data, masukan, atau konsultasi kepada instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan-perusahaan industri ekstraktif, dan pihak-pihak terkait lain.
Dengan kata lain, EITI harus mencocokkan laporan keuangan perusahaan ekstraktif yang telah diaudit oleh auditor independen dengan laporan keuangan negara. Ini adalah standar global untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas pada sektor migas dan pertambangan —yang selama ini menyumbang sekitar 90 persen pemasukan negara.
Tim Transparansi Industri Ekstraktif terdiri dari dua bagian, yakni tim pengarah dan tim pelaksana. Tim Pengarah diketuai oleh Menko Perekonomian dan beranggotakan Menteri ESDM, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan Prof. Dr. Emil Salim—ekonom kawakan sekaligus tokoh lingkungan yang kini berusia 90 tahun.
Sementara Tim Pelaksana terdiri dari unsur Kementerian ESDM, Kemenko Perekonomian, Kemenkeu termasuk Dirjen Pajak, Kemendagri, BPKP, Dirut Pertamina, perwakilan pemerintah daerah yang memiliki industri ekstraktif, perwakilan asosiasi perusahaan di bidang terkait, dan perwakilan lembaga swadaya masyarakat.
Jadi, EITI melibatkan pemerintah, pebisnis, dan kelompok masyarakat sipil. Standar ini diterapkan di lebih dari 53 negara di dunia. Secara berkala, Tim Transparansi Industri Ekstraktif menerbitkan laporan berisi temuan dan rekomendasi untuk perbaikan tata kelola industri ekstraktif di Indonesia.
“Rekomendasi diharapkan dapat menjadi acuan bagi seluruh pemangku kepentingan yang bersinggungan langsung dengan pengelolaan migas dan pertambangan,” ujar Dr. Montty Girianna, salah satu deputi di Kemenko Perekonomian yang menjabat sebagai Ketua Tim Pelaksana Transparansi Industri Ekstraktif, seperti dimuat dalam laman kementeriannya.
Kerja Tim Transparansi Industri Ekstraktif membuat Indonesia ditetapkan sebagai negara taat asas transparansi penerimaan industri ekstraktif (EITI compliant) pada Oktober 2014. Indonesia adalah negara pertama di Asia Tenggara yang menyandang status tersebut.
EITI complaint itu juga memiliki arti: informasi tentang pengelolaan industri migas dan pertambangan di Indonesia dapat diakses oleh setiap warganya yang membutuhkan.
Transparansi sektor industri ekstraktif di Indonesia mendapat angin segar pada 2007 ketika Sri Mulyani—yang saat itu juga menjabat sebagai Menkeu di pemerintahan SBY—memberi dukungan bagi praktik EITI dalam pertemuannya dengan Transparency International Indonesia, LSM antikorupsi dengan jaringan global.
Selanjutnya, KPK meninjau persiapan dasar hukum pelaksanaannya dan Kementerian ESDM membahas rancangan peraturannya. Berikutnya, Menko Perekonomian Boediono menggelar rapat koordinasi terkait EITI. Hingga akhirnya pada 2010 SBY menandatangani peraturan presiden mengenai pemberlakuannya.
Seperti dikutip dari situs EITI Indonesia , Tim Transparansi Industri Ekstraktif mewajibkan sekitar 200 perusahaan sektor migas dan minerba di Indonesia untuk memberikan informasi keuangannya. Informasi juga diminta dari Ditjen Migas dan Ditjen Minerba Kementerian ESDM; Ditjen Anggaran, Ditjen Pajak, Ditjen Perbendaharaan, dan Ditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu; SKK Migas; serta sejumlah pemerintah daerah kaya energi seperti Riau dan Kalimantan Timur.
Transparansi semacam ini memungkinkan masyarakat untuk mengetahui pengelolaan dan pemanfaatan sektor industri ekstraktif. Juga membuat pelaku bisnis dapat berkompetisi sehat untuk memberikan manfaat optimal bagi negara.
“Bagi sektor privat, transparansi tentu baik untuk iklim usaha dan investasi,” kata Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay—koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola sumber daya ekstraktif—kepada kumparan, Rabu (22/7).
Maryati yang pernah menjadi perwakilan masyarakat sipil dalam Tim Transparansi Industri Ekstraktif menilai EITI telah banyak melecut transparansi di sektor migas dan minerba. “Misalnya mendorong sistem e-PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak elektronik), optimalisasi pajak … dan keterbukaan beneficial ownership korporasi.”
Beneficial ownership (BO) ialah orang atau sekelompok orang yang secara langsung atau tak langsung memiliki atau mengendalikan suatu perusahaan. Tahun 2020 ini, EITI menargetkan data BO dari perusahaan-perusahaan ekstraktif di Indonesia dapat dibuka lebih luas. Tujuannya: untuk mencegah pelanggaran seperti manipulasi pajak, pencucian uang, pendirian perusahaan fiktif, sampai pendanaan terorisme.
Untuk mengupayakan transparansi data BO tersebut, EITI bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kantor Staf Presiden, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Ditjen Pajak, dan lain-lain.
“Sejumlah perusahaan telah melaporkan siapa pemilik manfaat sebenarnya (beneficial ownership) di perusahaan mereka, namun masih diperlukan kajian lebih dalam untuk menjamin kebenaran data tersebut,” kata Montty Girianna seperti dilansir Antara , Maret 2019.
Ke depannya, ujar Maryati, EITI sesungguhnya hendak mendorong pula pelaporan data-data terkait dampak lingkungan dan iklim oleh perusahaan-perusahaan industri ekstraktif.
Oleh sebab itu, ia menyayangkan pembubaran Tim Transparansi Industri Ekstraktif oleh pemerintah. Terlebih, EITI menurutnya selama ini memperkuat standar tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
“Ini tentu akan berdampak pada praktik EITI. Belum ada kepastian apakah Kementerian ESDM dan Kemenkeu yang diberi mandat untuk menjalankan EITI dapat memenuhi semua standar tersebut,” kata Maryati.
Pada 2019, pemerintah menggeser tugas dan fungsi beberapa kementerian dan lembaga, termasuk Tim Transparansi Industri Ekstraktif. Tim ini beralih dari kendali koordinasi Kemenko Perekonomian ke Kemenko Kemaritiman dan Investasi.
Dalam rilis pada 24 Juni 2020, anggota Tim Pelaksana EITI menyatakan tengah mempersiapkan peralihan susunan Tim Pengarah dan Tim Pelaksana EITI.
“Masa transisi ini menjadi momentum penting bagi pemerintah bersama pelaku usaha dan masyarakat sipil untuk menunjukkan komitmen mendorong transparansi dan akuntabilitas sektor ekstraktif. EITI Indonesia sebagai platform multistakeholder groups yang mendorong kolaborasi dalam perbaikan tata kelola sektor ekstraktif sudah sepatutnya dipertahankan dan diperkuat di pemerintahan periode dua Jokowi ini,” tulis rilis tersebut.
Sebulan kemudian, EITI dibubarkan—bersama 17 lembaga lainnya.
Kemenko Kemaritiman dan Investasi sampai saat ini belum memberikan respons terkait persoalan ini. Sementara Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo sempat mengatakan ada beberapa alasan di balik pembubaran lembaga .
Pertama, untuk penyederhanaan dan perbaikan birokrasi guna mempercepat proses pengambilan keputusan. Kedua, agar tak tumpang tindih dengan kementerian atau lembaga lain sehingga dapat meningkatkan efisiensi.