Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Ada suatu masa ketika Genoa sama sekali tak punya tandingan di persepakbolaan Italia. Pada tujuh gelaran pertama kompetisi sepak bola nasional di Italia, hanya sekali mereka gagal membawa pulang trofi juara.
ADVERTISEMENT
Genova, kota tempat Genoa berasal, memang punya peranan penting bagi Calcio. Lewat kota pelabuhan tersebut, sepak bola dibawa masuk pelaut-pelaut Inggris ke Italia Pada 1897, seorang dokter Inggris bernama James Richardson Spensley mendirikan divisi sepak bola di Genoa yang empat tahun sebelumnya dibentuk sebagai klub kriket dan atletik.
Spensley pun pada 1898 terlibat dalam pendirian kompetisi sepak bola berskala nasional di Italia. Namanya memang belum Serie A, tetapi mereka yang menjadi juara pada kompetisi tersebut diakui sebagai pemegang Scudetti.
Di masa itulah Genoa berjaya. Dari 1898 sampai 1904, cuma Milan (1901) yang berhasil mencuri gelar dari tangan mereka. Akan tetapi, seiring dengan bermunculannya klub-klub lain seperti Juventus, Pro Vercelli, dan Ambrosiana (cikal bakal Internazionale), dominasi Genoa pun perlahan tergerus.
ADVERTISEMENT
Setelah meraih enam Scudetti di masa awal Liga Italia , 'hanya' ada tiga gelar lagi yang diraih Genoa, itu pun terakhir mereka raih pada 1924. Sejak itu kota Genova harus puasa gelar sampai akhirnya pada 1991 trofi Serie A perdana datang ke sana.
Aktornya bukan lagi Genoa, melainkan Sampdoria , sebuah klub yang dibentuk dari hasil merger antara Sampierdarnese dan Andrea Doria pada 1946. Keberhasilan Sampdoria menjadi juara Serie A musim 1990/91 itu hingga kini belum bisa diulangi.
Serie A, sebagai sebuah liga, memang relatif mudah ditebak hasil akhirnya. Juventus, Milan, dan Inter sejauh ini jadi tiga tim paling dominan. Dalam tiga dekade terakhir, mereka sukses menggamit 26 trofi juara. Lima lainnya dibagi rata oleh Napoli, Roma, Lazio, serta Sampdoria.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, keberhasilan Sampdoria, Napoli, Roma, dan Lazio itu tak pernah dianggap sebagai cerita dongeng laiknya Leicester City di Premier League 2015/16. Sebab, mereka menjadi juara dengan bermodalkan skuat bertabur bintang.
Napoli pada 1990 masih memiliki Diego Maradona, Ciro Ferrara, dan Careca. Lazio pada 2000 memiliki Pavel Nedved, Christian Vieri, dan Alessandro Nesta. Roma pada 2001 punya Francesco Totti, Gabriel Batistuta, dan Marcos Cafu.
Sampdoria pada 1991 pun diperkuat nama-nama yang tak kalah beken. Ada Roberto Mancini , Gianluca Vialli , Gianluca Pagliuca, Toninho Cerezo, Pietro Vierchowod, sampai Attilio Lombardo dan Oleksiy Mikhailichenko. Pemain-pemain hebat ini dilatih oleh sosok tak kalah hebat bernama Vujadin Boskov.
Namun, memang, perjuangan Sampdoria tidaklah instan. Mereka berhasil menjuarai Serie A pada 1991, tetapi awal mula kisah ini terjadi pada 1979, ketika Sampdoria masih berlaga di Serie B. Pada tahun itu, kepemilikan Blucerchiati diambil alih oleh juragan minyak bernama Paolo Mantovani.
ADVERTISEMENT
Mantovani butuh waktu tiga tahun untuk mengembalikan Sampdoria ke Serie A. Sejak itu, trajektori prestasi klub pun selalu menanjak dan ini tidak bisa dipisahkan dari kepiawaian Mantovani dalam menunjuk operator yang diperlukan.
Claudio Nassi adalah sosok direktur olahraga yang dipercaya Mantovani untuk mengawal kembalinya Sampdoria ke Serie A. Setelah mendapat promosi pada 1982, Mantovani menunjuk Paul Boreas untuk menggantikan Nassi.
Mancini adalah salah satu pemain pertama yang direkrut oleh Nassi. Berbarengan dengan Mancini, datang juga Liam Brady yang tersisih dari Juventus usai kedatangan Michel Platini serta Trevor Francis yang sempat mengantarkan Nottingham Forest juara European Cup dua kali.
Setelah itu, nama-nama bintang lain pun menyusul, termasuk Graeme Souness yang, sayangnya, tidak menjadi bagian dari skuat peraih Scudetto. Dengan modal dari Mantovani, ditambah kejelian Boreas, Sampdoria akhirnya meraih gelar juara pertama pada 1985, tepatnya di Coppa Italia.
ADVERTISEMENT
Kala itu, gol-gol dari Mancini dan Vialli membawa Sampdoria menang atas Milan di partai puncak. Trofi Coppa Italia tersebut menjadi tonggak bagi keberhasilan Sampdoria yang praktis berakhir ketika Mantovani wafat pada 1993.
Pada 1986, Sampdoria menunjuk Boskov untuk menggantikan Eugenio Borsellini. Sejak Boskov datang, kesuksesan Sampdoria semakin menjadi saja. Mereka tak cuma bisa berprestasi di Italia, melainkan juga di Eropa.
Scudetto 1991 itu datang setahun setelah Sampdoria meraih gelar Piala Winners. Bertanding di Gothenburg, Swedia, La Samp menekuk Anderlecht 2-0 berkat dwigol Vialli pada masa perpanjangan waktu. Pada 1989, Sampdoria juga menjejak final Piala Winners tetapi dikalahkan Barcelona asuhan Johan Cruyff.
Bagi Sampdoria era tersebut, Barcelona adalah kryptonite-nya. Sebab, dalam tiga pertemuan berbeda, mereka selalu menelan kekalahan dari wakil Catalunya tersebut. Selain di final Piala Winners 1989, Sampdoria juga kalah dari Barcelona pada Piala Super Eropa 1990 dan final European Cup 1992.
ADVERTISEMENT
Namun, berbagai kegagalan itu tentunya berhasil ditutup Sampdoria dengan kesuksesan menjuarai Serie A. Bukan perkara mudah memenangi liga yang juga diisi oleh Maradona, Rudi Voeller, Marco van Basten, Roberto Baggio, serta Lothar Matthaeus.
Pada musim 1990/91 sendiri, Mantovani tak butuh banyak investasi. Sebagian besar aktor penting mereka di musim itu sudah hadir sejak beberapa tahun sebelumnya. Rekrutan besar Sampdoria ketika itu hanyalah Mikhailichenko yang didatangkan dari Dynamo Kyiv.
Kehadiran Mikhailichenko membuat Sampdoria jadi makin kompetitif. Namun, mereka harus menghadapi Inter, Milan, dan Napoli yang juga masih begitu kuat. Sampdoria bahkan baru bisa merasakan puncak klasemen ketika Serie A telah berlangsung tujuh pekan.
Adalah Cerezo, lewat gol tunggalnya ke gawang Milan, yang melejitkan Sampdoria. Namun, menduduki posisi pertama tak lantas membuat Sampdoria bisa bernapas lega. Dua kekalahan, masing-masing dari Torino dan Lecce, sempat membuat Sampdoria melorot ke posisi lima pada Januari.
Kesulitan yang dialami Sampdoria pada awal 1991 itu salah satunya disebabkan oleh cedera Vialli. Ketika Vialli kembali dari cedera pada Februari, Sampdoria pun bisa kembali menjadi Capolista. Semenjak itu, barulah Sampdoria benar-benar menemukan konsistensi.
ADVERTISEMENT
Roma, Juventus, Napoli, Milan, semua berhasil Sampdoria kalahkan. Namun, tak ada kemenangan yang lebih krusial dibanding kemenangan atas Inter, pesaing terdekat mereka, pada 5 Mei 1991.
Bermain di Giuseppe Meazza, Sampdoria menang 2-0 berkat gol-gol Giuseppe Dossena dan Vialli. Pagliuca juga menjadi pahlawan berkat keberhasilannya menangkis penalti Matthaeus. Kemenangan atas Inter itu membuat Sampdoria kian berada di atas angin.
Sampai akhirnya, pada 19 Mei 1991, Sampdoria memastikan gelar juara lewat kemenangan 3-0 atas Lecce di Luigi Ferraris. Vialli mencetak satu gol dalam laga itu, sekaligus menahbiskan diri jadi Capocannoniere Serie A dengan koleksi 19 gol.
Laga melawan Lecce itu sendiri bukanlah pertandingan terakhir Serie A musim tersebut. Setelahnya, Sampdoria masih harus melawat ke Olimpico untuk meladeni Lazio. Namun, sesudah menang atas Lecce, Sampdoria sudah bisa berpesta.
ADVERTISEMENT
Para tifosi menyerbu masuk ke lapangan. Para pemain dilucuti sampai tinggal mengenakan kancut. Puasa Genova akan gelar juara yang sudah berlangsung hampir tujuh puluh tahun akhirnya berakhir.
Sayangnya, setelah itu Sampdoria perlahan mengalami kemunduran. Para bintang mereka pun berloncatan ke klub raksasa. Vialli, Lombardo, dan Vierchowod ke Juventus, Pagliuca ke Inter, lalu Mancini ke Lazio.
Kepindahan para bintang ini memang terjadi secara gradual. Namun, meninggalnya Mantovani pada 1993 membuat Sampdoria tak lagi punya sumber daya untuk mencari pengganti. Sampdoria memang bisa meraih satu Coppa Italia lagi pada 1994 tetapi hanya lima tahun sesudah itu mereka terdegradasi ke Serie B.
Sampai sekarang, Sampdoria belum bisa kembali ke masa kejayaan. Pada dekade 2000-an, mereka sempat menjadi kuda hitam tetapi tak lebih dari itu. Bahkan, di Serie A 2019/20, Sampdoria harus berjuang untuk lepas dari degradasi.
ADVERTISEMENT
Nasib buruk yang dialami Sampdoria ini sebenarnya tak berbeda dengan apa yang dirasakan klub-klub seperti Parma dan Fiorentina. Kesuksesan masa lampau yang mereka raih sangat tergantung pada figur alih-alih model bisnis berkesinambungan. Ketika figur itu tiada, prestasi pun tak jarang berubah jadi bencana.
-----
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona . Yuk, bantu donasi atasi dampak corona.