Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
28 September 1893, Batavia berkenalan dengan sepak bola. Tanah ini menjadi pijakan pertama di Nusantara bagi mereka yang menggelindingkan bola dari kaki ke kaki, merayakan kemenangan dari satu lapangan ke lapangan lain.
ADVERTISEMENT
Batavia bersalin rupa, berganti nama menjadi Jakarta, tapi sepak bola tetap di sana. Persija memang menjadi yang terbesar di Jakarta hingga sekarang. Jika orang-orang bicara tentang geliat sepak bola di Ibu Kota, Persija akan menjadi jawaban kebanyakan.
Namun, Persija tidak sendirian. Jakarta bukan menjadi milik Persija seorang. Wakil Asprov DKI Jakarta, Aldi Karmawan, menjelaskan ada 21 klub yang tersebar di seluruh Jakarta. Namun, ke-21 klub itu memang masih berkutat di kompetisi Liga 3.
“Persija ini 'kan sebenarnya Persija Jakarta Pusat, kita masih memiliki ‘persija-persija’ yang lain atau perserikatan yang lain. Misalnya, ada Persitara. Ada juga Persija Jakarta Selatan (PSJS). Di Jakarta Barat ada Persija Barat. Ada juga Persijatim, tapi sudah dijual. Nah, sekarang yang mewakili Jakarta Timur itu Jakarta Timur FC. Tinggal Pulau Seribu yang belum ada perserikatannya,” jelas Aldi kepada kumparanBOLA.
ADVERTISEMENT
Namun, Persija memang menjadi klubnya Jakarta. Persija membuktikan diri sebagai salah satu yang terbaik dengan deretan prestasi. Bahkan, kini Persija menjadi satu-satunya klub asal Jakarta yang bermain di Liga 1.
“Orang-orang awam mengetahui Jakarta itu cuma Persija karena yang tampil di Liga 1 sekarang cuma Persija. Mungkin mereka tertarik untuk mengikuti perkembangan dunia bola. Tapi, dengan kekisruhan dunia bola yang ada di negara kita, mereka jadinya tidak terlalu mengikuti (ada beberapa hal yang luput). Akhirnya, mereka berpikir karena yang paling ramai sekarang mewakili DKI adalah Persija, ya, tahunya Persija saja,” lanjut Aldi.
Sebenarnya tak mengherankan jika Persija menjadi simbol sepak bola Jakarta. Berhitung mundur, Persija bahkan sudah ada sebelum Sumpah Pemuda. Persija mendeklarasikan diri pada 28 Oktober 1928 dengan nama Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ). Ini bukan sekadar klub sepak bola, tapi juga medium ampuh bagi anak-anak muda Jakarta untuk melawan penjajah.
ADVERTISEMENT
Ke depannya, VIJ juga menjadi salah satu tonggak yang menopang kelahiran Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Serupa VIJ, PSSI tidak melulu tentang menendang bola dan mencetak gol. PSSI juga didirikan untuk melawan penjajahan Belanda dan Jepang.
Sepak bola memang perkara ajaib. Di balik kucuran keringat, tekel keras, dan lesakan gol ada perlawanan memperjuangkan kedaulatan. Syukurlah karena VIJ tak sendirian. Masih ada kawan-kawan Bandoengsche Indonesia Voetbal Bond (BIVB), Madioensche Voetbal Bond (MVB), Soerabajasche Indonesia Voetbal Bond (SIVB), Indonesia Voetbal Bond Magelang (IVBM), Persatuan Sepak Bola Mataram (PSM), dan Vortenlandsche Voetbal Bond Solo (VVBS) yang berjuang sama.
Saat kemerdekaan sudah direngkuh, sepak bola tetap bergulir. Kali ini tiap gelindingan bola berarti upaya mengejar prestasi. Persija tetap ada di sana. Tapi, Macan Kemayoran tak selamanya garang.
ADVERTISEMENT
Ambil contoh saat sepak bola Indonesia baru berkenalan dengan Liga Indonesia (LI), hasil peleburan Galatama dan Perserikatan pada 1994. Persija bahkan hanya sanggup menempati posisi 13 Wilayah Barat pada 1995/96. Dua tahun berikutnya, Persija tak membaik. Permasalahan finansial mengguncang Persija. Mereka tidak mampu membeli pemain-pemain hebat untuk bersaing di Liga Indonesia.
Juru selamat itu bernama Sutiyoso, sang Gubernur Jakarta. Menjabat sebagai gubernur sejak 1997, Sutiyoso paham betul bahwa sepak bola mesti ditopang dengan kekuatan finansial untuk sanggup merengkuh gelar juara.
Menggalang dana, menggerakkan relasi untuk menopang Persija bukan persoalan mustahil bagi Sutiyoso. Terlebih, Sutiyoso gila bola, begitu memuja Persija. Jika Persija era Perserikatan memiliki Ali Sadikin, Persija Liga Indonesia memiliki Sutiyoso.
ADVERTISEMENT
Persija bangkit. Namun, klub-klub Jakarta lainnya tetap terseok. Jurang pemisah itu semakin kentara, terutama saat wacana kebijakan Jakarta Satu muncul. Dalam bayangan Sutiyoso, klub sepak bola di Jakarta itu cuma Persija.
Hasilnya, adalah kucuran APBD, bahkan saat Sutiyoso sudah tak menjadi penguasa Jakarta. Ambil contoh apa yang terjadi pada Persitara. Keberhasilan mereka menembus Liga Super Indonesia 2008/09 yang menjadi kompetisi kasta tertinggi sepak bola Indonesia saat itu melahirkan wacana bahwa mereka akan menerima APBD--setidaknya--16 miliar rupiah.
Namun, kenyataan berkata lain. Saat Persija mendapatkan 22 miliar rupiah, Persitara yang cuma menerima 2 miliar rupiah. Itu belum ditambah dengan persoalan dana APBD yang tak turun-turun hingga putaran pertama tuntas.
ADVERTISEMENT
Di balik pampatnya aliran dana ini, ada aturan pemerintah pusat mengenai larangan penggunaan APBD untuk sepakbola secara berturut-turut. Berangkat dari situ, dana akan diberikan dalam mekanisme hibah.
Bicara jurang pemisah, tak cuma tentang sokongan finansial, tapi juga infrastruktur penting semacam stadion. Serupa klub lainnya di Indonesia, Persija pun tak punya stadion sendiri. Cerita perjalanan dari Lebak Bulus ke Menteng juga ada di dalamnya. Namun, Stadion Utama Gelora Bung Karno yang masyhur itu kini boleh disebut sebagai kandang Persija.
Hanya membutuhkan waktu dua menit dengan mesin pencari internet untuk menemukan semegah apa stadion ini. Tapi, fasilitas serupa tak dinikmati oleh klub lain di Jakarta. Paling hebat, mereka bertanding dan berlatih di stadion mini (mini stadium). Silakan datang sendiri ke Stadion Tugu, Stadion Cendrawasih, dan Stadion Gagak Hitam untuk melihat rumah mereka.
ADVERTISEMENT
Termarjinalkan menjadi istilah yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi pada klub-klub di Jakarta selain Persija. Keberadaan PSJS yang lahir pada 1975, serta Persija Barat dan Persitara yang lahir pada 1979 (meski masih dengan nama Persijatimut), diabaikan hampir sepanjang usianya.
Lapangan bola memang tak tentang hamparan rumput hijau melulu. Sialnya, tak cuma onak, aral, dan kekalahan yang muncul di setiap sisinya. Ada pula setan paling kurang ajar bernama keterasingan yang begitu gemar melahirkan ketakutan, lantas mendekatkan siapa pun pada kematian.
Namun, lapangan sepak bola adalah karibnya kejutan. Walau marjinal, mereka--ketiga klub itu--tak mati. Kali ini, itulah kejutannya.
====
*kumparanBOLA membahas cerita mengenai bagaimana caranya klub-klub marjinal di ibu kota bertahan hidup lewat kaca mata PSJS, Persitara, dan Persija Barat. Anda bisa mengikuti pembahasannya via topik 'Klub Marjinal Ibu Kota '.
ADVERTISEMENT