Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ketika datang ke Chelsea pada 1996, usia Gianfranco Zola sudah tak lagi muda. Bahkan, media Inggris The Independent menyebut bahwa klub Zola di Italia, Parma, sudah sepantasnya senang dengan uang 5,5 juta poundsterling yang mereka dapatkan dari hasil penjualan sang pemain.
Lahir pada 1966 di Pulau Sardinia, Zola telah menginjak kepala tiga tatkala menginjakkan kaki di Britania. Kepergiannya dari Italia pun terjadi di bawah situasi yang tidak menyenangkan. Pada tahun tersebut, Zola menjadi kambing hitam atas kegagalan Lo Nazionale di Piala Eropa.
Pada sebuah pertandingan fase grup melawan Jerman, Zola dipercaya jadi eksekutor penalti. Pierluigi Casiraghi dijatuhkan Andreas Koepke di kotak terlarang dan Azzurri pun mendapat kesempatan meraih kemenangan untuk lolos ke fase gugur.
Dari titik putih, dengan yakin Zola mengarahkan bola ke sisi kiri bawah gawang Jerman. Akan tetapi, Koepke mampu membaca arah tendangannya dengan baik. Tembakan Zola itu tidak keras sehingga Koepke bisa menangkap bola dengan mudah.
Pertandingan tersebut berakhir imbang tanpa gol dan Italia tersisih dari turnamen. Republik Ceko akhirnya lolos mendampingi Jerman ke fase gugur dan kedua negara tersebut bertemu lagi pada partai puncak.
Sepulangnya ke Italia, Zola menjadi musuh bersama. Tak cuma itu, kariernya di level klub juga tiba-tiba menemui jalan buntu seiring dengan kedatangan Carlo Ancelotti ke Parma. Keengganan Ancelotti untuk memakai trequartista di timnya membuat Zola semakin merana.
Padahal, sebelum itu, Zola adalah salah satu pemain dengan sinar paling terang di Serie A. Sejak diangkut Luciano Moggi ke Napoli pada 1989 dan menjadi murid Diego Armando Maradona, Zola secara konsisten tampil di level tertinggi sepak bola Negeri Piza.
Di Napoli, Zola mampu meraih Scudetto musim 1989/90. Namun, karena problem finansial setelah kepergian Maradona yang ketahuan menggunakan kokain, Napoli terpaksa melego Zola dan sejumlah bintang lainnya semisal Careca, Ciro Ferrara, dan Daniel Fonseca.
Zola kemudian ditampung oleh Parma pimpinan Keluarga Tanzi pada 1993. Selama tiga musim, Zola menjadi pemimpin di lini serang Gialloblu dan mempersembahkan satu trofi Piala UEFA serta satu titel Piala Super Eropa. Namun, akhir ceritanya tidaklah menyenangkan.
One man's trash is another man's treasure. Apa yang menurut seseorang sudah tak lagi berguna ternyata bisa menjadi harta karun bagi orang lainnya. Perubahan dari sampah menjadi harta karun itulah yang dialami Zola pada permulaan musim 1996/97.
Di bawah asuhan Ancelotti, Zola memang sempat turun dalam 8 partai Serie A dan 2 pertandingan Piala UEFA. Namun, karena Ancelotti keukeuh menggunakan pakem 4-4-2, kehebatan Zola menjadi tidak terakomodasi.
Situasi itu membuat karier Zola jadi seperti hidup segan mati tak hendak. Namun, ketika musim 1996/97 sudah memasuki November, sebuah panggilan datang untuknya dari Tanah Britania. Ruud Gullit, mantan rivalnya di Serie A, membutuhkan bantuan Zola untuk membangkitkan Chelsea yang sudah lama tak berjaya.
Sejak menjadi juara Piala FA 1970, Chelsea mengalami penurunan gradual yang utamanya disebabkan oleh kesulitan finansial. Bahkan, pada 1982, Ken Bates bisa membeli klub berjuluk The Blues itu hanya dengan uang satu poundsterling.
Di bawah Bates, Chelsea berusaha untuk terus memperbaiki keadaan. Akan tetapi, usaha Bates itu baru menunjukkan hasilnya ketika dekade 1990-an sudah lebih dari separuh jalan. Salah satu yang membuat Chelsea saat itu bisa lebih leluasa bergerak adalah munculnya aturan Bosman pada 1995.
Aturan Bosman muncul setelah pesepak bola Belgia bernama Jean-Marc Bosman memenangi tuntutannya atas RFC Liege, Federasi Sepak Bola Belgia, serta UEFA. Dalam tuntutan itu, Bosman meminta agar pemain diperbolehkan pindah secara bebas ketika kontraknya dengan klub sudah habis.
Tuntutan Bosman tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Eropa (European Court of Justice). Sejak aturan itu muncul, sepak bola benar-benar berubah dan Chelsea menjadi salah satu kesebelasan yang menikmati hasilnya. Pada 1995 itu mereka merekrut Gullit dari Sampdoria dengan status bebas transfer.
Gullit datang ketika Chelsea berada di bawah asuhan Glenn Hoddle. Mulanya, oleh Hoddle, dia dimainkan sebagai sweeper. Akan tetapi, Gullit kesulitan dan kemudian meminta Hoddle memindahnya ke lapangan tengah. Hoddle menurut dan Gullit membuktikan ucapannya dengan baik.
Pada musim 1995/96, Gullit tampil begitu ciamik di lini tengah Chelsea. Jika tidak ada Eric Cantona yang menggila bersama Manchester United, gelar pesepak bola terbaik Premier League pasti akan menjadi miliknya.
Keberhasilan Gullit merevitalisasi permainan itulah yang kemudian membuat manajemen Chelsea memercayai dirinya menjadi pemain-manajer setelah Hoddle pergi. Pada pertengahan 1996, Hoddle menggantikan Terry Venables sebagai pelatih Timnas Inggris.
Di bawah komando Gullit, Chelsea menjalani transformasi. Dalam waktu singkat, mereka menjadi klub kosmopolitan yang tak lagi malu-malu menggunakan jasa pemain Eropa daratan. Tercatat, pada musim tersebut, dari tujuh pemain yang direkrut, enam di antaranya merupakan pemain asing.
Pemain yang direkrut pun tak main-main. Gianluca Vialli diangkut dari Juventus secara gratis usai kontraknya habis, Roberto Di Matteo dibajak dari Lazio, dan Frank Leboeuf ditarik dari Strasbourg. Ketiganya merupakan pemain kaliber internasional.
Dengan bantuan pemain-pemain tersebut, Gullit menerapkan sebuah filosofi yang dinamainya sexy football. Pada dasarnya, ini adalah gaya main khas Belanda yang dibalut dengan sentuhan flamboyan ala sang legenda.
Dalam diri Leboeuf, Di Matteo, dan Vialli, Chelsea memiliki sosok bek tangguh, gelandang pekerja keras, dan striker tajam. Akan tetapi, sexy football Gullit tentunya tidak lengkap tanpa sentuhan bakat alam. Sentuhan inilah yang dihadirkan Zola mulai November 1996.
Ketika itu jendela transfer memang belum seperti sekarang. Klub-klub masih bisa mendatangkan pemain di luar tenggat waktu tertentu dan itulah mengapa Zola bisa datang pada pertengahan paruh pertama musim 1996/97.
Dengan biaya 4,5 juta poundsterling, Zola direkrut dari Parma. Meskipun datang dengan kondisi mental babak belur, Zola bisa segera bangkit dan menunjukkan kapabilitas sebenarnya di hadapan publik Stamford Bridge. Di musim pertamanya, Zola langsung sukses mempersembahkan Piala FA.
Zola mempertontonkan sesuatu yang benar-benar baru buat Chelsea. Pemain berbakat seperti Ray Wilkins dan Pat Nevin memang sudah pernah membuat para suporter terperangah tetapi tak ada yang levelnya menyamai Zola.
Selama tujuh musim di Chelsea, Zola berhasil mengumpulkan enam gelar, termasuk dua titel berlevel Eropa. Akan tetapi, bukan itu yang diingat orang dari dirinya, melainkan aksi-aksi tak masuk akal yang entah bagaimana bisa dilakukannya tanpa kesulitan.
Salah satu contohnya bisa disaksikan di pertandingan Piala FA 2001/02 kontra Norwich City. Menerima umpan sepak pojok dari Graeme Le Saux di tiang dekat, Zola menggunakan tumitnya untuk membobol gawang The Canaries. Gol itu sampai kini masih begitu lekat di memori para penggemar Chelsea.
Selain gol ke gawang Norwich itu, gol Zola lain yang paling diingat adalah gol terakhirnya untuk Chelsea. Menghadapi Everton pada Premier League 2002/03, Zola mencetak gol lewat tendangan lob dari luar kotak penalti usai menerima umpan panjang William Gallas.
Chelsea menang 4-1 pada pertandingan tersebut dan di akhir musim sukses finis di peringkat keempat. Keberhasilan itu mengantarkan Chelsea lolos ke Liga Champions sekaligus menyelamatkan mereka dari kebangkrutan.
Selama di Chelsea, Zola mencetak 74 gol dan tak sedikit yang dicetak dengan cara sensasional, termasuk lewat sepakan bebas. Kemahiran Zola mengeksekusi bola mati ini tak bisa dipisahkan dari hari-harinya di Napoli, di mana dia melatih akurasi tendangan bebas setiap hari bersama Maradona.
Sebanyak 12 gol tendangan bebas berhasil dikumpulkannya di Premier League selama 7 musim. Jumlah itu sama dengan milik Thierry Henry dan hanya kalah dari David Beckham yang punya koleksi 15 gol. Namun, kedua pemain itu bermain lebih lama di Premier League ketimbang Zola.
Ketika Roman Abramovich membeli Chelsea dari tangan Bates pada 2003, kontrak Zola sudah berakhir. Di usia 36 tahun, Zola berniat untuk pulang ke kampung halaman dan bergabung dengan Cagliari yang kala itu bermukim di Serie B.
Abramovich berupaya membujuknya untuk bertahan setidaknya satu musim lagi karena, menurut raja minyak Rusia itu, Zola adalah salah satu alasan mengapa dia tertarik membeli Chelsea. Namun, Zola sudah kadung menjalin perjanjian verbal dengan Gli Isolani dan menolak tawaran Abramovich.
Buat Chelsea, sisanya adalah sejarah. Kedatangan Abramovich mengubah peruntungan mereka. Dana yang nyaris tak kelihatan batasnya digelontorkan Abramovich dan Chelsea pun kini telah menjadi tim elite, tak cuma di Inggris tetapi juga di Eropa.
Zola tak pernah menikmati kejayaan besar itu. Namun, sejarah akan selalu mencatat bagaimana dia menjadi salah satu aktor kunci di balik kelahiran kembali Chelsea. Dalam perspektif tertentu, Zola beruntung karena dia pergi di saat yang tepat.
Bersama Zola dan para personel legiun asing lain, Chelsea berubah menjadi kuda hitam kesayangan semua orang. Keberhasilan mereka benar-benar dirayakan oleh para penonton netral sepak bola. Bahkan, tak sedikit yang mulai menggemari Chelsea pada era Zola ini.
Setelah Abramovich datang, Chelsea menjadi lebih sukses lagi berkat gelontoran fulus yang seakan-akan tak berujung. Namun, harga yang harus dibayar adalah mereka menjadi salah satu klub paling dibenci di Inggris. Setidaknya, Zola tidak perlu merasakan kebencian tersebut sebagai pemain.
Dua tahun silam Zola akhirnya kembali ke Chelsea sebagai pelatih. Asisten pelatih, tepatnya, untuk Maurizio Sarri. Zola berhasil mengantarkan Chelsea menjadi juara Liga Europa 2018/19 tetapi akhirnya harus tersisih seiring dengan kepergian Sarri ke Juventus.
Dengan apa yang diperbuatnya untuk Chelsea, status legenda milik Zola sudah pasti tidak akan goyah. Ditambah lagi, sampai saat ini belum ada pemain yang cukup berani mengenakan kostum nomor 25 miliknya yang legendaris itu. Makin lengkaplah keagungan Zola di tanah Britania.
***
Catatan Editorial:
Lewat seri 'Invasi Calcio ke Britania ' ini kami akan mengajak Anda berkelana ke dekade 1990-an ketika Premier League masih baru belajar berjalan. Pada fase itu ada sejumlah pemain Italia yang datang untuk 'membantu' sepak bola Inggris bergerak ke masa depan. Kami ajak Anda berkenalan lebih dekat dengan mereka.
-----
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!