Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
"Soy el fuego que arde tu piel
Soy el agua que mata tu sed..."
ADVERTISEMENT
Siapa pun yang pernah menyaksikan serial web 'Narcos' rilisan Netflix akan merasa familiar dengan kata-kata berbahasa Spanyol di atas. Itu adalah penggalan lirik lagu tema serial tersebut, 'Tuyo', yang digubah dan didendangkan Rodrigo Amarante dengan syahdu.
'Narcos' menuai banyak pujian. Kualitas produksi yang jempolan, riset yang mendalam, akting yang brilian. Semua dimilikinya. Kisah Pablo Escobar pun mendadak jadi ramai diperbincangkan oleh generasi yang sebenarnya tak pernah bersentuhan langsung dengan kejadian aslinya.
Meski demikian, ada satu sisi penting dalam hidup Escobar yang tidak pernah disentuh oleh 'Narcos'. Yakni, kecintaannya terhadap sepak bola. Soal ini, cerita cukup lengkap bisa Anda saksikan di 'The Two Escobars', salah satu seri dokumenter '30 for 30' keluaran ESPN.
ADVERTISEMENT
Sesuai judulnya, 'The Two Escobars' menceritakan dua orang bernama belakang Escobar: Pablo dan Andres. Dua orang ini dipertemukan lewat keterlibatan Pablo dalam klub sepak bola Atletico Nacional, tempat Andres berkarier. Kedua orang itu tewas dalam kurun waktu hanya setengah tahun.
Meski fokus cerita ada pada kehidupan Pablo dan Andres Escobar, 'The Two Escobars' bertutur lewat scope yang luas. Yakni, bahwa pada era keemasan kerajaan narkoba Escobar dulu hampir semua gembong terlibat begitu dalam di sepak bola.
Narco-soccer, begitu orang-orang Amerika menyebutnya. Kematian Andres, pada Juli 1994, pun tidak bisa dipisahkan dari kartel narkoba karena pembunuhnya, Humberto Castro Munoz, merupakan pengawal dari seorang gembong besar.
Jika Andres wafat pada pertengahan 1994, Pablo meninggal pada akhir 1993. Banyak yang menyebut, seandainya Pablo masih hidup saat Piala Dunia 1994 digelar, tidak akan ada yang berani menyentuh Andres.
Andres sendiri ditembak mati karena mencetak gol bunuh diri pada laga kontra Amerika Serikat yang membuat Kolombia tersingkir di fase grup.
ADVERTISEMENT
Tiga tahun kemudian, tragedi yang dialami Andres Escobar hampir saja berulang. Kali ini sosok yang menjadi sasaran pembunuhan adalah kiper Paraguay, Jose Luis Chilavert. Kiper eksentrik itu hendak dibunuh karena dianggap merugikan persepakbolaan Kolombia.
2 April 1997 di Asuncion, Timnas Paraguay menjamu Timnas Kolombia dalam pertandingan Kualifikasi Piala Dunia 1998. Pertandingan itu berlangsung keras lantaran melibatkan dua tim kuat yang sama-sama punya peluang berkompetisi di Prancis.
Tingginya tensi pertandingan kemudian berujung pada perkelahian. Chilavert dan striker Kolombia, Faustino Asprilla, yang menjadi dua tersangka utama pun diusir oleh wasit. Di akhir laga, Kolombia harus pulang dengan kekalahan 1-2.
Kekalahan ini tidak bisa diterima. Menurut kesaksian Asprilla dalam dokumenter yang ditayangkan TelePacifico, Selasa (12/11/2019) waktu setempat, seorang pembunuh bayaran menelepon kamar hotelnya seusai pertandingan tersebut.
ADVERTISEMENT
Pembunuh bayaran yang tewas pada 2004 dalam perang antarkartel narkoba itu meminta izin kepada Asprilla untuk membunuh Chilavert. Dengan tegas, striker yang pernah bermain untuk Parma dan Newcastle United itu menolak.
"Kamu sudah gila? Kamu hanya akan merusak sepak bola Kolombia. Jangan, jangan, jangan, jangan. Apa yang terjadi di lapangan biar tinggal di lapangan," kenang Asprilla.
Sang pembunuh bayaran pun mengurungkan niatnya. Di akhir cerita, Paraguay dan Kolombia pun sama-sama berhasil lolos ke Prancis 98. Pada turnamen itu, Kolombia terhenti lagi di fase grup, sementara Paraguay berhasil menembus babak perdelapan final. Sayang, Chilavert cs. kemudian kalah dari tim tuan rumah yang akhirnya jadi juara.