Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Cedera adalah momok bagi para atlet, tak terkecuali pemain sepak bola. Hal itu pula yang hampir merenggut karier Ferland Mendy.
ADVERTISEMENT
Ketika kecil, Mendy memiliki cita-cita untuk jadi pesepak bola andal. Alhasil, pada usia 9 tahun ia memutuskan mendaftar ke akademi Paris Saint-Germain (PSG). Lokasinya memang tidak jauh dari tempat tinggalnya, Meulan-en-Yvelines.
Beberapa tahun mengenyam pendidikan di sana, bukannya ilmu sepak bola yang didapat. Ia malah terkena cedera pinggul. Anehnya, cedera pinggul ini justru melebar jadi radang sendi pinggul (arthritis). Akibatnya bagi Mendy, ia harus mengenakan alat bantu ketika berjalan (hip spica cast).
Keadaan semakin buruk bagi Mendy ketika Rumah Sakit Necker-Enfants Malades, tempat Mendy berobat, menyatakan bahwa ia tak bisa lagi turun gelanggang. Mendy pun diharuskan memakai kursi roda. Di usia yang masih muda, rintangan berat sudah mengadang Mendy.
Namun, seperti kata Santiago, si orang tua di novel The Old Man and The Sea, manusia itu bisa dihancurkan, tapi tak bisa dikalahkan. Saat kakinya dianggap hancur, Mendy tidak kalah dan berusaha bangkit.
ADVERTISEMENT
Menjalani Rehabilitasi, Memulai dari Dasar Kembali
Determinasi yang Mendy miliki mengantarkannya menjalani proses rehabilitasi lanjutan. Rumah Sakit Bullion jadi tempat yang ia pilih. Di sana, ia belajar berjalan kembali, sembari membangun otot-otot dasarnya yang sempat mengendur.
Menginjak 2012, Mendy sembuh total. Ia sudah diizinkan kembali turun gelanggang. Meski begitu, kabar buruk masih menghantuinya. PSG, klub tempat Mendy bermain sejak kecil, melepasnya. Tapi mental kuat yang ia miliki membuatnya tidak gundah. Ia langsung mencari klub baru, dan akhirnya ia bergabung bersama Mantois 78.
Tidak lama kemudian, klub yang sedikit lebih besar, Le Havre, mencium bakat Mendy dan merekrutnya. Klub inilah yang jadi tempat awal kebangkitan Mendy. Meski harus belajar terlebih dahulu di Le Havre B, hanya butuh dua musim bagi Mendy menembus tim utama Le Havre.
ADVERTISEMENT
Total 50 penampilan, berbalut 2 gol dan 6 assist, dicatatkan oleh Mendy kala membela Le Havre di Ligue 2 2016/17. Meski hanya mampu mengantarkan Le Havre finis di peringkat 8, bakatnya sebagai bek kiri modern tercium oleh klub-klub besar Prancis. Olympique Lyon jadi klub yang beruntung mendapatkan jasa Mendy.
Jika Anda tahu lagu Stairway to Heaven milik Led Zeppelin, nah, klub yang bermarkas di Parc Olympique Lyonnais tersebut adalah tangga yang mengantarkan Mendy menuju bintang.
"Ooh, ooh, ooh, ooh, ooh, and Mendy's buying a stairway to heaven..."
Kenapa demikian? Karena sebelum menuju Madrid, Mendy sukses unjuk gigi di sini.
Tampil Apik di Lyon, Terbang Menuju Bintang
Musim 2017/18 jadi musim perdana Mendy bersama Lyon. Ia belum terlalu menonjol, tapi potensinya sebagai pemain muda Prancis sudah terlihat. Total 35 penampilan, berbalut 4 assist, sukses Mendy torehkan di musim tersebut. Saat itu ia masih berusia 22 tahun.
ADVERTISEMENT
Baru memasuki musim 2018/19, Mendy menggila. Jumlah penampilannya bertambah menjadi 44, dengan catatan 3 gol dan 3 assist. Bukan cuma itu, melansir Whoscored, Mendy mampu menorehkan catatan aksi menyerang dan bertahan sama baiknya.
Untuk aksi bertahan, ia sukses mencatatkan rataan tekel per laga 1,3 kali, rataan intersep per laga 1,1 kali, serta rataan sapuan per laga 1,5 kali. Berkat torehannya ini, ia jadi benteng pertahanan di sisi kiri, sekaligus kerap menyajikan perlindungan bagi bek tengah sebelah kiri Lyon.
Aksi menyerangnya juga tak kalah ciamik. Ia mampu menorehkan rataan umpan kunci per laga 1,3 kali, serta rataan usaha dribel per laga 1,6 kali. Jika menilik permainannya ketika menyerang, ia tak jauh beda dengan bek sayap kiri yang dimiliki Madrid saat ini, Marcelo.
ADVERTISEMENT
Ketika ada kesempatan, Mendy tak segan menusuk ke dalam kotak penalti. Lewat kemampuan dribelnya, ia juga kerap melewati bek-bek lawan, terutama bek-bek sayap. Ia juga pandai mengeksploitasi ruang di lini pertahanan lawan, memanfaatkan umpan terobosan yang dilakukan oleh para pemain tengah.
Daya ledaknya ketika menyerang inilah yang jadi ciri khas Mendy. Namun, meski ia senang menyerang, kelebihan lain dari Mendy adalah kemampuan bertahannya yang juga sama baik. Tak heran, ia jadi pusat perhatian klub-klub besar Eropa.
Selama dua musim, ia menapaki tangga-tangga menuju bintang, dan sekarang ia sudah jadi bagian dari bintang-bintang. Ia resmi berlabuh di Real Madrid, menyatu bersama para pemain bintang lain, menjadi Los Galacticos.
Sungguh sebuah kisah yang heroik dari seorang Mendy.
ADVERTISEMENT
***
Ada adagium yang menyebut bahwa mempertahankan sesuatu itu lebih sulit daripada meraihnya. Mendy perlu mempelajari adagium ini. Tahapan merebut satu tempat di antara bintang-bintang sudah ia lalui, melalui perjalanan yang tidak mudah tentunya.
Namun, pertanyaan untuk Mendy adalah, mampukah ia bertahan di antara deretan bintang-bintang dalam waktu yang lama? Semestinya dengan determinasi yang ia miliki, Mendy tidak perlu risau.
Toh, vonis tak bisa main bola lagi saja ia patahkan, apalagi hanya tekanan sebagai seorang Galactico?