Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Bukan Paul Gascoigne namanya jika hidupnya tidak dipenuhi anekdot. Salah satu anekdot itu pernah dituturkan oleh mantan rekan setimnya, Ally McCoist, dalam sebuah percakapan hangat dengan Alan Brazil di talkSPORT.
Gascoigne dan McCoist pernah bermain bersama selama tiga musim di Rangers . Kisah ini sendiri berasal dari permulaan musim 1997/98 yang merupakan musim pemungkas kedua legenda tersebut di Ibrox Park.
Musim itu Rangers tampil dengan wajah berbeda. Empat pemain Italia sekaligus diboyong pelatih Walter Smith ke Glasgow. Ada yang dibeli dari Juventus, ada yang direkrut dari Fiorentina, dan dua nama lain ditarik dari Perugia.
Dua pemain Perugia itu berasal dari generasi berbeda. Yang satu sudah berusia 27 tahun, sementara satu pemain lagi masih remaja. Usianya baru 19 tahun dan dia datang ke Skotlandia dengan membawa keraguan.
Remaja ini ragu bahwa dia memiliki apa yang dibutuhkan untuk sukses di dunia sepak bola. Padahal, Smith merekrutnya setelah dia tampil menawan dalam sebuah turnamen antarnegara level junior di Prancis. Terang saja dia punya potensi besar.
Namun, usia tak bisa dibohongi. Remaja itu baru sepuluh kali tampil di level senior bersama Perugia sebelum diangkut ke negeri orang. Lebih-lebih lagi, dialek Glaswegian yang digunakan di Rangers membuatnya makin sulit berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
Nyatanya, hambatan bahasa itu kemudian berhasil dia atasi. Menunjukkan determinasi di lapangan adalah caranya dan dia itu tidak cuma dia tunjukkan pada saat pertandingan tetapi juga kala latihan. Anekdot yang dituturkan McCoist itu berasal dari lapangan latihan.
Ceritanya, Rangers saat itu sedang berlatih untuk persiapan melakoni Old Firm Derby di akhir pekan menghadapi Celtic. Si remaja yang memang senantiasa tampil berangasan itu pun sama sekali tak mengendurkan determinasinya di lapangan latihan.
Itu membuat Smith khawatir. Masalahnya, determinasi itu ditunjukkan lewat tekel-tekel berbahaya. Jika ada yang cedera, bisa berabe Rangers di pertandingan sesungguhnya. Kekhawatiran itu membuat Smith lantas memanggil Gascoigne.
Sebelum jadi pemain Rangers, Gascoigne pernah tiga tahun bermain di Italia untuk Lazio. Dianggap mampu berbahasa Italia, Gascoigne diminta Smith untuk menasihati sang remaja agar tidak terlalu agresif di lapangan latihan.
"Dua menit kemudian, bola datang ke arahku dan tiba-tiba saja enam pul sepatu mendarat di dadaku!" kenang McCoist sembari terkekeh. Rupa-rupanya, instruksi Smith tadi dikorup oleh Gascoigne yang meminta sang remaja tadi untuk lebih agresif lagi.
Remaja itu bernama Gennaro Gattuso .
***
"Aku adalah orang Skotlandia yang kebetulan lahir di Calabria!" seru Gattuso ketika diwawancarai Sky Sports bertahun-tahun silam. Ucapan itu bukan lip service belaka karena faktanya memang demikian.
Sebagai pesepak bola, Gattuso tidak dikenal akan keanggunannya dalam bergerak di lapangan. Sebaliknya, dia adalah anjing pitbull yang tak segan menyalak bahkan menerjang para pemain lawan. Gaya bermainnya itu memang lebih cenderung Skotlandia ketimbang Italia.
Dalam sejarahnya, Skotlandia memang menjadi salah satu negara yang paling rajin menghasilkan tukang pukul di sepak bola. Graeme Souness, Terry Hurlock, dan Graeme Roberts, misalnya. Soal gaya bermain, Gattuso berada di kelas yang sama dengan pemain-pemain tersebut.
Menariknya, gaya bermain Skotlandia yang dimiliki Gattuso itu tak bisa dipisahkan dari latar belakangnya sebagai anak dari keluarga miskin Calabria. Sejak kecil Gattuso dididik untuk tidak mau kalah dari siapa pun dan diajarkan untuk mengubah nasib dengan kekuatan sendiri.
Didikan itulah yang membuatnya jadi berani merantau sejak berusia 12 tahun. Pada usia itu Gattuso sudah menuntut ilmu di akademi Perugia. Padahal, Calabria adalah region yang berada di ujung selatan Italia dan Perugia berada di Italia bagian tengah.
Tak seperti rekan-rekan setimnya di Milan kelak seperti Andrea Pirlo, Manuel Rui Costa, Clarence Seedorf, dan Kaka, Gattuso tak diberkati teknik olah bola mumpuni. Senjata utamanya di lapangan adalah determinasi dan itulah yang dia tunjukkan sejak belia.
Lewat modal itu, Gattuso akhirnya sukses menembus level demi level di akademi Perugia hingga akhirnya sampai ke tim senior pada 1995. Kesempatannya memang belum banyak tetapi setidaknya kemampuan Gattuso itu terendus pelatih Timnas Italia level U-18.
Penampilan bersama Italia U-18 itu akhirnya membawa dirinya ke Rangers. Akan tetapi, Gattuso sempat gagal bergabung dengan jagoan Skotlandia tersebut karena Presiden Perugia, Luciano Gaucci, menghalang-halangi.
Di Italia, ada aturan yang disebut Pasal 33. Pasal tersebut ditulis untuk memastikan klub-klub kaya (yang kebanyakan berasal dari utara) tidak seenaknya mencaplok pemain berbakat dari klub-klub kecil (yang biasanya berasal dari tengah dan selatan).
Gaucci menggunakan Pasal 33 itu untuk memblok kepergian Gattuso. Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) pun sempat terpengaruh dan menolak untuk merilis dokumen Gattuso. Akhirnya, meski sudah tiba di Glasgow pada April 1997, Gattuso tak bisa langsung bermain.
Gattuso baru bisa benar-benar mulai memperkuat Rangers pada musim 1997/98 dan di musim itu dia benar-benar membuat publik Ibrox terkesima. Tampil 40 kali di semua ajang, Gattuso memperkenalkan dirinya ke dunia sepak bola lewat musim yang penting itu bersama Rangers.
Pertengahan 1990-an memang merupakan periode unik bagi persepakbolaan Britania. Pada masa itu klub-klub Premier League berlomba-lomba mendatangkan pemain asing, khususnya dari Italia. Nyatanya, klub-klub Skotlandia pun tidak mau ketinggalan.
Pada 1996, misalnya, Celtic mendatangkan Paolo Di Canio dari Milan. Lalu, pada 1997 tersebut Rangers ikut dalam tren dengan merekrut Gattuso dan Marco Negri dari Perugia, Lorenzo Amoruso dari Fiorentina, serta Sergio Porrini dari Juventus.
Porrini dan Amoruso adalah pemain belakang, Gattuso seorang gelandang, sementara Negri adalah seorang striker. Mereka semua dipadukan dengan bintang-bintang yang sudah ada macam Gascoigne, McCoist, Joachim Bjorklund, sampai Brian Laudrup.
Para pemain itu memang tidak berhasil membawa Rangers meraih gelar apa pun di musim 1997/98 tetapi sebagian di antaranya menjadi tulang punggung kesuksesan klub pada beberapa tahun sesudahnya. Amoruso, misalnya, bertahan sampai 2003.
Gattuso sendiri diberi kontrak empat tahun oleh Rangers. Ini menunjukkan bahwa manajemen klub benar-benar percaya akan kemampuannya. Gattuso tak menyia-nyiakan itu dan atas segala keberhasilannya di Rangers dia harus berterima kasih kepada Gascoigne.
Insiden dengan McCoist di sesi latihan itu bukan kali pertama Gascoigne mengerjai Gattuso. Dua tahun silam, Gattuso pernah menuliskan kesaksiannya selama bermain di Rangers lewat sebuah kolom menarik di FourFourTwo.
Pada hari pertamanya berlatih dengan Rangers, Gascoigne langsung mengerjai dirinya. Caranya pun tidak main-main. Ketika Gascoigne baru selesai mandi tiba-tiba dia mencium bau busuk. Rupanya, bau itu berasal dari tinja yang dikeluarkan Gascoigne di kaus kaki miliknya.
Gascoigne memang berbeda. Dipaksa sekeras apa pun, dia tidak akan pernah bisa berhenti bercanda. Buang air besar di kaus kaki Gattuso adalah cara Gascoigne memperkenalkan dirinya. Sejak itu, Gascoigne pun menjadi mentor bagi Gattuso.
Keusilan Gascoigne tak berhenti sampai di situ. Karena seluruh pemain Rangers diwajibkan mengenakan setelan jas saat datang ke markas latihan, Gattuso pun mau tak mau harus berbelanja. Gascoigne dengan sukarela menemaninya, tetapi tidak tanpa akal bulus.
Setibanya di 'toko pakaian paling mahal di Glasgow itu', Gascoigne menyuruh Gattuso memilih delapan setel pakaian. Katanya, semua pakaian itu bakal dibayar oleh pihak klub yang 'sudah punya perjanjian dengan pemilik toko'.
Gattuso percaya percaya saja. Setelan jas itu akan dibayar dengan cicilan yang dipotong dari gajinya. Gattuso pun melakukan apa yang diperintahkan Gascoigne tanpa berpikir dua kali. Yah, namanya juga remaja.
Alangkah terkejutnya Gattuso bahwa ternyata tidak ada perjanjian yang terjalin antara pihak klub dan pemilik toko. "Aku sudah memilih jas, kemeja, dasi, dan ketika sampai ke kassa aku kaget. Kok, aku harus bayar 10 ribu poundsterling?" kenang Gattuso.
Ternyata, ya, memang itu akal bulus Gascoigne untuk mengerjai Gattuso. Untungnya, Gattuso tidak ditinggal di situ. Gascoigne kemudian mengeluarkan dompetnya dan membayar semua setelan jas Gattuso itu dengan uang miliknya sendiri.
"Itu adalah Paul Gascoigne yang tak banyak diketahui orang," tutur Gattuso yang kini menjabat sebagai pelatih Napoli tersebut.
Kedekatan dengan Gascoigne itulah yang membuat Gattuso merasa amat betah di Rangers, selain tentunya keberadaan tiga kompatriot, kepercayaan besar dari Smith, serta rasa cinta para suporter terhadapnya.
Rasa cinta terhadap Rangers pun terus membesar di hati Gattuso. Apalagi, di kota Glasgow ada sebuah restoran Italia milik imigran Napoli yang rutin dikunjungi Gattuso bersama Negri, Amoruso, dan Porrini. Di restoran itulah dia menemukan tambatan hati.
Istri Gattuso, Monica Romano, adalah putri pemilik restoran tersebut yang lahir di Glasgow. Pernikahan dengan Romano semakin menunjukkan bahwa Glasgow adalah kota tempat Gattuso benar-benar menjadi seorang lelaki dewasa.
Sebagai pesepak bola, Gattuso merasa bahwa Rangers adalah titik tolak kariernya. Gattuso mengaku bahwa di klub itulah dia pertama kali berpikir seperti pesepak bola profesional. Di Rangers, keberadaan para pemain bintang membuat Gattuso jadi yakin dengan kemampuannya sendiri.
Gattuso melakoni debutnya untuk Rangers dalam pertandingan melawan Heart of Midlothian di Ibrox. Dia masuk pada menit ke-80 menggantikan bek asal Australia, Craig Moore, saat Rangers sudah unggul 3-1 atas tamunya.
Dengan segera, Gattuso mampu meyakinkan Smith untuk terus memainkannya di lini tengah. Hingga akhirnya, tibalah Old Firm Derby melawan Celtic itu. Cara Gattuso bersikap di laga derbi itu membuat para suporter Rangers betul-betul mencintainya.
Sebelum pertandingan, Gattuso sudah diperingatkan oleh Smith agar tidak kelewat agresif dalam bermain. Akan tetapi, belum sampai lima menit laga berjalan, dia sudah mendapatkan kartu kuning dari wasit. Meski Smith dibuatnya pening, para suporter bersorak.
Tak cuma pandai memancing emosi lawan, Gattuso juga ternyata cukup produktif untuk ukuran gelandang bertahan. Musim itu, dia mencetak empat gol dan gol pertamanya dia hasilkan dalam pertandingan Piala UEFA melawan Strasbourg. Dengan kemampuannya ini, tak heran jika Gattuso jadi andalan.
Meski demikian, tak segalanya di Rangers berjalan menyenangkan bagi Gattuso. Selain perkara bahasa yang agak menyulitkannya tadi, masalah agama juga sempat membuatnya sedikit kesal. Gattuso adalah seorang Katolik, sementara Rangers adalah klub Protestan.
Sejak datang dari Italia, Gattuso selalu mengenakan kalung salib yang diberi ibunya. Para pemain Rangers lain kerap menggodanya untuk melepas kalung tersebut sampai akhirnya Gattuso merasa kesal. Kekesalan itu dia lampiaskan dengan menendang bola ke foto Ratu Elizabeth II.
Selain dikenal sebagai klubnya orang-orang Protestan, Rangers juga kerap diasosiasikan dengan mereka yang setia terhadap Sri Ratu. Celtic, seteru abadi mereka, adalah klub Katolik yang kerap disebut sebagai sarang Republikan.
Namun, masalah kalung salib itu tidak pernah benar-benar membuat Gattuso ingin pergi dari Rangers. Yang membuatnya pada akhirnya angkat kaki adalah kepergian Smith dan kedatangan Dick Advocaat sebagai pelatih.
Smith hengkang dari Rangers pada akhir musim 1997/98 itu karena gagal membawa klub jadi juara. Rangers ketika itu hanya mampu finis sebagai runner-up di Liga Skotlandia dan Piala Skotlandia.
Kedatangan Advocaat berbuah petaka buat Gattuso. Tak seperti Smith yang tahu bahwa posisi terbaiknya adalah gelandang bertahan, Advocaat meminta Gattuso bermain sebagai bek kanan. Tak suka bermain di posisi yang tak natural baginya, Gattuso meminta dijual.
Kekesalan Gattuso ini sempat membuat dirinya berkonfrontasi dengan Sean Connery. Ya, Sean Connery pemeran James Bond itu. Pada waktu itu Connery merupakan salah satu anggota direksi Rangers. Oleh Connery, Gattuso dibujuk untuk tidak pergi.
Akan tetapi, keputusan Gattuso sudah bulat. Bahkan, dia berani memerintah Connery untuk 'melakukan sesuatu dengan kemaluannya'. Pada Oktober 1998, Gattuso dilepas ke klub promosi Serie A, Salernitana. Semusim kemudian, Gattuso akhirnya sampai ke Milan.
***
Kedatangan Gattuso ke Rangers jelas tidak bisa disamakan dengan kedatangan Gianluca Vialli ke Chelsea, Fabrizio Ravanelli ke Middlesbrough, atau Stefano Eranio ke Derby County. Sebab, tak seperti mereka, Gattuso tiba di Inggris saat dirinya belum menjadi siapa-siapa.
Jika bintang-bintang Italia di Premier League tadi berjasa mengangkat nama klub dan liga, dalam kasus Gattuso yang terjadi justru sebaliknya. Rangers memang merekrutnya dengan semangat yang sama dengan tim-tim Britania lain tetapi merekalah yang berjasa besar bagi Gattuso.
Berkat Rangers, Gattuso akhirnya terbentuk sebagai pesepak bola, juga sebagai seorang manusia. Namun, transformasi Gattuso menjadi seorang pria dewasa itu juga dinikmati hasilnya oleh Rangers.
Transfer Gattuso ini memang bukan yang paling glamor. Akan tetapi, boleh dibilang inilah salah satu transfer terpenting dalam sejarah Rangers. Mereka sukses mengubah seorang remaja canggung menjadi pesepak bola yang akhirnya mengangkat trofi Piala Dunia.
***
Catatan Editorial:
Lewat seri 'Invasi Calcio ke Britania ' ini kami akan mengajak Anda berkelana ke dekade 1990-an ketika Premier League masih baru belajar berjalan. Pada fase itu ada sejumlah pemain Italia yang datang untuk 'membantu' sepak bola Inggris bergerak ke masa depan. Kami ajak Anda berkenalan lebih dekat dengan mereka.
-----
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!