Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Gol Bunuh Diri sebagai Sebuah Komedi Gelap
21 Agustus 2017 12:34 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
ADVERTISEMENT
"My bro @mbatshuayi #bulletheader, tapi itu tidak berarti apa-apa #thatwin," tulis Benjamin Mendy di akun Twitter-nya sejurus setelah Michy Batshuayi mencetak gol bunuh diri indah pada laga Tottenham Hotspur melawan Chelsea, Minggu (20/8) di Wembley.
ADVERTISEMENT
Gol Batshuayi itu memang sempat membangkitkan asa tuan rumah yang sebenarnya tidak kekurangan peluang untuk menjebol gawang Chelsea. Ketika itu, pertandingan sudah memasuki menit ke-82 dan Tottenham berharap dengan gol tersebut, mereka akan mampu mencuri kemenangan.
Namun, acara syukuran rumah baru Tottenham itu tidak berjalan sesuai rencana setelah pada menit ke-88, Marcos Alonso berhasil mencetak gol keduanya. Pertandingan pun berakhir 2-1 untuk kemenangan Chelsea.
Apa yang dilakukan Batshuayi memang layak membuat para pemain Chelsea, Antonio Conte, dan para pendukung mereka ketar-ketir. Masalahnya, pemain asal Belgia itu baru bermain tiga menit setelah sebelumnya dimasukkan untuk menggantikan Alvaro Morata. Bukannya menambah keunggulan Chelsea, Batshuayi justru mencetak gol penyama kedudukan bagi tim lawan.
ADVERTISEMENT
Yang mengesalkan, gol itu betul-betul indah. "Menyambut" tendangan bebas lengkung Christian Eriksen, Batshuayi menghajar bola kuat-kuat dengan kepalanya dan membuat kiper Thibaut Courtois termangu. Rekan senegara Batshuayi itu benar-benar terdiam ketika bola justru menghujam masuk ke gawangnya. Lagipula, siapa yang bisa menghentikan bola yang melaju sekencang itu?
Chelsea sendiri tidak asing dengan gol bunuh diri yang dicetak oleh penyerangnya. Jauh sebelumnya, tepatnya pada tahun 2003, Jimmy Floyd Hasselbaink, salah satu penyerang terbaik Chelsea pada era sebelum Roman Abramovich, mencetak gol bunuh diri pada laga melawan Newcastle United yang berujung pada kekalahan Chelsea.
Ketika itu laga dilangsungkan di St. James' Park, kandang Newcastle. Pada menit ke-31, The Toon Army mendapat sebuah sepak pojok. Nolberto Solano yang meneruskan sepak pojok pendek Laurent Robert mengirimkan bola ke kotak penalti.
ADVERTISEMENT
Tak disangka tak dinyana, Hasselbaink justru melakukan diving header. Niatnya, sih, untuk melakukan sundulan penyelamatan. Namun, apa lacur. Bola justru menghujam deras ke gawang Chelsea yang dikawal Carlo Cudicini. Chelsea sendiri sempat menyamakan kedudukan lewat aksi Frank Lampard, namun Olivier Bernard kemudian berhasil mempersembahkan kemenangan bagi tuan rumah.
Belakangan ini, gol bunuh diri indah memang sepertinya sedang menjadi tren. Sebelum kita membahas soal Geoffrey Kondogbia yang itu, ada baiknya kita membahas gol bunuh diri pemain Premier League lainnya, Lewis Dunk.
Jika Anda belum familiar dengan nama Dunk, wajar saja. Pasalnya, dia adalah pemain yang memperkuat klub promosi Brighton and Hove Albion. Dalam laga yang menghadapi Manchester City di pekan perdana lalu, Dunk menyambut umpan silang Fernandinho dengan sundulan keras yang membuat kiper Brighton, Matt Ryan, takluk untuk kali kedua setelah sebelumnya dipecundangi Sergio Aguero. Apa yang dilakukan Dunk memang tidak seindah apa yang dilakukan Batshuayi, tetapi jika gol itu dicetak ke gawang lawan, tetap saja bakal terlihat keren.
ADVERTISEMENT
Ah, bicara soal Lewis Dunk, pemain satu ini juga tidak asing dengan gol bunuh diri "fenomenal". Ketika itu, pada sebuah laga Piala FA pada tahun 2012 melawan Liverpool di Anfield, Dunk berusaha untuk menghalau umpan silang Luis Suarez.
Umpan silang itu sebenarnya sama sekali tidak berbahaya, mengingat tidak ada pemain Liverpool yang sedang mengganggu Dunk atau berada dalam posisi apik untuk mencetak gol. Akan tetapi, aksi konyol kemudian dilakukan Dunk. Niat sang pemain bertahan sebenarnya ingin melakukan juggling sebelum membuang bola dengan tendangan salto. Setidaknya begitu jika melihat gelagatnya.
Akan tetapi, Lewis Dunk ternyata tidak lebih hebat dari Theo Hernandez atau Paulinho dalam melakukan juggling. Tak bisa dikontrol Dunk, bola justru bergulir masuk ke gawang Brighton dan gol itu pun masuk ke dalam kompilasi resmi "Gol Bunuh Diri Terlucu di Piala FA" yang dirilis oleh FA sendiri. Bayangkan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, well, ada Geoffrey Kondogbia yang mencetak salah satu gol bunuh diri terbaik sepanjang masa pada laga pramusim Internazionale melawan Chelsea. Berniat melakukan back-pass kepada kiper Daniele Padelli, Kondogbia menendang bola terlalu keras. Hasilnya, bola pun melayang masuk ke gawang tanpa bisa dijangkau sang penjaga gawang. Untungnya, Inter akhirnya keluar sebagai pemenang pada laga tersebut.
Gol bunuh diri memang menarik. Dalam permainan sepak bola, barangkali ia adalah hal terburuk. Masalahnya, tujuan utama dari bermain sepak bola adalah mencetak gol dan ketika tujuan utama itu Anda berikan kepada lawan, well, celakalah Anda.
Terkadang, gol bunuh diri memang tak ubahnya black comedy yang sebenarnya lucu, tetapi tidak pantas juga untuk ditertawakan. Jika Anda memperhatikan gestur dan ekspresi Batshuayi setelah gol bullet header yang dicetaknya ke gawang Courtois, Anda akan tahu apa maksudnya. Mantan pemain Marseille itu tampak betul-betul terguncang dan akhirnya, tugas sebagai juru gedor pun gagal dia laksanakan.
ADVERTISEMENT
Bagi Batshuayi, Conte, serta para pemain dan pendukung Chelsea, gol itu jelas tidak lucu. Namun, bagi para pendukung klub lain yang sudah hampir pasti ingin melihat Chelsea celaka, gol itu adalah hiburan yang amat sangat menyenangkan. Bukan hanya karena gol itu sangat indah, tetapi juga karena ada potensi bahwa mereka akan kehilangan dua poin krusial dari laga itu.
Tidak lucunya sebuah gol bunuh diri juga tentu akan mengingatkan kita semua kepada sosok Andres Escobar. Pada gelaran Piala Dunia 1994, bek Tim Nasional Kolombia itu mencetak gol ke gawang sendiri pada laga kedua Grup B melawan Amerika Serikat. Pada laga itu, Kolombia kalah 1-2 dan akhirnya, mengakhiri turnamen sebagai juru kunci grup.
ADVERTISEMENT
Padahal, kala itu Kolombia adalah salah satu unggulan turnamen. Mereka punya pemain-pemain bagus dan tampil impresif pada babak kualifikasi termasuk ketika meneneggelamkan Argentina lima gol tanpa balas. Tak heran jika ekspektasi begitu tinggi dibebankan kepada mereka. Escobar yang berperan sebagai kapten tim tentu menanggung beban paling berat.
Alih-alih menjadi pahlawan, Escobar justru menjadi (salah satu) biang keladi kegagalan Kolombia. Akhirnya, setelah kembali ke negaranya, pria yang kala itu berusia 27 tahun itu pun ditembak mati. Gol bunuh diri Escobar itu merenggut nyawanya juga. Benar-benar tidak lucu.
Adapun, bagi Amerika Serikat sendiri, kemenangan atas Kolombia itu menjadi tiga poin berharga yang mengantar mereka lolos dari fase grup sebagai salah satu peringkat ketiga terbaik. Sayang, pada babak perdelapan final, mereka kalah 0-1 dari tim yang akhirnya menjadi juara, Brasil.
ADVERTISEMENT
Bicara soal keuntungan dari gol bunuh diri, Manchester United pernah menjadi salah satu tim yang paling diuntungkan dengan kemalangan tim lain ini. Pada musim 2009/10, mereka pernah mendapatkan sepuluh gol bunuh diri dalam semusim. Lalu, berdasarkan statistik yang dirilis pihak klub tahun 2015 lalu, "Gol Bunuh Diri" bahkan menjadi top skorer kelima klub sepanjang masa di bawah Wayne Rooney, Sir Bobby Charlton, Denis Law, dan Jack Rowley.
Lalu, bagaimana dengan Premier League musim lalu?
Well, jika kita bicara soal keuntungan dari gol bunuh diri, maka klub yang paling diuntungkan darinya adalah Everton di mana mereka mampu menghasilkan lima poin lebih dari apa yang seharusnya mereka kumpulkan. Musim lalu, Everton mengakhiri musim di peringkat ketujuh dengan 61 poin. Tanpa gol bunuh diri yang menentukan, poin mereka seharusnya hanyalah 56.
ADVERTISEMENT
Gol bunuh diri yang menentukan di sini maksudnya adalah gol bunuh diri yang benar-benar menjadi pembeda dalam sebuah pertandingan. Gol bunuh diri yang menentukan poin yang didapat sebuah tim pada sebuah laga. Musim lalu, Everton meraih satu kemenangan dan memaksakan dua hasil imbang berkat gol bunuh diri. Hanya saja, posisi mereka di klasemen, dengan atau tanpa gol-gol bunuh diri tadi, tidak akan berubah.
Jika Everton adalah tim yang paling diuntungkan, maka Hull City adalah tim yang paling dirugikan. Perbedaan poinnya sama, yakni lima. Musim lalu, Hull memberi lawan satu kemenangan dan kehilangan dua poin akibat gol bunuh diri. Bagi Hull, ini menarik karena seandainya gol-gol bunuh diri itu tidak ada, maka mereka tidak akan terdegradasi.
ADVERTISEMENT
Bagaimana bisa? Nah, jawabannya ada pada Crystal Palace. Tanpa gol bunuh diri Troy Deneey (Watford) di pekan ke-29, raihan poin mereka bakal mentok di angka 38 atau satu poin lebih sedikit dibanding Hull City. Tanpa gol-gol itu, poin Hull City seharusnya 39 dan bukan 34. Betul-betul black comedy, bukan?
Selain Hull, tim lain yang paling dirugikan akibat gol bunuh diri adalah Leicester City. Jika mereka tidak memberikan enam poin pada tim lawan karena gol bunuh diri Robert Huth, poin The Foxes bakal menjadi 50 dan mereka seharusnya bisa mengakhiri musim di posisi kedelapan. Lalu, di bawah mereka pun seharusnya bukan Southampton, tetapi Stoke City karena The Potters juga menjadi salah satu tim paling dirugikan oleh gol bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Catatan gol bunuh diri Stoke City ini juga menarik karena mereka adalah tim yang paling sering terlibat dalam laga yang ditentukan hasil akhirnya oleh gol bunuh diri. Ada tujuh pertandingan Stoke yang hasilnya berubah karena gol bunuh diri di mana mereka seharusnya bisa mendapat empat poin tambahan. Yang lebih menarik lagi, "top skorer" gol bunuh diri mereka adalah sang kapten Ryan Shawcross yang mencetak dua kali membobol gawang sendiri.