Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Silvio Berlusconi masih jadi orang nomor satu di Italia ketika itu dan dia geram bukan kepalang. Dia sadar bahwa nilai tukar lira, mata uang Italia sebelum euro diperkenalkan, terus melemah dan itu membuat Serie A berada dalam ancaman besar.
"Dengan melemahnya lira, tim-tim asing bisa seenaknya mencaplok pemain-pemain terbaik kita. Kita harus bicara dengan klub-klub Jerman, Prancis, dan Inggris untuk mencari solusi masalah ini," tutur Berlusconi pada musim panas 1995 itu.
Berlusconi pantas khawatir. Sebab, dia memang memiliki dua kepentingan yang berjalan beriringan. Sebagai perdana menteri Italia sekaligus patron AC Milan, Berlusconi khawatir situasi itu membuat Calcio jadi tak lagi semarak.
Sepak bola Italia waktu itu boleh membusungkan dada karena semua orang beranggapan bahwa di sanalah kompetisi terbaik berada. Pada musim panas 1995 itu Serie A masih punya Roberto Baggio, Gabriel Batistuta, sampai Paolo Maldini.
Namun, secara perlahan, kekuatan itu digerogoti. Pada pertengahan dekade tersebut klub-klub peserta Premier League di Inggris tengah berlomba-lomba mendatangkan pemain asing kenamaan. Serie A menjadi target operasi karena, kebanyakan, pemain terbaik memang berada di sana.
Mulai digulirkannya Premier League pada 1992 membuat klub-klub Inggris seketika jadi kaya raya karena uang hak siar yang mereka dapatkan jauh lebih tinggi ketimbang era Football League. Dengan terbentuknya Premier League yang secara organisasi terpisah dari FA, klub-klub peserta tak perlu berbagi uang dengan mereka yang ada di divisi bawah.
Hal itu, ditambah dengan keinginan kuat untuk menjadi kompetisi paling glamor di dunia, membuat klub-klub Premier League jadi begitu agresif di bursa transfer. Celakanya, seperti yang dibilang Berlusconi, nilai tukar lira terus melemah sehingga pemain-pemain dari Serie A bisa direkrut dengan harga 'miring' untuk ukuran Inggris.
Era tersebut menjadi tonggak penting bagi perkembangan Premier League karena di situlah mereka seperti belajar lagi soal sepak bola. Akhirnya, tampak jelas bahwasanya Inggris tertinggal jauh dari negara-negara lain, khususnya Italia.
Musim panas 1996 menjadi puncaknya, ketika Gianfranco Zola, Gianluca Vialli, Fabrizio Ravanelli, Roberto Di Matteo, dan Benito Carbone dibajak oleh Chelsea, Middlesbrough, dan Sheffield Wednesday.
Di titik tersebut, kekhawatiran Berlusconi bukan lagi sebatas kekhawatiran. Ia telah menjadi kenyataan. Lantas, apa yang membuat Berlusconi mengungkapkan kekhawatiran itu setahun sebelumnya?
Jawabannya adalah kepindahan Andrea Silenzi ke Nottingham Forest . Transfer itu membuat Silenzi jadi pesepak bola Italia pertama yang menginjakkan kaki di Premier League.
***
Nama Silenzi akan selalu diasosikan dengan keburukan. Tengoklah daftar 'Pemain Terburuk Era Premier League' dan namanya pasti bakal ada di sana bersama sosok-sosok seperti Ali Dia, Marco Boogers, serta Thomas Brolin.
Namun, ketika Silenzi datang dulu, tak ada yang tahu dia bakal jadi seburuk itu. Bahkan, prospek kedatangan Silenzi kala itu disambut begitu hangat di Nottingham. Salah satu koran sore di sana, Nottingham Evening Post, bahkan dengan berani membandingkan Silenzi dengan Baggio yang agung.
Bukan tanpa alasan memang mereka membandingkan Silenzi dengan Baggio. Kedua pemain itu sama-sama berambut panjang dan, tentunya, sama-sama berasal dari Italia. Silenzi bahkan sempat dipanggil Arrigo Sacchi ke Gli Azzurri sebelum Piala Dunia 1994. Tim itu adalah timnya Baggio.
Kredensial Silenzi memang tidak buruk selama di Negeri Piza. Pada 1990 dia bergabung dengan Napoli dan bermain di lini depan bersama Diego Maradona, Careca, serta Zola. Setelah dilego ke Torino pada 1992 pun dia terbilang konsisten membobol gawang lawan.
Bersama Torino, Silenzi pernah merasakan gelar juara Coppa Italia edisi 1992/93. Pada musim berikutnya, dia bahkan sukses mencetak 17 gol di Serie A. Jumlah itu sama dengan milik Baggio dan hanya kalah dari Zola serta Beppe Signori. Inilah yang lantas mengantarkan Silenzi ke Timnas Italia.
Maka, tak mengherankan jika Nottingham menyambutnya dengan antusias. Apalagi, waktu itu mereka tengah membangun ulang kekuatan tim setelah ditinggal Stan Collymore ke Liverpool. Mendapatkan Silenzi dengan harga 1,8 juta poundsterling, atau sekitar seperlima harga jual Collymore, tentu patut dirayakan.
Ketika Silenzi datang, pelatih Nottingham Forest, Frank Clark, girang bukan main. Postur Silenzi yang tinggi besar dinilai Clark bakal sangat membantunya dalam mengarungi Premier League yang waktu itu memang masih sangat Britania.
"Tak banyak pemain yang lebih kuat dari Andrea di Premiership. Lihatlah kekuatan kaki-kakinya dan kalian tahu dia akan sukses. Dia akan mencetak banyak gol dan dia juga bisa menjadi titik pusat serangan," ujar Clark kala itu.
Silenzi sendiri tahu caranya mencuri hati publik sepak bola Nottingham, termasuk rekan-rekannya sendiri. Dia murah senyum, doyan bernyanyi dan menari, serta tahu persis jawaban yang harus diberikan pada saat wawancara.
Suatu kali Sky Sports bertanya kepada Silenzi soal apa yang disukainya dari Inggris dan dengan tegas dia menjawab, "Birnya." Tahu sendiri. Bagi orang Inggris, bir adalah bahan bakar kehidupan. Jawaban itu membuatnya seketika jadi figur populer.
Yang kemudian menjadi problem adalah apa yang terjadi setelah hiruk pikuk itu mereda. Setelah pesta usai, Silenzi harus menghadapi realitas dan dia amat kesulitan. Kendala utamanya adalah soal bahasa serta gaya bermain Premier League yang amat berbeda dengan Serie A.
Silenzi memang disukai rekan-rekan setimnya. Akan tetapi, dia tak memiliki satu pun orang yang bisa disebutnya sebagai kawan. Satu-satunya sosok yang bisa diandalkan Silenzi di masa-masa sulit adalah penerjemah bernama Tony Constante.
Nottingham bukan kota kecil. Bahkan, kota itu merupakan salah satu yang terbesar di Inggris. Namun, bagi Silenzi, Nottingham begitu sunyi karena praktis tak ada seorang pun yang bisa diajaknya berbicara.
Constante memang menjadi teman Silenzi tetapi dia tak bisa dengan leluasa bergerak ketika sang pemain sudah harus menjalankan tugasnya untuk tim. Constante bisa membantu di luar lapangan seperti ketika anak Silenzi sakit di tengah malam tetapi lebih dari itu dia tak bisa berbuat banyak.
Dengan keberadaan Constante pun akhirnya Silenzi tetap menderita. Penderitaan ini lantas terbawa ke lapangan. Tidak cuma lapangan pertandingan, tetapi juga lapangan latihan. Tak sedikit yang bertutur bahwa Silenzi tak pernah tampak antusias berlatih.
Dalam benak Silenzi, dia tahu ada sesuatu yang salah dari dirinya sehingga sampai terdampar di Forest. Eks pemain Forest, Paul McGregor, mengisahkan penderitaan Silenzi ini kepada The Athletic bulan lalu.
"Kami ketika itu berada di Holiday Inn di Rotherham, kalau tidak salah. Dia duduk di kasurnya, aku duduk di kasurku. TV di kamar kami menyala tetapi dia menatap dengan pandangan kosong. Dia tampak menderita. 'Kamu kenapa?' tanyaku," kenang McGregor.
"Dia menoleh. 'Macca, aku ada di Rotherham, duduk di kasur ini — tanpa mengurangi rasa hormat — denganmu. Aku pernah bermain dengan Maradona! Aku pernah bermain di Italia! Aku pencetak gol hebat!' Dia kemudian menyebut nama-nama lain sebelum akhirnya berkata, 'Sekarang aku di sini. Aku ini sampah! Sampah!'"
Jauh sebelum Silenzi berucap demikian, hampir bisa dipastikan ada banyak orang yang diam-diam menyebutnya dengan deskripsi serupa, termasuk sang pelatih sendiri. Ada alasan mengapa Silenzi hanya bermain 7 kali sebagai starter untuk Forest musim itu dan alasannya bukan cedera atau perselisihan.
Alasannya simpel. Yakni, karena Silenzi memang seburuk itu. Perawakan besarnya tak berguna di Premier League. Sentuhannya terhadap bola pun membuat Romelu Lukaku jadi tampak seperti Zinedine Zidane. Tak heran kalau dia cuma bisa membuat 2 gol untuk Forest, itu pun ke gawang tim divisi bawah di turnamen domestik.
Penampilan terburuk Silenzi, menurut memori orang-orang, terjadi pada sebuah pertandingan Piala UEFA menghadapi Lyon di City Ground, kandang Forest. Pada laga itu Clark menurunkan Silenzi sebagai starter tetapi pemain berjuluk Pennelonne (Si Sapu Besar) itu tampil seperti sedang berpantomim.
Performa Silenzi membuat Alan Hansen yang ketika itu menjadi komentator laga frustrasi. Mantan bek Liverpool itu bahkan sampai berujar, "Memangnya ada 400 pemain yang cedera atau bagaimana?!"
Sampai akhirnya, kesabaran Forest pun habis. Seiring dengan kepergian Clark pada akhir musim, Silenzi pun dipulangkan ke Italia dengan status pinjaman ke Venezia. Setelah satu musim bersama Venezia, Silenzi tak pernah kembali lagi ke Forest.
Versi populernya, Silenzi menolak untuk memperkuat Forest lagi sehingga pihak klub kemudian menyobek surat kontrak sang pemain. Akan tetapi, pelatih Forest pada musim 1996/97, Dave Bassett, menuturkan bahwa Silenzi sebenarnya tidak menolak untuk kembali. Forest-lah yang merelakannya pergi.
***
Silenzi adalah pionir sekaligus martir. Kegagalannya yang mengenaskan bersama Forest pada akhirnya menjadi lelucon favorit di Britania Raya sana. Akan tetapi, dari situ sebetulnya ada beberapa poin penting yang bisa dijadikan pelajaran.
Pertama, soal sistem pencarian bakat. Silenzi tidak didatangkan dengan langkah-langkah yang benar. Di kemudian hari Clark sendiri mengaku bahwa Forest membeli Silenzi karena panik ditinggalkan Collymore.
Memang ada rekaman video yang disaksikan Clark sebelum merekrut Silenzi. Namun, yang membuatnya yakin melakukan pembelian adalah rekomendasi verbal seorang pandit bernama Don Howe. Dalam rekomendasinya, Howe lupa menyebutkan bahwa Silenzi sempat mengalami cedera parah pada musim terakhirnya bersama Torino.
Minimnya informasi membuat rekrutmen Silenzi jadi sebuah bencana, tak cuma bagi Forest yang harus menggajinya 30 ribu poundsterling per bulan, tetapi juga bagi si pemain sendiri yang begitu menderita di negeri orang.
Bicara soal penderitaan Silenzi ini, ketika itu Forest memang tidak mempekerjakan seseorang yang benar-benar menjadi penghubung antara pemain dan klub. Hanya ada penerjemah yang ruang geraknya terbatas sehingga Silenzi pun kebingungan harus berbuat apa di Inggris.
Ada satu kisah soal kebingungan Silenzi ini yang menunjukkan betapa sulitnya proses adaptasi. Suatu hari, Constante mendapati Silenzi sedang berdiri di depan kantor agen perumahan. Silenzi memegang banyak brosur tetapi mengakui tidak tahu mana yang harus dia pilih.
Ketika itu sosok yang ditugasi Forest secara khusus untuk menemani Silenzi adalah pemain asal Belanda, Bryan Roy. Sebelum ke Forest, Roy pernah bermain satu setengah tahun di Italia bersama Foggia tetapi kemampuan berbahasa Italia-nya juga terbatas sekali.
Terakhir, mengenai jurang kultural itu sendiri. Dalam bukunya, 'The Italian Job', yang ditulis bersama Gabriele Marcotti, Gianluca Vialli menyertakan penuturan dari Marcel Desailly mengenai keterbelakangan sepak bola Inggris waktu itu.
"Soal teknik dan taktik, well... Aku melihat sendiri perbedaannya ketika menyaksikan tim junior Milan dan Chelsea berlatih," tutur Desailly kepada Vialli.
"Di Milan, para pemain muda dilatih sama persis dengan bagaimana tim senior berlatih. Di Chelsea, mereka lari keliling lapangan dua kali, diberi rompi, lalu disuruh berebut bola di lapangan. Setiap hari begitu," lanjutnya.
Silenzi tidak seperti Carbone yang enggan menyentuh alkohol selama bermain untuk Sheffield Wednesday. Soal mencuri hati kawannya, Silenzi sama sekali tak kesulitan. Namun, ketika sudah berada di lapangan, dia benar-benar tak tahu harus berbuat apa karena sepak bola Inggris saat itu masih begitu primitif.
Pertimbangan Clark amat sederhana kala mendatangkan Silenzi. Karena tubuh Silenzi besar, dia dianggap bisa jadi target man untuk bola-bola menyilang yang dikirimkan dari sayap. Terbiasa dengan yang rumit, begitu diberi yang simpel Silenzi justru kesulitan.
Sejak di Forest, Silenzi tak sama lagi. Bahkan, sesudah kembali ke Italia pun dia tak kunjung bisa memperbaiki karier. Sampai pensiun pada 2001, Silenzi hanya bisa mencetak 5 gol lagi. Sepak bola tiba-tiba jadi begitu menakutkan baginya.
Walau begitu, Silenzi bukannya sama sekali tak pernah bersentuhan dengan sepak bola. Selesai bermain, dia mengambil kursus kepelatihan dan sempat berkiprah di Cisco Roma, sebuah klub gurem Italia. Putranya, Christian, pun kini menjadi pesepak bola.
Namun, Silenzi kini telah menjauh dari segala keramaian itu. Di usia 54 tahun, dia memiliki usaha konstruksi yang cukup berhasil di Roma, kota kelahirannya. Di tengah desing baja dan material lain, dia menapaki jalan sunyinya.
***
Catatan Editorial:
Lewat seri 'Invasi Calcio ke Britania ' ini kami akan mengajak Anda berkelana ke dekade 1990-an ketika Premier League masih baru belajar berjalan. Pada fase itu ada sejumlah pemain Italia yang datang untuk 'membantu' sepak bola Inggris bergerak ke masa depan. Kami ajak Anda berkenalan lebih dekat dengan mereka.
-----
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!