Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Ketika Menteri Kesehatan Inggris, Matt Hancock, meminta para pemain Premier League berkorban di masa pandemi, publik sepak bola tak tinggal diam.
ADVERTISEMENT
Awal April lalu, lewat sebuah pidato yang disiarkan ke seluruh penjuru negeri, Hancock menyatakan bahwa dia ingin para pemain Premier League menerima pemotongan gaji agar staf non-pemain tak kehilangan pekerjaan.
Pelatih Manchester United, Ole Gunnar Solskjaer, menjadi salah satu sosok yang tidak terima dengan pernyataan Hancock. Kata Solskjaer, para pesepak bola sudah melakukan banyak hal di masa pandemi dan tidak semestinya disoroti secara negatif seperti itu.
Solskjaer benar. Banyak pesepak bola yang sudah berkontribusi untuk masyarakat pada masa pandemi seperti ini. Bahkan salah satu pesepak bola itu sudah menyelamatkan 2,8 juta anak dari kelaparan berkat aktivismenya.
Pesepak bola yang dimaksud tak lain adalah anak didik Solskjaer di Manchester United , Marcus Rashford . Bekerja sama dengan FareShare, Rashford mengumpulkan dana 20 juta poundsterling untuk memberi makan 2,8 juta anak usia sekolah.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan Rashford itu tak bisa dipisahkan dari cerita hidupnya sendiri. Kepada The Times, Rashford mengakui bahwa semasa kecilnya dulu dia harus bergantung pada makanan gratis yang didapatkan di sekolah.
Karena pandemi, sekolah pun ditutup. Secara otomatis, anak-anak dari perekonomian rentan pun kehilangan sumber makanan. Itulah yang mendasari Rashford untuk bergerak.
Upaya pemain 22 tahun itu berhasil. Selain anak-anak dari ekonomi rentan, Rashford turut memperhatikan para tunawisma di Manchester. Berkat kontribusinya ini, Rashford mendapat penghargaan dari High Sheriff of Manchester.
Pergerakan Rashford tak berhenti. Gerakan itu bahkan berubah, dari yang tadinya cuma ajakan beramal menjadi sebuah aktivisme. Senin (15/6/2020), dia mengirimkan surat terbuka untuk pemerintah Inggris yang berisi permintaan agar bantuan makanan kepada anak-anak usia sekolah tidak dihentikan.
ADVERTISEMENT
Selama ini pemerintah Inggris telah memberikan kupon makanan seharga 15 poundsterling per pekan untuk 1,3 juta anak usia sekolah. Akan tetapi, memasuki masa liburan musim panas, bantuan itu disetop.
Rashford tak tinggal diam. Lewat surat terbuka itu dia menjelaskan pentingnya bantuan makanan bagi anak-anak tidak mampu. "Di masa pandemi seperti ini, seperempat dari anak-anak itu akan kelaparan," tulis Rashford.
"Ini situasi Inggris di tahun 2020 dan isu ini perlu segera ditangani. Tolonglah, selagi mata seluruh negeri mengarah kepada kalian, batalkan keputusan itu dan jadikan perlindungan orang-orang yang rentan sebagai prioritas," tambahnya.
Surat terbuka Rashford itu mendapat dukungan dari banyak pihak, salah satunya Wali Kota London dari Partai Buruh, Sadiq Khan. Namun, pemerintah Inggris yang dikuasai Partai Konservatif menolak permohonan Rashford tersebut.
Rashford belum menyerah. Sampai hari ini, Selasa (16/6), dia masih mendesak pemerintah untuk membatalkan penghentian bantuan tadi. Rashford juga mengimbau orang-orang untuk menghubungi perwakilan mereka di parlemen.
ADVERTISEMENT
Lewat tagar #maketheUturn, Rashford terus berupaya membuka mata orang-orang mengenai kesulitan yang dihadapi anak-anak dari perekonomian rentan.
"Ketika kalian mengambil susu dari lemari es, ingatlah bahwa ada 200 ribu anak yang bangun hari ini tanpa memiliki apa pun di raknya," tulis Rashford di Twitter.
***
Bagi Rashford mudah saja untuk terus hidup di dalam gelembung. Dia sudah 'jadi orang' dan sukses mengangkat derajat keluarganya.
Tak ada yang menyalahkan jika dia memilih untuk diam saja. Toh, memberi makan orang-orang kelaparan sebetulnya bukan tanggung jawabnya.
Akan tetapi, Rashford tidak memilih jalan itu. Meski sudah sukses, dia tidak melupakan asal-usulnya. Bahkan, dia ikut secara aktif memastikan anak-anak yang tumbuh dengan kondisi seperti dirinya bisa memiliki masa depan cerah pula.
ADVERTISEMENT
Rashford memang bukan pesepak bola pertama dan satu-satunya yang melakukan aktivisme. Ada pula nama-nama macam Hector Bellerin, Juan Manuel Mata, Claudio Marchisio, dan Megan Rapinoe yang sudah aktif terlibat dalam pergerakan sosial.
Setiap pemain biasanya memiliki perjuangannya sendiri. Bellerin aktif mengampanyekan hak-hak LGBTQ+, Mata aktif mengumpulkan dana lewat Common Goal, Marchisio aktif menyuarakan hak-hak pengungsi, dan Rapinoe tak berhenti memperjuangkan kesetaraan gender.
Namun, selain jumlahnya belum banyak, aktivisme para pesepak bola itu biasanya mendapat tantangan dari pihak-pihak yang merasa mereka sebaiknya diam saja. Apalagi jika isu yang mereka bawa adalah isu sensitif.
Marchisio, misalnya, dimusuhi sebagian ultras Juventus karena aktivismenya mengampanyekan hak-hak pengungsi. Buonista, begitu mereka menyebut Il Principino. 'Si Orang Baik', tetapi dengan konotasi negatif.
ADVERTISEMENT
Jangan tanya soal kata-kata kotor yang diterima Bellerin dan Rapinoe akibat perjuangan mereka. Maskulinitas beracun sepak bola membuat suara kedua figur tersebut jadi tenggelam di lautan ujaran kebencian.
Mata relatif aman dari hujatan karena aktivismenya tidak menyentuh haluan politik. Padahal, mengumpulkan donasi lewat Common Goal adalah cara pemain Spanyol itu menyatakan bahwa dunia ini tidak becus dalam melindungi anak-anak.
Apa yang dilakukan Rashford mirip dengan Mata, yaitu untuk membantu anak-anak. Akan tetapi, aktivisme Rashford ini lebih sensitif karena tensi politik Inggris memang sedang tinggi. Rashford dianggap menjadi oposisi untuk kabinet Konservatif pimpinan Boris Johnson.
Anggapan ini tak mengada-ada karena dalam surat terbukanya Rashford sampai harus menegaskan bahwa sikapnya itu adalah sikap non-partisan.
ADVERTISEMENT
"Ini bukan soal politik. Ini soal kemanusiaan. Terlepas dari afiliasi politik kita, bisakah kita setuju bahwa tidak ada anak-anak yang boleh pergi tidur dengan perut lapar?" tulis Rashford.
Aktivisme memang jalan yang tidak mudah untuk ditempuh. Colin Kaepernick di National Football League (NFL) sudah menerima akibatnya. Karena protesnya terhadap ketidakadilan terhadap orang kulit hitam, Kaepernick sampai sekarang belum punya pekerjaan lagi.
Di sepak bola, kasus seekstrem Kaepernick memang belum ada. Akan tetapi, bukan berarti menyuarakan keadilan adalah hal mudah di sana. Perlu diingat, FIFA melarang para pesepak bola untuk menyuarakan sikap politisnya di lapangan hijau.
Secara struktural, upaya pembungkaman terhadap pesepak bola itu ada dan nyata. FIFA memang tak bisa mengontrol suara pemain di luar lapangan tetapi mereka sudah menarik garis jelas, bahwa aktivisme tidak boleh dibawa-bawa ke arena.
ADVERTISEMENT
Untungnya para pemain tadi memiliki panggung-panggung lain untuk berbicara. Lewat media massa maupun media sosial, mereka terus menyuarakan kegelisahan di berbagai kesempatan. Tindakan nyata juga telah mereka perbuat.
Namun, sekali lagi, belum banyak yang melakukan hal tersebut. Soal gerakan Black Lives Matter, misalnya, yang merupakan isu kemanusiaan, Cristiano Ronaldo tidak bersuara apa pun. Padahal, pria Portugal itu punya 224 juta pengikut di Instagram.
Tidak semua pemain peduli. Tidak semua pemain menggunakan panggung yang mereka miliki untuk bersuara. Tidak semua pemain mau ambil risiko dan, itulah mengapa, mereka yang sudi bersuara patut mendapatkan apresiasi tersendiri.
====
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona . Yuk, bantu donasi atasi dampak corona!
Ayo, ikutan Home of Premier League dan menangi 1 unit smartTV dan 2 jersi original klub Liga Inggris. Buruan daftar di sini .
ADVERTISEMENT