Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Lilian Thuram Bicara soal Impak Piala Dunia bagi para Imigran
15 November 2018 11:17 WIB
Diperbarui 1 Juni 2020 20:02 WIB
ADVERTISEMENT
Tepat 20 tahun setelah merengkuh gelar pertamanya, Prancis berhasil membawa pulang trofi Piala Dunia untuk kali kedua.
ADVERTISEMENT
Dua keberhasilan yang masing-masing diraih pada 1998 dan 2018 itu, menurut pemilik caps terbanyak Timnas Prancis, Lilian Thuram, merupakan momen krusial bagi negaranya. Dengan dua gelar juara dunia tersebut, sikap orang-orang Prancis terhadap imigran berubah.
Thuram adalah salah satu aktor kunci di balik keberhasilan Prancis pada edisi 1998. Sebagai andalan Aime Jacquet di sisi kanan pertahanan, Thuram tak hanya mahir dalam bertahan, tetapi juga dalam menyerang. Salah satu wujud kebolehannya dalam membantu serangan adalah manakala dia mencetak dua gol di semifinal melawan Kroasia, dengan salah satu dari gol itu lahir dari aksi solo run.
Selain Thuram, pada Piala Dunia 1998 itu Prancis juga sudah diperkuat sejumlah pemain keturunan imigran, di antaranya Zinedine Zidane (Aljazair), Patrick Vieira (Senegal), Marcel Desailly (Ghana), serta Bixente Lizarazu (Basque). Oleh publik, tim tersebut kerapkali disebut sebagai 'Tim Pelangi'.
ADVERTISEMENT
Pada edisi 2018, jumlah pemain keturunan imigran semakin banyak saja. Setidaknya, ada 19 pemain yang orang tua atau kakek-neneknya berasal dari luar Prancis. Dari 19 nama itu, 15 di antaranya memiliki darah Afrika, termasuk dua bintang mereka, Kylian Mbappe dan Paul Pogba.
Dalam sebuah wawancara di Camp Nou, Thuram yang pernah membela Barcelona selama bermain itu mengatakan bahwa dengan keberhasilan di sepak bola, Prancis menjadi tempat yang lebih nyaman untuk berbicara mengenai hubungan ras.
"Ketika Prancis menang dan orang-orang melihat seperti apa komposisi timnya, mereka tersadar bahwa apa yang terjadi bertentangan dengan apa yang selama ini mereka takutkan soal imigrasi," kata Thuram seperti dilansir Reuters.
"Lewat sepak bola, orang bisa melihat bahwa banyak dari pemain-pemain terbaik yang memulai hidup mereka sebagai bocah-bocah miskin, kebanyakan dari keluarga imigran. Jadi, ketika Prancis memenangi pertandingan, itu sangat penting bagi citra negara ini dan untuk citra para imigran itu sendiri. Ketika Timnas menang, diskusi soal imigrasi jadi lebih mudah," lanjut pria 46 tahun itu.
ADVERTISEMENT
Kendatipun begitu, Thuram sadar bahwa sepak bola saja tidak cukup dan contohnya sudah ada usai Piala Dunia 1998 lalu. Ketika itu, pemimpin fasis Jean-Marie Le Pen berhasil mengkonsolidasi kekuatan politik sampai akhirnya jadi runner-up di pemilihan presiden 2002. Kala itu, Le Pen kalah dari petahana, Jacques Chirac.
Jelang Piala Dunia 2018, nama Le Pen kembali mencuat, tetapi kali ini bukan Jean-Marie lagi yang mengusungnya, melainkan sang putri, Marine. Emmanuel Macron akhirnya memang jadi pemenang pada pemilihan presiden 2017 silam, tetapi Marine Le Pen sendiri bisa mengumpulkan suara sampai sepuluh juta.
"Tentu saja, kemenangan ini tidak bisa serta merta menghapus isu yang ada begitu saja. Namun, 1998 adalah momen penting karena di situlah imigran mulai mendapat legitimasi. Sekarang, segalanya lebih mudah untuk membicarakan isu ini ketimban dulu," papar Thuram.
ADVERTISEMENT
"Sepak bola memberi orang-orang ruang untuk berkembang, tetapi rasialisme tetap bertahan di masyarakat. Memenangi Piala Dunia adalah perkembangan penting dalam upaya memerangi itu, tetapi sepak bola saja tidak akan cukup. Sepak bola punya impak, tetapi ia tidak bisa mengubah segalanya," sambungnya.
Thuram sendiri, sejak masih aktif bermain dulu, sudah kerapkali terlibat dalam aktivisme politik. Pada 2005, misalnya, dia pernah menyerang Menteri Dalam Negeri Nikolas Sarkozy --yang nantinya akan menjadi presiden-- karena menyebut para pemuda di area Kerusuhan Paris sebagai 'sampah masyarakat'.
Saat ini, Thuram menyuarakan perlawanan terhadap rasialisme lewat yayasannya yang bekerja sama dengan yayasan milik Barcelona. Aktivitas utama dua organisasi tersebut adalah membantu para pengungsi dari Suriah yang tertahan di kamp-kamp di Yunani, Italia, dan Lebanon.
ADVERTISEMENT
"Orang berpikir bahwa pengungsi tidak berada di level yang sama seperti kita, bahwa mereka tak punya legitimasi. Aku bekerja dengan mereka untuk mengenyahkan ide itu, untuk membuat orang-orang sadar bahwa tidak ada manusia yang lebih punya legitimasi dibanding manusia lainnya," tegas mantan pemain Monaco, Parma, dan Juventus ini.