Mengenal Marco Rose, Kandidat Pelatih Manchester United Musim Depan

2 Januari 2019 14:58 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Marco Rose memimpin RB Salzburg di Liga Europa. (Foto: AFP/Robert Michael)
zoom-in-whitePerbesar
Marco Rose memimpin RB Salzburg di Liga Europa. (Foto: AFP/Robert Michael)
ADVERTISEMENT
Sedari awal sudah ditegaskan bahwa keberadaan Ole Gunnar Solskjaer di Manchester United cuma sementara. Solskjaer didatangkan sebagai pelatih interim dan hanya akan bertahan selama setengah musim. Setelahnya, pelatih baru akan ditunjuk secara permanen.
ADVERTISEMENT
Jika menilik hasil tiga pertandingan terakhir dan bagaimana sikap para pemain berubah di lapangan, kans Solskjaer untuk menjadi pelatih permanen sejatinya cukup terbuka. Akan tetapi, United tidak serta merta berhenti mengejar nama-nama yang sebelumnya sudah dihubungkan dengan mereka seperti Mauricio Pochettino, Zinedine Zidane, sampai Laurent Blanc.
Di antara tiga nama yang disebut belakangan, Pochettino memang menjadi kandidat terkuat. Pada 2016, sebelum United mengontrak Jose Mourinho, konon Pochettino-lah pelatih yang dipilih oleh Sir Alex Ferguson. Kini, setelah Mourinho angkat kaki, nama Pochettino semakin santer saja dikaitkan dengan 'Iblis Merah'.
Kencangnya rumor kedatangan Pochettino ini kian diperkuat dengan munculnya nama Paul Mitchell di daftar calon Direktur Olahraga. Mitchell, 37 tahun, adalah mantan Direktur Olahraga Southampton dan Tottenham Hotspur yang pernah sama-sama membangun tim bersama Pochettino. Namun, saat ini mereka telah berpisah jalan. Pochettino masih melatih Tottenham, Mitchell berkelana ke Jerman bersama RasenBallsport Leipzig.
ADVERTISEMENT
Yang menarik adalah bahwa mencuatnya nama Mitchell ini membuat ada satu nama lain terseret ke peredaran. Yakni, Marco Rose. Lantas, siapa sebenarnya Rose ini?
Pesepak Bola Medioker, Pelatih Bertangan Dingin
Rose lahir pada 11 September 1976 di Leipzig yang kala itu masih menjadi bagian dari Jerman Timur. Masa kecilnya dihabiskan dengan menimba ilmu sepak bola bersama VfB Leipzig yang saat ini dikenal dengan nama Lokomotive Leipzig. Bersama klub itu Rose bertahan sampai tahun 2000.
Setelah itu Rose bertualang menuju Hannover di mana dirinya sempat merasakan gelar juara Bundesliga 2 sebelum akhirnya berlabuh di Mainz. Delapan tahun lamanya Rose bermain untuk Mainz dan di situlah dia pertama kali bertemu dengan Juergen Klopp dan Thomas Tuchel. Bermain sebagai bek kiri, Rose sempat menjadi salah satu pemain andalan sebelum usia akhirnya menggerogoti dan memaksanya bermain paruh waktu.
ADVERTISEMENT
Pada musim terakhirnya bersama Mainz, Rose berstatus sebagai pemain tim kedua. Namun, bukan berarti kontribusinya sama sekali sudah habis. Sebab, ketika bermain untuk Mainz II inilah Rose pertama kali menjajal dunia kepelatihan. Sembari bermain, Rose juga menjadi asisten bagi pelatihnya di tim kedua Mainz.
Rose pensiun sebagai pemain pada 2010. Setelahnya, selama dua tahun, dia bertahan di Mainz 05 sebagai asisten pelatih. Semua itu dia lakukan untuk mempersiapkan jenjang karier berikut yang dia tapaki bersama klub lamanya, Lokomotive Leipzig. Di klub itulah Rose pertama kali merasakan jadi pelatih kepala sebuah kesebelasan.
Namun, Rose tidak lama bertahan di Lokomotive Leipzig karena setahun sesudahnya dia ditarik ke Austria untuk melatih tim U-16 milik Red Bull Salzburg. Perlahan tapi pasti dia berprogres. Setelah U-16, hadirlah U-18. Kemudian, U-19 pun menyusul di mana Rose berhasil membawa tim itu jadi juara UEFA Youth League (Liga Champions junior, red).
ADVERTISEMENT
Selebrasi juara RB Salzburg. (Foto: Dok. Red Bull)
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi juara RB Salzburg. (Foto: Dok. Red Bull)
Sampai akhirnya pada musim panas 2017 Rose dipercaya untuk melatih tim senior RB Salzburg. Selama dua musim melatih Salzburg, Rose membuktikan bahwa dia mampu menjawab kepercayaan manajemen dengan baik.
Pada musim pertamanya dia langsung berhasil mengantarkan Salzburg menjuarai Bundesliga Austria dengan keunggulan 13 poin atas peringkat kedua, Sturm Graz. Di Piala Austria, sayangnya, Salzburg harus takluk dari rivalnya tersebut.
Namun, bukan pencapaian di liga domestik yang membuat Rose jadi begitu seksi di mata publik, melainkan apa yang dia raih di Liga Europa. Musim lalu Salzburg berhasil dibawanya ke semifinal Liga Europa. Dalam perjalanannya mereka menyingkirkan Real Sociedad, Borussia Dortmund, serta Lazio sebelum ditumbangkan Marseille.
Musim ini pun kiprah ciamik Rose di Salzburg berlanjut. Di Bundesliga Austria mereka masih dominan. Dari 18 laga Salzburg sudah menang 15 kali tanpa menderita satu kekalahan pun. Lalu di Liga Europa mereka juga telah sukses lolos ke 32 besar sebagai juara grup. Di fase grup itu Salzburg selalu menang dalam enam laga sekaligus sukses mengangkangi Celtic dan RB Leipzig.
ADVERTISEMENT
Gegenpressing Berlian dan Bantuan dari Seorang Bloger
Dengan prestasi demikian, mustahil memisahkan Rose dari taktik yang dia gunakan bersama Salzburg. Lalu, bicara soal taktik, muskil juga memisahkan Rose dari tangan kanannya yang mengawali karier sebagai seorang bloger, Rene Maric.
Pernah dilatih Klopp dan Tuchel tak serta-merta membuat Rose mereplikasi mentah-mentah taktik para mentornya tersebut. Ide utamanya sama, yakni gegenpressing. Lewat gegenpressing, tim asuhan Rose selalu berusaha menekan lawan setinggi mungkin demi merebut bola secepat mungkin dan melancarkan serangan kilat.
Akan tetapi, eksekusi yang dilakukan Rose tidak sama dengan Klopp dan Tuchel. Satu perbedaan mencolok adalah ketiadaan winger murni dalam formasi andalan Rose, 4-3-1-2 atau 4-4-2 berlian. Walau begitu, bukan berarti sisi sayap jadi tidak diacuhkan. Justru, dengan formasi ini area yang bisa diserang jadi lebih banyak.
ADVERTISEMENT
Pakem 4-3-1-2 Rose menuntut kompaksi vertikal yang rapat, terutama antara pemain nomor 6 dan nomor 10. Sementara, dua gelandang lainnya berlaku sebagai mezzala. Mereka inilah yang didayagunakan untuk menyerang area half-space lawan. Sementara, duo full-back menjadi cadangan untuk menyerang via sayap seandainya upaya orisinal Rose tadi menemui jalan buntu.
Di depan, duo striker yang dipasang bermain dengan fluiditas tinggi. Satu dari mereka akan bermain sebagai penyerang lubang, sementara satunya bermain sebagai penyelesai. Namun, menariknya di sini adalah kedua pemain depan ini pasti selalu bisa bertukar peran dengan mulus. Tak cuma itu, dua striker ini juga sesekali bakal melebar ke sayap untuk merusak bentuk pertahanan lawan.
Ketika bola direbut oleh lawan, maka para pemain asuhan Rose ini akan segera berupaya untuk mengambilnya secepat mungkin. Tak jarang, penjagaan ganda atau double team dilakukan. Ketika menghadapi Marseille di semifinal Liga Europa musim lalu cara bertahan seperti ini bahkan bisa langsung berbuah gol berkat serangan balik yang kilat tadi.
ADVERTISEMENT
Gegenpressing RB Salzburg. (Foto: Giphy)
zoom-in-whitePerbesar
Gegenpressing RB Salzburg. (Foto: Giphy)
Dari segi taktikal, Rose banyak dibantu oleh Maric. Maric yang merupakan master di bidang psikologi itu memulai karier kepelatihan di jagat maya lewat situs Spielverlagerung. Tuchel rupanya adalah salah satu pengunjung setia situs tersebut dan dari sana pelatih Paris Saint-Germain itu mulai memberi tugas-tugas kepada Maric.
Karier Maric pun berkembang. Dari awalnya hanya mengerjakan proyek lepas bersama Tuchel serta Brentford and Midtjylland, pemilik lisensi UEFA B ini kemudian ditarik oleh Salzburg untuk menjadi pendamping Rose sejak di level U-19. Hasilnya konkretnya kini sudah terasa. Duo dinamis ini mengantarkan Salzburg yang tadinya cuma jago kandang menjadi kuda hitam di Eropa.
***
Dari rekam jejak seperti ini wajar jika Rose diminati oleh klub-klub besar Eropa, termasuk Manchester United. Akan tetapi, United harus paham bahwa Rose bukanlah pelatih yang bakal bisa memberikan hasil instan. Rose adalah pelatih yang pas jika United memang ingin melakukan overhaul. Dengan begitu, penunjukan Mitchell sebagai Direktur Olahraga pun bakal jadi masuk akal.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, akankah United memiliki waktu dan kesabaran untuk menunggu hasil revolusi Rose? Karena jika tidak, lebih baik mereka memilih pelatih yang sudah punya jam terbang tinggi bersama tim elite lainnya.