Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi terenyuh atas kematian Abraham Lincoln, Walt Whitman menulis puisi yang kelak menjadi magnum opus-nya.
ADVERTISEMENT
Lincoln tewas ditembus pelor yang ditembakkan John Wilkes Booth pada April 1865. Whitman lalu berelegi dengan menuliskan “O Captain! My Captain!” yang berisikan ratapannya atas kematian “Sang Kapten”.
“O Captain! My Captain!” tenar dalam kultur pop setelah dikutip dalam “Dead Poets Society”. Adegan di mana Todd Anderson (diperankan Ethan Hawke) berdiri di atas meja sembari menyebutkan ”O Captain! My Captain!” menjadi sesuatu yang ikonik.
Lagak Anderson yang meneriakkan bait itu sembari berdiri di atas meja, yang kemudian diikuti oleh teman-temannya, adalah bentuk penentangan —dan perpisahan. Guru mereka, John Keating (diperankan Robin Williams), hari itu diberhentikan.
Keating, di satu sisi, dianggap pahlawan karena memberikan pembebasan terhadap murid-muridnya. Di sisi lain dia dianggap kurang ajar. Gaya mendidiknya yang non-ortodoks adalah mala bagi kolotnya sekolah mereka.
ADVERTISEMENT
Pada adegan di ujung film itu, Anderson dan rekan-rekannya berserupa dengan Whitman, sementara Keating menjadi Lincoln. Di sini, “O Captain! My Captain!” mengambil bentuk sebagai penghormatan sekaligus salam perpisahan.
Ketika Williams meninggal pada 2014, puisi itu kembali dikutip berulang-ulang dan disebar ke seluruh penjuru internet. “O Captain! My Captain!” pun sekali lagi mewakili jiwa-jiwa yang terenyuh.
***
Juni 2006, seorang pemuda kecil dengan bebat di lengan kirinya —karena sikunya sedang cedera— diturunkan oleh pelatih Tim Nasional Jerman, Juergen Klinsmann, sebagai bek kiri. Pemuda itu baru berusia 23 tahun.
Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, hanya 170 cm, dan posturnya juga tidak gempal. Tapi, tubuh yang kecil itu mengelabui banyak mata. Ia tidak lantas letoy dan mudah dijatuhkan.
ADVERTISEMENT
Philipp Lahm, nama pemuda itu, dikenal sebagai pemain yang tidak hanya lincah, tetapi juga cerdas, pintar membaca permainan, berteknik bagus, dan punya stamina yang memungkinkannya menyusur sisi lapangan dengan konstan selama 90 menit.
Tubuh yang kecil juga tidak menghalaniginya beradu fisik. Lahm dikenal punya tekel yang cukup mumpuni, sekalipun ia jarang menggunakannya. Pada tahun 2006 itu, ia mencuri perhatian dengan masuk dalam Team of The Tournament.
Selanjutnya gampang ditebak: karier Lahm melejit. Setelah “hanya” bermain 20 kali pada musim penuh pertamanya bersama Bayern Muenchen, ia tak pernah absen di musim berikutnya, 2006/2007. Total, Lahm bermain 48 kali di semua ajang musim itu dengan 34 di antaranya adalah di Bundesliga Jerman.
ADVERTISEMENT
Lahm, yang pendiam itu, nyatanya adalah seorang pemimpin natural. Ia tak banyak omong, kerja nyatanya lebih terlihat di atas lapangan. Maka, kala Mark van Bommel pergi dari Bayern pada 2011, ban kapten pun dipindahkan ke lengannya.
Meski begitu, bukannya Lahm tidak bisa bersikap keras. Pada 2009, ia pernah didenda 25.000 euro oleh Bayern karena melakukan wawancara tanpa izin dengan Süddeutsche Zeitung. Sudah begitu, isinya pun bikin kuping petinggi panas; Lahm mengkritik kebijakan klub dalam bursa transfer.
Lahm kesal lantaran pihak klub sudah berjanji akan membangun tim yang cukup mumpuni untuk bersaing di Eropa. Namun, pada kenyataannya, Bayern —dalam bahasa Lahm sendiri— tidak punya perencanaan yang jelas dalam membangun tim.
ADVERTISEMENT
Kendati begitu, Lahm tidak kehilangan posisinya di dalam tim. Musim itu, ia tetap bermain 34 kali di Bundesliga dan 53 kali dalam keseluruhan. Uniknya, terlepas dari kritik Lahm di Süddeutsche Zeitung, di akhir musim Bayern sukses menjuarai Bundesliga, DFB-Pokal, dan melaju ke final Liga Champions.
Sikap vokal Lahm dan konsistensinya di atas lapangan membuatnya jadi sosok yang amat bisa diandalkan. Eks-pelatih Bayern, Pep Guardiola, memujinya habis-habisan. Dalam pandangan Guardiola yang perfeksionis itu, ia tak pernah sekalipun melihat Lahm tampil jelek.
Guardiola jugalah yang kemudian mengubah posisi Lahm dari seorang full-back menjadi gelandang bertahan. Terlepas dari keheranan banyak orang atas keputusan Guardiola itu, Lahm mampu menjalankan peran barunya dengan apik.
ADVERTISEMENT
Lahm adalah sosok langka di dunia modern. Okelah, banyak pemain low-profile yang juga bisa diandalkan di atas lapangan —Xavi Hernandez dan Andres Iniesta, misalnya—, tapi yang “sesempurna” Lahm, yang bisa dengan mudahnya menyesuaikan diri di posisi berbeda, mulai dari full-back kiri, full-back kanan, hingga gelandang bertahan, tidaklah banyak.
Terlebih, sebagai silent leader, sosoknya juga disegani. Kini, saat dia sudah memutuskan untuk pensiun setelah musim ini selesai, Bayern tidak hanya kehilangan seorang pemain yang bisa diandalkan, tetapi juga sulit untuk menemukan pemimpin yang sama baiknya.
Tak heran jika Chief Executive Bayern, Karl-Heinz Rummenigge, mengaku terkejut dengan keputusan Lahm. Rummenigge dan Presiden Klub, Uli Hoeness, menyatakan bahwa mereka mengira bakal ada pengumuman bersama di antara kedua belah pihak terkait keputusan gantung sepatu Lahm. Namun, Lahm memilih untuk mengumumkannya sendirian dan mendahului pihak klub.
ADVERTISEMENT
“Pekan lalu, dia memberitahu kami bahwa dia tidak bisa menjadi sports director saat ini dan ingin mengakhiri kontraknya lebih cepat,” kata Rummenigge seperti dilansir BBC .
Bek Bayern, Mats Hummels, juga sama terkejutnya. Namun, ia menghormati keputusan Lahm. “Jika dia mengatakan bahwa saat ini, dia ingin melakukan sesuatu yang lain, kita harus menghormatinya,” ucap Hummels.
Keterkejutan Bayern tak ubahnya teriakan “O Captain! My Captain!” itu sendiri. Ada rasa tak biasa, seperti melangut, yang tiba-tiba saja menyerang.
Lahm, sang kapten, kini menjelma menjadi Lincoln dan Keating. Mereka pergi, tapi barangkali, bagi mereka yang ditinggalkan, ia sulit untuk digantikan.