Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
22 Mei 2010, Persija dan Persitara bertemu di atas lapangan yang sama, Stadion Gelora Utama Bung Karno. Di ujung cerita, duka menemui Persitara.
ADVERTISEMENT
Sembilan puluh menit berlalu, Persija menutup duel sambil bersorak. Kemenangan 1-0 digenggam, gol tunggal Emaleu Serge yang dibidani umpan terobosan Firman Utina menjadi penyebab.
Namun, sorak itu kelewat sepi, hanya terucap oleh mereka yang bertanding dan bersiaga di pinggir lapangan. Laga jadi lesu darah, kemenangan ibarat bukan capaian mewah.
Stadion Gelora Bung Karno memang ditutup untuk para penonton. Nyanyi sunyi Derbi Jakarta jadi kawan Persitara mengucapkan selamat tinggal pada level teratas.
***
Parid, sambil mengisap rokok entah batang ke berapa, tanpa ragu memesan teh manis panas kepada ibu penjual minuman di Stadion Tugu. Kami pikir dia gila. Cuaca panas terik di Jakarta Utara dilawan dengan minuman panas yang asapnya mengepul-ngepul.
ADVERTISEMENT
Namun, Parid tidak gila. Ia dan keenam kawannya hanya terbiasa disebut gila. Parid dan keenam kawannya adalah anggota North Jak Mania (NJ Mania), kelompok suporter Persitara. Parid bahkan menjabat sebagai ketuanya.
Kebanyakan orang mengira penulisan namanya sebagai Farid. Tapi, bila melihat kartu anggota NJ Mania, kita semua akan paham bahwa nama sebenarnya adalah Parid. Toh, memang penulisan seperti itu yang digunakan di sana.
Persitara sudah ada sejak 1979. Namun, waktu itu namanya Persija Timur-Utara (Persijatimut). Baru pada 1985, mereka mengusung nama dan benar-benar hidup sebagai Persitara, sebagai klub sepak bola asal Jakarta Utara.
Manajemen yang berantakan menjadi persoalan Persitara hingga saat ini. Klub ini bukannya tidak memiliki manajemen sama sekali. Hanya, durasi manajerial yang kelewat singkat, satu musim, menjadi penyebab kekacauan yang terjadi dalam klub.
ADVERTISEMENT
Sebelum Persitara bisa kembali mentas di ranah kompetisi, Parid dan kawan-kawannya mesti bekerja ekstra membereskan permasalahan klub. Berhitung mundur, pada 2014 PSSI mengeluarkan regulasi yang melarang klub-klub menerima APBD.
Persitara terkena dampaknya. Pemilik Persitara, mendiang Rizal Hafid, bahkan harus bertungkus-lumus menyelesaikan masalah finansial yang membelit Persitara.
“Kondisi (Persitara) hancur sejak 2014. Pada 2016 sampai 2017, kami ambil alih dan di situ mulai bangkit,” ucap Parid.
Sepak bola Indonesia benar-benar bebas dari hukuman FIFA pada 2017. Sepak bola boleh bergulir. Persitara boleh berkompetisi. Hanya saja, kesempatan untuk berkompetisi tidak serta-merta berarti kabar baik. Persoalan administrasi menjadi jerat lain yang membuat langkah Persitara kian berat.
“Kami ini ke Liga 3 bukan karena degradasi, seharusnya kami ada di Liga 2. Waktu itu, saya datang ke KLB PSSI di Ancol, tepat pada 2016 itu. Setelah itu, saya langsung siap-siap ke Kongres (Tahunan) PSSI di Bandung (Januari 2017),” jelas Parid.
ADVERTISEMENT
“Waktu kami mau berangkat, ada seorang senior saya yang bilang, lebih baik tunggu di sini sampai kongres beres karena percuma datang ke Bandung. Kami kukuh ke Bandung. Saya bilang: ‘Bang, nggak ada kata terlambat.’ Tapi dia berkeras, katanya, bakal percuma kalau saya ke Bandung.”
“Ya sudah, di Bandung selesai, saya baru datang ke PSSI. Orang PSSI kasih tahu ke saya bahwa saya terlambat. Mereka bilang, seharusnya kami main di Liga 2. Kalau tidak terlambat, Persitara akan dibawa ke Kongres dan bisa main di Liga 2. Wah, langsung lemes saya. Ya, sudah. Liga 3 pun kami jalani,” lanjut Parid.
Terjebak di Liga 3 tak menyurutkan semangat Persitara. Atmosfer kebangkitan tak hanya dirasakan oleh mereka yang sibuk mengurus klub. Keberadaan para suporter pun ikut membangkitkan euforia itu.
ADVERTISEMENT
Bahkan Persitara tak hanya bertanding melawan klub-klub Liga 3. 'Laskar Si Pitung' ikut terlibat dalam uji tanding yang mempertemukan mereka dengan klub asal Malaysia, Universiti Teknologi Mara Footbal Club (UiTM FC). Persitara bahkan menjadi satu-satunya klub Liga 3 yang ditantang UiTM FC di tur mereka.
Wujud kebangkitan itu tak hanya muncul lewat uji tanding melawan klub asing dan dukungan suporter yang berapi-api. Waktu pengelolaan klub diambil alih oleh NJ Mania, Persitara mulai mendapatkan dukungan sponsor.
Parid menjelaskan, dukungan secara finansial memang tak banyak, tapi tetap ada. Padahal, itu menjadi periode pertama kebangkitan Persitara. Basis suporter yang besar dan militan dianggap pihak sponsor sebagai potensi menjanjikan.
“Waktu itu saya jadi manajernya.Saya dan teman-teman NJ Mania bergerak mengurus keuangan. Kami bahkan dapat sponsor. Contohnya KBN. Walau jumlahnya kecil, dana itu kami dapatkan. Bogasari juga. Kalau pengelolaannya benar, mereka mau dukung, kok,” jelas Parid.
ADVERTISEMENT
Yang disayangkan, kebangkitan itu tak bertahan lama. Ibarat baru meletakkan fondasi, bangunan sudah harus dirombak lagi. Pergantian manajemen pada 2018 kembali dilakukan. Padahal menurut Parid, sudah ada percakapan bahwa pengelolaan suporter boleh jalan terus.
Sosok yang disebut Parid sebagai Komisaris PT Persitara Sejahtera, Hardi Hasan, memberikan mandat bahwa pengelolaan akan diserahkan kepada orang baru mulai 2018. NJ Mania sebagai pengelola 2017 tidak mempersoalkan keputusan ini, tapi mereka pun memiliki calon sendiri yang dinilai lebih sesuai dengan visi-misi klub.
Pilihan itu akhirnya jatuh kepada Kevin Valentino Rouw. Dalam praktiknya, Kevin juga menjalankan fungsinya sebagai manajer klub. Situasi klub sempat membaik di awal-awal masa kepemimpinan Kevin. Salah satunya ditandai dengan komitmen klub untuk bersikap profesional kepada para pemain dan pelatih.
ADVERTISEMENT
Rochi Putiray, pelatih Persitara musim 2018, menjelaskan bahwa pada periode tersebut, tak ada tunggakan gaji pemain. Bahkan gaji pemain sudah dibayar di muka sebelum kompetisi dimulai.
“Silakan cek klub-klub liga 3 yang lain. Klub lain banyak yang menunggak gaji pemain. Persitara musim 2018 tidak menunggak sama sekali, bahkan dibayar di muka untuk periode dua bulan,” tegas Rochi.
“Manajemen menjanjikan, sampai kompetisi beres (fase regional dan provinsi), per anak bisa dapat 4,5 juta hingga 5 juta untuk gaji. Lain lagi kalau bonus yang diterima kalau lolos ke fase nasional. Bila ditotal bonus dan gaji, per orang bisa dapat sekitar 25 juta. Itu di luar biaya makan. Bahkan sejak seleksi pemain, saya sudah sampaikan hitung-hitungan gaji ini. Ada yang bertahan ikut seleksi, ada yang memilih mundur,” jelas Rochi.
ADVERTISEMENT
Pemain mana yang tak suka bertanding dengan mendapatkan kepastian finansial. Oke, jumlahnya memang tak besar. Malah cenderung kecil. Namun, Liga 3 tak sama dengan Liga 2 apalagi Liga 1.
Membayangkan gaji ratusan juta rupiah untuk pemain Liga 3 sama dengan memimpikan Captain America hadir dalam kehidupan nyata. Entahlah di hari-hari mendatang, satu atau dua dekade setelah sekarang. Yang pasti, kini kisaran gaji pemain Liga 3 hanya Rp 50.000,- hingga Rp 100.000,- per pertandingan.
Namun, muncul persoalan lain yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan Persitara: Manajemen dan suporter tidak satu suara. Manajemen yang bertindak sebagai pengelola dinilai tidak memahami pengelolaan klub sepak bola. Akibatnya, meski situasi membaik di awal, gonjang-ganjing malah datang di tengah jalan.
ADVERTISEMENT
Suara yang tak bulat ini wujudnya bermacam-macam. Parid bahkan menjelaskan, termasuk dalam urusan pemakaian Stadion Tugu untuk laga kandang Persitara pada Liga 3 2018. Pada 2017, Asprov DKI tidak mengizinkan Persitara untuk menggunakan Stadion Tugu sebagai kandang. Awalnya, mereka memang bermain di Stadion Tugu, tapi belakangan justru bertanding di Lapangan Yon Zikon 14.
Arah angin berubah pada 2018. Asprov DKI mengizinkan Persitara untuk berlaga di Stadion Tugu. Parid bahkan diserahkan wewenang untuk mengatur keamanan dan bertindak sebagai ketua panitia pelaksana. Bagi NJ Mania, Stadion Tugu adalah kandang yang aman bagi semua klub, rival sekali pun. Mereka menjamin, tak akan ada kerusuhan di rumah sendiri.
Sepak bola memang ranah yang unik. Ia ditopang oleh entah berapa banyak orang yang menggila dengan satu klub tertentu. Orang-orang ini acap dianggap sebagai biang onar, biang kerok yang meresahkan masyarakat. Namun, bukan berarti tak ada cara untuk melembutkannya.
ADVERTISEMENT
Kultur suporter begitu menjunjung tinggi para pemimpinnya. Pemimpin berkata A, kelompok suporter yang perawakannya sering garang-garang itu akan menurut. Pemimpin menginstruksikan B, maka B-lah yang akan dikerjakannya. Tak heran, Parid dan kawan-kawannya berani menjamin, selama ada di bawah satu komando mereka, laga dan lawan akan aman. Istilahnya, urusan keamanan beres.
Sayangnya, tak ada skenario gayung bersambut dalam kesempatan emas ini. Pengelola klub justru menganggap tawaran ini sebagai beban yang akan mengganggu keuangan klub. Parid dan kawan-kawannya berang. Kalau pakai istilah sekarang, ‘terkejut Bang Parid terheran-heran’ dengan sikap ini.
“Waktu rapat, pihak pengelola klub tidak mau main di Tugu. Saya sampai bertengkar di rapat itu. Bertengkarnya bukan dengan orang lain, tapi dengan orang Persitara sendiri. Dia tidak mau main di Tugu. Katanya: Masa kita yang urus, kita yang bayar? Seharusnya Asprov yang membiayai.”
ADVERTISEMENT
“Padahal kalau main di Tugu ‘kan enak, selesai. Tiket bisa ambil, dukungan banyak, tim terbantu. Pasti lolos itu. Sponsor juga tersorot, sponsor kan juga pasti senang,” ucap Parid.
Dukungan suporter adalah kekuatan lain yang tak jarang menggenjot penampilan tim dalam partai-partai krusial. NJ Mania sebenarnya tak memasang target kepalang tinggi. Mereka bahkan belum membidik Liga 2.
Yang mereka inginkan cuma menembus putaran nasional. Kalau itu terjadi, Liga 3 2019 tidak akan dilakoni dari bawah lagi, dari putaran provinsi dan regional, tapi langsung menjejak ke nasional. Dari situ, bukannya tak mungkin pintu Liga 2 terbuka untuk mereka pada 2020.
Itulah mengapa mereka begitu menginginkan ada Stadion Tugu dalam perjalanan mereka di Liga 3 Zona DKI 2018, terlebih di fase gugur. Dukungan para pemain ke-12 yang jumlahnya entah berapa banyak itulah yang mereka harapkan.
ADVERTISEMENT
Di putaran provinsi, Persitara berhasil keluar sebagai runner up Grup D. Sepuluh poin yang mereka kumpulkan berselisih lima angka dari juara grup, Jakarta Timur FC. Sayangnya, di babak delapan besar, mereka kalah dari Pro Direct FC.
Waktu normal berakhir dengan skor imbang 0-0. Namun, kekalahan 7-8 di babak adu penalti memastikan perjalanan Persitara di Liga 3 selesai lebih cepat. Apa boleh bikin, Persitara mesti mengulang lagi dari awal pada 2019.
Situasi makin tak mengenakkan karena kelompok suporter menganggap fokus manajer mereka terbelah. Pada awalnya mereka tak mempermasalahkan bila manajer terjun ke ranah politik. Namun, jangan sampai fokus mengurus Persitara jadi terbengkalai.
Berkaca dari segala macam carut-marut ini, membentuk manajemen profesional yang diisi oleh orang-orang yang serius untuk membenahi dan mengangkat Persitara menjadi misi utama NJ Mania. Kalaupun ada kepentingan lain, pada dasarnya, mereka juga tak mempermasalahkan. Yang terpenting, bereskan dulu persoalan Persitara, setelahnya baru urus kepentingan-kepentingan tadi. Intinya, jangan sampai Persitara menjadi korban.
ADVERTISEMENT
“Biarpun main di Liga 3, Persitara ini klub seksi. Di Jakarta (selain Persija) hanya di Utara ada klub dengan basis suporter yang besar seperti ini. Sekarang kami memang tidak memiliki manajemen, tapi kami punya basis suporter.”
“Sampai sekarang belum ada yang berani untuk mengambil (mengurus) Persitara, belum ada yang mau untuk mengambil alih. Ini masih ada NJ Mania saja. Kalau tidak ada NJ Mania, selesai semuanya. Karena kami masih ada, klub masih ada. Makanya, kami lagi mencari sosok itu,” ucap Parid.
Yang menjadi persoalan, Liga 3 2019 sudah di depan mata, tapi manajemen dan pengelola juga belum terbentuk. Ketiadaan manajemen berakibat fatal karena klub tidak bisa melakukan seleksi pemain dan pelatih untuk mengarungi kompetisi.
ADVERTISEMENT
Sebagai catatan, Liga 3 punya kecenderungan seperti ini. Pemain-pemain dan pelatih hanya dikontrak per musim. Artinya, tak ada pemain jangka panjang. Begitu musim selesai, ya sudah, selesailah kontrak pemain.
Namun, karena tidak punya wewenang dalam manajemen, kelompok suporter tidak bisa terlibat langsung dalam pemilihan pemain dan pelatih. Itulah sebabnya mereka begitu menanti kejelasan klub tentang siapa yang ditunjuk sebagai pengelola.
“Seringnya memang seperti ini. Polemik-polemik begini jadi alasan persiapan yang mepet banget. Kami lagi mencoba supaya persiapannya bisa lebih jauh sehingga matang. Katanya, memang ada sosok yang mau serius mengurus Persitara. Jadi kami lagi kejar, nih, supaya bisa sesegera mungkin ada penunjukan dari PT Persitara Sejahtera ke si A sebagai pengelola,” ujar Parid.
ADVERTISEMENT
Namun, Parid dan kawan-kawannya juga tak mau terlena. Mereka memasang target. Jika hingga Mei 2019 tidak ada kejelasan, mereka akan kembali maju untuk mengambil alih pengelolaan klub. Menurut mereka, keputusan memang harus diambil dengan cermat, tapi juga tak bisa berlama-lama.
Persitara harus bertanding. Dan dalam kompetisi nanti Persitara mesti siap bertarung sebagai 'Laskar Si Pitung', bukannya klub yang hidup segan, mati pun tak mau.
Itulah Persitara. Namanya perkasa di masa lampau meski kini jalannya curam bukan kepalang. Tapi, Si Pitung juga tak berkisah tentang manusia yang berleha-leha. Ia hidup untuk menjungkirbalikkan kemustahilan. Dan bukannya tak mungkin yang dikatakan kelompok suporter itu terbukti. Selama ada yang gigih menopang, Persitara tak akan runtuh.
ADVERTISEMENT
====
*kumparanBOLA membahas cerita mengenai bagaimana caranya klub-klub marjinal di ibu kota bertahan hidup lewat kaca mata PSJS, Persitara, dan Persija Barat. Anda bisa mengikuti pembahasannya via topik 'Klub Marjinal Ibu Kota '.