Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Gedung tinggi menjulang adalah pemandangan biasa di sepanjang kawasan SCBD dan Gatot Subroto. Pun begitu dengan Jalan Casablanca yang sesak dipadati mobil mewah setiap pagi dan petang. Di setiap sisi jalan Pondok Indah, bahkan, berjejer ragam tipe rumah idaman dengan harga sukar dinalar.
ADVERTISEMENT
Inilah rupa Jakarta Selatan, salah satu sudut termakmur dari Ibu kota Indonesia. Di sana, roda perekonomian berputar hebat, inovasi bergerak tiada henti, dan manusia terus menikmati kemajuan zaman juga mengejar harapan. Namun, kisah sepak bola sisi selatan Jakarta tak terdengar seindah itu.
Ada sekitar 2,1 juta manusia yang tinggal di Jakarta Selatan. Akan tetapi, dari sebanyak itu jiwa yang tinggal di daerah seluas 141,27 km2 ini, tak banyak yang peduli dengan perkembangan tim bernama Persatuan Sepak Bola Jakarta Selatan (PSJS). Namanya kalah populer dari Persija Jakarta.
PSJS berdiri di tahun 1975. Ketika itu, sepak bola Indonesia tengah berada di era Perserikatan dan Jakarta memiliki beberapa tim. Selatan punya PSJS, sementara Utara memiliki Persitara, Barat miliki Persija Barat, Timur memiliki Persijatim, dan Pusat memiliki Persija Pusat.
ADVERTISEMENT
Namun, hanya satu tim Jakarta yang pada akhirnya akrab di telinga orang-orang Indonesia. Tim yang sekarang dikenal dengan Persija Jakarta, tim yang dulunya berlokasi di Pusat. Musababnya ialah kebijakan satu klub yang dicanangkan Sutiyoso ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta di era 2000-an.
Dengan begitu, klub-klub selain Persija mendapatkan potongan kue yang lebih kecil dari pemerintah. Kemudian muncul aturan bahwa pemerintah tak boleh lagi membantu pendanaan klub melalui APBD sejak 2014. Klub-klub Jakarta era Perserikatan luntang-nlantung, dan tak sedikit yang mati suri.
Namun, tidak dengan PSJS. Mereka kini bermukim di Stadion Gagak Hitam, lapangan ala kadarnya di Pesanggrahan. Sementara untuk urusan sponsor, mereka kesulitan mendapatkannya. Walau begitu, Asosiasi Kota Jakarta Selatan (Askot Jaksel) berusaha menjaga api PSJS tak padam. Mereka memang ‘gila’.
ADVERTISEMENT
“Yang bisa menghidupkan klub macam PSJS ini kudu orang gila. Yang benar-benar gila bola, gila PSJS, sponsornya pun harus gitu. Harus orang yang benar-benar mau PSJS bangkit. Tidak pikir-pikir prestasi dulu,” tutur Arkhi Gusmark, Sekretaris Jenderal Askot Jaksel dan PSJS, kepada kumparanBOLA.
Pengurus Askot Jaksel kemudian mengambil peran ganda dengan turut mengurus PSJS secara serius sejak tahun lalu. Hasilnya, walau pelan, mulai terlihat. Bermodalkan para remaja dari berbagai SSB di Jakarta Selatan, PSJS menjadi salah satu wakil Jakarta di Liga 3 Regional Jawa 2018.
Memang pada akhirnya langkah 'The Slaters' terhenti akibat kalah agregat 0-5 dari Persekabpas pada regional fase 1. Namun, PSJS masih berani menatap langit. Setiap hari, tim yang identik dengan warna putih-biru itu membuka jendela dan kesempatan untuk terus menjadi lebih baik.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana Askot Jaksel menggerakkan roda PSJS selain bermodalkan ‘kegilaan’? kumparanBOLA akan membahasnya mendalam dalam tiga bagian. Mulai dari bagaimana pembinaan pemain, perkara finansial, hingga mengurus stadion PSJS. Tentu, pembahasan juga menyangkut kendala PSJS.
Pembinaan Usia Muda PSJS: Liga Internal Adalah Kunci
Sebuah tim sepak bola tidak dapat bergerak jika tak memiliki pemain. Well, rasanya ini sudah menjadi informasi yang diketahui umum. Yang mungkin tidak banyak diketahui umum ialah betapa sulitnya bagi tim kecil macam PSJS mendatangkan pemain-pemain terbaik.
Namun, adagium siapa yang mencari akan mendapatkan pun berlaku di atas lapangan sepak bola. Salah satu aset penting yang dimiliki oleh PSJS adalah kompetisi internal yang digelar oleh Askot Jaksel dengan SSB dari wilayah selatan sebagai pesertanya.
ADVERTISEMENT
Kompetisi berformat turnamen festival digelar untuk level usia 9 hingga 11 tahun. Sementara, untuk U-13, U-15, hingga U-18 digelar dengan format liga. Kompetisi bertajuk Liga Selatan ini adalah sumber terbesar bagi ketersediaan pemain PSJS. Untuk musim 2019, kompetisi digelar sejak Februari hingga November, setiap Sabtu dan Minggu.
“Di kompetisi ini ada sistem degradasi. Makanya persaingannya ketat banget. Jadi, sebenarnya PSJS tidak kehabisan pemain karena ada sistem liga internal. Kalau di tempat lain, sih, belum ada turnamen internal kayak begini,” ucap Tri Joko Susilo, Ketua Askot Jaksel dan PSJS, kepada kumparanBOLA.
Aturan di Liga Selatan dapat dikatakan cukup longgar jika dibandingkan liga pada umumnya. Setiap SSB boleh mengganti tujuh pemain dalam satu laga, yang biasanya dihelat di Lapangan Blok S Jagakarsa dan Yon Zikon 13 setiap akhir pekan itu. Tujuannya, tentu saja, supaya setiap pemain SSB bisa tampil.
ADVERTISEMENT
Langkah selanjutnya, Askot Jaksel juga membuat seleksi khusus untuk pemain SSB menjelang digelarnya Piala Soeratin, turnamen level junior yang digerakkan PSSI. Sederhananya, pemain-pemain terbaik yang tampil di Liga Jakarta Selatan akan berlaga di Piala Soeratin.
Karena itulah, pada dasarnya PSJS tidak kekurangan pemain untuk berlaga di kompetisi kelompok umur. Terlepas dari masalah finansial, mereka punya modal gemilang: Pemain-pemain usia yang sudah akrab dengan atmosfer kompetisi.
Pelatih PSJS, Eky Bachtiar, menjelaskan bahwa kompetisi internal ini menjadi tempat mereka mencari pemain berkualitas, termasuk untuk ikut berlaga di Liga 3. Baginya, Liga Selatan bukan sekadar kompetisi, tapi aset penting.
“Jadi, lewat kompetisi Liga Jaksel U-18, kami menyaring pemain. Kami lihat, nih, yang kira-kira siapa yang berpotensi. Tapi, kami juga menggelar seleksi terbuka untuk pemain-pemain yang tidak bermain di liga internal. Proporsinya dalam tim biasanya 60% dari liga internal, 40% dari seleksi terbuka,” jelas Eky, yang sudah bergabung dengan staf kepelatihan PSJS sejak 1999, kepada kumparanBOLA.
ADVERTISEMENT
“Untuk seleksi terbuka, kami juga mengecek latar belakang mereka. Kebanyakan, yang kami panggil untuk seleksi (non-liga internal) adalah eks pemain. Misalnya, eks pemain Liga 2 yang sebenarnya masih berpotensi. Kami sebar pengumumannya lewat media sosial dulu, nanti kan mereka mengirimkan curriculum vitae. Dari situ kami cek,” lanjut Eky.
Namun, itu masih tahap awal. Persiapan PSJS cukup matang dalam pembentukan tim, biasanya memakan waktu empat hingga enam bulan. Dalam perjalanannya, ada berbagai tahapan: mulai dari latihan awal, persiapan, uji coba, hingga pemulangan pemain dan seleksi lanjutan jika memang masih kekurangan amunisi.
“Sebenarnya, Liga 3 2019 sudah diinstruksikan PSSI untuk digelar Maret. Tetapi, Asprov baru kasih pengumuman bahwa Liga 3 dimulai sekitar Agustus. Kalau tidak ada liga internal yang digelar Askot itu, kami bisa saja seperti klub-klub lain: seleksi dengan persiapan mepet, satu atau dua bulan sebelum liga. Makanya, liga internal ini adalah aset kami yang sebenar-benarnya,” kata Eky.
ADVERTISEMENT
PSJS dan Upaya Mencari Kebebasan Finansial
Serupa dengan tim lain di Liga 3, manajemen masih memutar otak untuk biaya menutup operasional. Karena tak kunjung mendapatkan sponsor, tak jarang pengurus klub mengeluarkan dana pribadi alias berswadaya untuk mencukupi kebutuhan operasional PSJS.
Ketika PSJS lolos ke Liga 3 babak Regional Jawa musim lalu, manajemen juga menggunakan kas pribadi untuk membayar tiket pesawat pulang dan pergi para pemainnya. Mengingat lawan mereka di tahap pertama ialah Persekabpas Pasuruan, dan butuh waktu lama jika menuju lokasi via bus dari Jakarta.
Laga tersebut berakhir tragis bagi PSJS karena mereka keok 0-5 dalam dua leg. Walau begitu, hasil ini disyukuri Joko dan Arkhi karena itulah tahun perdana mereka mengurus PSJS.
ADVERTISEMENT
Namun, perjalanan itu memang bukan pengalaman yang buruk melulu. Bagaimanapun, ada hal satu pelajaran penting yang dikecap oleh PSJS lewat pengalaman tadi: Saat semua elemen klub bersepakat untuk saling menopang, PSJS akan tetap hidup.
Pengalaman serupa juga diamini oleh pelatih Eky Bachtiar. Baginya, kekompakan manajemen klub membuatnya betah untuk bekerja bersama PSJS. Oke, di satu sisi kesulitan finansial memang ada. Tapi, setidaknya, semua elemen bergerak untuk mencari solusi.
“Istilahnya, kami ini jual bangku jual meja untuk membantu PSJS. Untuk lapangan saja, kami patungan karena per bulannya biaya pemakaian itu sekitar 20 juta rupiah. Nah, liga internal juga ada peranannya di sini. Dari pemasukan uang pertandingan di liga internal, kami sisihkan untuk biaya operasional. Tidak banyak, tapi bisa kami gunakan untuk bantu-bantu,” jelas Eky.
ADVERTISEMENT
Namun, sebagai tim, PSJS tak ingin terus hidup seperti ini. Musim ini, target mereka ialah lolos ke Liga 3 Nasional.
“Fans kami sudah menjerit-jerit ingin ke Liga 2. Tapi buat kami, ini industri. Jadi, ya, soal uang, kami tetap harus cari solusi. Pemain bagus bisa lebih mudah datangnya kalau finansial oke.”
Agar asa PSJS bisa terus tumbuh, tentu tak bisa terus bergantung dengan dana pribadi. Keterlibatan pemerintah juga tak kalah penting.
Bantuan yang diharapkan bukan kucuran dana langsung, tapi dukungan pemerintah dengan menghubungkan tim dengan sponsor. Bagaimanapun, era sepak bola modern membutuhkan sokongan sponsor agar klub bisa berjalan dengan profesional.
“Kan Jakarta punya (tak kurang dari) 11 BUMD, ya. Kami berpikir seperti ini, bagaimana kalau dibukakan jalan dulu supaya kami ini biar punya koneksi,” ucap Joko, yang merupakan mantan penerbang.
ADVERTISEMENT
Kini, PSJS berbadan hukum koperasi. Kata Arkhi, model bisnis ini meniru konsep awal FC Barcelona, raksasa sepak bola Catalunya itu. Prinsipnya, dari anggota untuk anggota.
Koperasi yang bernama Koperasi Persaudaraan Sejahtera Jakarta Selatan beranggotakan orang tua dari anak-anak SSB yang ikut Liga Selatan dan masyarakat Jakarta Selatan. Anggota koperasi PSJS saat ini telah mencapai 3.000 orang. Sinergisme antara Askot, klub, dan masyarakat merupakan konsep utama yang dijalankan oleh PSJS.
“(Mereka) membayar iuran anggota bulanan seratus ribu rupiah dan ada simpan pinjam juga. Jadi misalnya, Askot Jaksel butuh bola, gawang, bisa pinjam ke koperasi. Siapa pun boleh jadi anggota. Kan cita-cita kami kalau PSJS sudah masuk ke Liga 1, orang-orang bisa punya saham di PSJS,” ucap Arkhi .
ADVERTISEMENT
Stadion PSJS? Belum Ideal, tetapi Masih Ingin Berusaha
Stadion Gagak Hitam, kandang PSJS sekarang, itu belum ideal untuk menggelar pertandingan sepak bola dengan tujuan komersial. Tak seluruh bagian lapangan tertutupi rumput, tidak ada papan iklan, pencahayaan kurang, dan tribune suporter tak bisa menampung banyak orang.
Tetapi, stadion ini merupakan satu-satunya opsi yang tersedia untuk PSJS saat ini. Stadion Gagak Hitam merupakan milik Komando Daerah Militer (Kodam) Bintaro dan PSJS boleh menggunakannya berkat hubungan baik yang telah dijalin Joko.
Lantas, mengapa PSJS bisa sampai memilih ke Lapangan Gagak Hitam untuk menggelar pertandingan sepak bola?
Jawabannya, karena lapangan sepak bola di wilayah Jakarta Selatan yang kualitasnya bagus--bahkan untuk ukuran mini stadium--tak banyak.
ADVERTISEMENT
“Saya ini kan sudah keliling-keliling stadion di luar negeri. Jadi saya lihat lapangan-lapangan kampung di Inggris. Jangankan Etihad atau Emirates. Stadion di kampung di sana ada tempat buat iklan. Lapangannya oke. Terawat.” ujar Joko.
“Padahal Selatan ini masih beririsan dengan Pusat, lho. Jadinya lucu karena tidak ada lapangan memadai. Kalah sama (Jakarta) Timur atau Utara,” lanjutnya.
"Jadi sepak bola di Jakarta ini kalau mau maju, apalagi kami yang seperti kami, memang butuh pemerintah. Minimal ada lapangan yang oke. Tidak perlu stadion (berfasilitas mewah), stadion mini saja sudah cukup. Tapi, yang bagus dan jangan setengah-setengah,” tutur Joko.
Namun, sejauh ini, keinginan manajemen belum terwujud dan masih terus diupayakan. Yang mereka yakini, keberadaan stadion berstandar komersial berpotensi menjadi kunci kemajuan PSJS di masa mendatang, terutama dalam aspek finansial. Tak salah, karena pada akhirnya, sepak bola adalah olahraga yang dinikmati dengan mata.
ADVERTISEMENT
====
*kumparanBOLA membahas cerita mengenai bagaimana caranya klub-klub marjinal di ibu kota bertahan hidup lewat kaca mata PSJS, Persitara, dan Persija Barat. Anda bisa mengikuti pembahasannya via topik 'Klub Marjinal Ibu Kota '.