Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Tiga tahun setelah memimpin final Piala Dunia 2014 Brasil, Nicola Rizzoli mengeluh. Kerjanya sebagai pengadil lapangan makin rumit begitu Italia memperkenalkan VAR .
Bagi Rizzoli, menggunakan VAR di Serie A bukanlah perkara mudah. Masih lebih gampang memimpin laga sekelas final Piala Dunia.
Cerita Rizzoli itu diungkapkan Technical Director IFAB (International Football Association Board, badan yang mengurusi peraturan dunia sepak bola), David Elleray, kala dijumpai kumparanBOLA.
“Nicola Rizzoli wasit yang memimpin final Piala Dunia di Brasil. Ketika menjadi wasit VAR di Italia, jauh lebih berat dan sulit dibanding memimpin final Piala Dunia. Pasti stres mengimplementasikan VAR di laga pertama. Bahkan, laga berikutnya juga masih tidak mudah. Butuh penyesuaian dan waktu,” ujar Elleray.
Penyesuaian yang dimaksud Elleray punya dua proses sehingga memakan waktu. Pertama, wasit VAR kudu melakukan simulasi. Kemudian, mereka akan turun langsung ke lapangan sesungguhnya di mana butuh penyesuaian lagi.
“Mengimplementasikan VAR tidak bisa sukses dengan cepat. Seperti belajar mengendarai mobil, ketika belajar atau simulasi kelihatannya mudah. Namun, begitu turun ke jalan sesungguhnya jadi sulit. VAR pun demikian. Tidak peduli berapa banyak latihan (simulasi) dibuat. Kondisi simulasi atau latihan tidak sama dengan kondisi sesungguhnya. Tidak ada yang bisa menandingi kondisi di lapangan sesungguhnya,” tutur Elleray
.
Dua tahun berlalu dalam kesulitan, Rizzoli sudah menemukan celahnya. Sekarang, ia malah mengapungkan dampak positif dari pemakaian VAR.
Dilansir Sempreinter.com, Rizzoli mengungkapkan bahwa VAR mengembalikan kredibilitas permainan.
“VAR tidak dilahirkan untuk menghilangkan kesalahan, melainkan untuk mengembalikan kredibilitas olahraga yang paling dicintai. Ini harus menjadi tujuan bersama kita, tanpa melupakan bahwa beberapa inovasi belum sepenuhnya selesai. Ingat, VAR mulai berlaku hanya pada 2018, sementara Italia secara eksperimental memperkenalkannya pada 2017. Singkatnya, ini musim ketiga dan akan terus meningkat,” kata Rizzoli.
***
Beralih ke Tanah Air, Indonesia sudah memunculkan rencana pemakaian VAR di Liga 1 sejak 2019. Sebelum melangkah, ada baiknya Indonesia belajar dari persiapan yang dijalani negara-negara Eropa pemakai VAR.
Jerman, Inggris, dan Italia bisa menjadi bukti bahwa implementasi VAR tidak mudah dan butuh waktu. Sekitar dua tahun mereka membutuhkan waktu persiapan.
Baru persiapan saja, ya, belum masuk pemakaian VAR di lapangan. Penyempurnaan penggunaan VAR di lapangan sesungguhnya pun masih berjalan.
Balik ke pernyataan Elleray bahwa kondisi di lapangan sesungguhnya jauh berbeda dari simulasi yang membuat pemakaian VAR belum mencapai kata sempurna.
“Jerman, Inggris, dan Italia punya masalah pada awal. Persiapan mereka sudah sekitar dua tahun. Jangan bilang ini sesuatu yang mudah diimplementasikan. Musim pertama di Italia cuma 45% pengulangan dari simulasi. Kartu merah menurun dari 11 menjadi satu. Kartu kuning menurun 20%. Pemain pun tahu bila melakukan kesalahan akan diadili di VAR,” kata Elleray.
Menilik serangkaian pengalaman itu, Indonesia lebih beruntung sebenarnya. Implementasi VAR bisa lebih cepat ketimbang negara-negara sebelumnya.
Apalagi, Indonesia akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2021 di mana VAR dipakai. Seiring kedatangan VAR ke Tanah Air tahun ini, Indonesia bisa belajar soal teknologinya.
Tak berhenti di situ, wasit-wasit Tanah Air pun bisa belajar dari para pengadil lapangan milik FIFA yang berpengalaman dengan VAR. Rencananya, wasit-wasit FIFA itu juga akan menjalani pemusatan latihan di Jakarta.
Tak kalah penting dari teknologi dan sumber daya manusia (SDM) ialah infrastruktur. Melalui Piala Dunia U-20 2021, Indonesia menghias stadionnya hingga sesuai standar FIFA plus memenuhi syarat instalasi VAR.
“Hubungan dengan pemerintah sebagai pemilik stadion penting. Pemerintah harus membangun infrastruktur yang mendukung VAR. Dibutuhkan dana tidak murah,” ujar Elleray.
Dengan kondisi demikian, hitung-hitungan Elleray menyebut dalam satu setengah tahun Liga 1 siap memakai VAR melalui lima tahapan. Garis besarnya, PSSI harus siap secara teknologi, edukasi (wasit), manajemen proyek VAR, keuangan, komunikasi, dan pemonitoran.
“Tahap pertama ialah initial consideration (pertimbangan awal). PSSI butuh pembentukan tim ofisial proyek. Kemudian, akan ada kick-off meeting (dengan FIFA dan IFAB pada Februari). Pada tahap kedua, hasil pertemuan dibawa ke Komite Eksekutif PSSI untuk diputuskan apakah dilanjutkan dengan perjanjian atau tidak,” kata Elleray.
Langkah pertama dan kedua itu membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Artinya, PSSI bisa bergerak ke tahap ketiga sekitar April atau Mei 2020.
Butuh waktu sekitar enam sampai sembilan bulan menjalankan tahap ketiga yang berisi persiapan dan edukasi SDM (wasit). Edukasi sendiri dilakukan secara offline atau kudu menjalani pelatihan langsung simulasi pertandingan dengan memakai VAR.
Hanya saja, selesai di tahap ketiga, wasit-wasit belum bisa diturunkan langsung ke pertandingan sesungguhnya, apalagi bicara Liga 1. Butuh persetujuan FIFA yang melakukan supervisi terhadap pelatihan tersebut.
“FIFA memonitor jalannya proses itu (tahap ketiga) sampai di suatu titik akan diberikan persetujuan. Kemungkinan akhir 2020 persetujuannya,” ujar Elleray.
Demikian pula dengan VAR. Tahap ketiga dari sisi teknologi VAR memakan waktu yang sama-sama panjang seperti persiapan SDM.
PSSI mesti memilih salah satu perusahaan penyedia teknologi yang ada di daftar atau memiliki izin dari FIFA dan IFAB. Begitu juga dengan konsultan VAR, baik berkaitan teknologi maupun SDM.
FIFA mewajibkan hal itu lantaran ingin melindungi kompetisi. Federasi sepak bola dunia tak ingin ada negara yang memakai teknologi di luar daftar dengan alasan lebih murah.
Selain itu, ada yang perlu dituntaskan PSSI seiring kehadiran VAR. Sisi legalitas dengan broadcaster perlu dipikirkan agar tidak menimbulkan masalah ke depan.
“PSSI harus berkomunikasi dengan konfederasi (AFC) atau federasi negara yang sudah menggunakan VAR. Sehingga, punya gambaran soal riset pasar dan mana perusahaan yang pas untuk mendukung. PSSI tidak bisa mengambil perusahaan antah-berantah karena akan membuat liga berantakan. Ahli pun demikian, banyak yang mengaku ahli tapi tidak punya lisensi. PSSI menunjuk satu orang sebagai pemimpin proyek VAR. Dia harus memiliki hubungan dekat dengan broadcaster. Ada banyak perubahan dalam legalitas dan peraturan sehingga VAR secara utuh diimplementasikan dan didukung peraturan,” tutur Elleray.
Tuntas tahap ketiga tak semata-mata membuat VAR dan SDM bisa turun langsung ke Liga 1. Masih ada tahap keempat yang juga terbilang panjang.
Pada langkah keempat, teknologi VAR mulai disinergikan dengan kemampuan wasit (SDM). Keduanya diujicobakan di kompetisi level usia muda.
“Wasit harus diturunkan dulu di turnamen atau kejuaraan usia muda setelah mereka melakukan pelatihan simulasi di tahap ketiga. Kami akan memonitor terus sampai memberikan persetujuan semua itu untuk dijalankan di liga sesungguhnya,” kata Elleray.
Persetujuan FIFA di tahap keempat menjadi pintu masuk ke langkah berikutnya. Sebelum memberi lampu hijau, FIFA memastikan SDM berkembang lebih dulu baru bisa memanfaatkan teknologi VAR.
“Semuanya harus berjalan berdampingan, pengembangan VAR dan pengalaman wasit. Pada titik tertentu, FIFA baru mengizinkan VAR dan SDM turun dalam kompetisi sesungguhnya dan siaran langsung (tahap kelima),” ujar Elleray.
Hanya saja, jangan kira tuntasnya semua tahap itu membuat FIFA dan IFAB lepas tangan. Sepanjang Liga 1 memakai VAR nanti, FIFA dan IFAB akan memonitor selama kurang lebih dua sampai tiga tahun untuk melihat bagaimana pengimplementasiannya.