Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Raja Iasus begitu murka ketika mendapati anak yang lahir dari rahim istrinya, Clymene, bukan anak laki-laki seperti yang dia harapkan. Tanpa pikir panjang, bayi perempuan itu pun dia buang ke puncak bukit. Bayi malang itu ditinggalkan di sana untuk mati sendirian dan tak berdaya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, Iasus tidak tahu bahwa darah dagingnya itu merupakan titisan Artemis. Maka, lindungan ilahi pun didapatkan bayi tersebut. Awalnya, dia didatangi oleh seekor beruang betina yang menjadi 'ibu' susu baginya. Setelah itu, keberadaannya diketahui oleh rombongan pemburu yang kebetulan melintasi daerah tersebut. Bayi itu pun kemudian dibawa dan dirawat oleh para pemburu tadi.
Artemis, dalam mitologi Yunani, adalah dewi berburu. Maka, tak heran jika titisannya tadi dia pasrahkan kepada orang-orang yang dia lindungi dari Olympus. Di bawah lindungan dan bimbingan para pemburu itu, bayi tadi tumbuh menjadi perempuan tangguh. Dia kuat dan cepat sehingga bisa memenangi lomba lari dan gulat dengan mudah. Dia pun, tentu saja, lihai dalam berburu.
ADVERTISEMENT
Salah satu bukti kehebatannya dalam berburu adalah manakala dia membantai dua centaurus yang berusaha menculik dan memperbudaknya. Pembantaian itu merupakan wujud dari baktinya kepada Artemis. Setelah perlindungan yang diberikan Artemis kepadanya, si bayi malang yang sudah tumbuh jadi perempuan dewasa itu bersumpah akan menjaga keperawanannya sampai akhir hayat. Sumpah itu sendiri akhirnya gagal dipenuhi karena dia dicurangi oleh dewi cinta, Aphrodite.
Nama bayi malang itu adalah Atalanta dan ketika sudah tumbuh dewasa dia punya segalanya. Dia anggun lagi tangguh. Dua keunggulan itulah yang kemudian menginspirasi sekumpulan pemuda pada 1907 yang hendak menamai klub sepak bola bentukan mereka. Klub itu adalah Atalanta Bergamasca Calcio.
Selama 111 tahun perjalanannya, Atalanta Bergamasca Calcio memang tidak pernah benar-benar menjadi besar, seperti halnya Atalanta yang tidak pernah benar-benar dikenal layaknya Heracles atau Ajax. Namun, bukan berarti klub sepak bola ini tidak punya prestasi sama sekali di Italia sana. Coppa Italia 1963 adalah bukti bahwa suatu kali pernah ada prestasi yang dicatatkan oleh klub berjuluk La Dea, atau Sang Dewi, ini.
ADVERTISEMENT
Di era modern, Atalanta lebih lekat dengan status tim yoyo karena mereka memang sering sekali bolak-balik Serie A dan Serie B. Bahkan, pada musim 2010/11 lalu mereka masih berkutat di Serie B. Kendati demikian, perlahan Atalanta mampu bangkit. Di bawah asuhan Gian Piero Gasperini, mereka berani menenun mimpi untuk menjadi salah satu tim unggulan di Italia.
Dalam tiga musim terakhir Atalanta selalu bersaing di papan atas. Mereka memang tidak cukup kuat untuk bersaing memperebutkan gelar juara. Akan tetapi, mencapai kompetisi antarklub Eropa sudah jadi keharusan bagi mereka.
Pada musim 2017/18 mereka berhasil lolos sampai ke fase gugur Liga Europa meski harus mengakui keunggulan Borussia Dortmund. Pada musim ini pun Liga Europa hampir mereka tapaki. Sayangnya, langkah mereka di kualifikasi dihentikan oleh wakil Denmark, Kobenhavn. Untuk musim depan, target mereka bergeser. Atalanta tak lagi puas hanya dengan Liga Europa. Mereka ingin merasakan nikmat dan kerasnya kompetisi bernama Liga Champions.
ADVERTISEMENT
Serie A saat ini sudah memasuki pekan ke-32. Atalanta sendiri baru akan memainkan laga ke-32 pada Selasa (16/4/2019) dini hari WIB menghadapi Empoli. Jika mampu meraih kemenangan, mereka akan kembali menempel Milan yang ada di urutan empat. Tiga poin dari laga kontra Empoli akan membuat Atalanta meraih 55 angka, sama dengan Milan.
Atalanta saat ini sedang berada dalam tren yang sangat bagus. Enam pertandingan sudah mereka lalui tanpa kekalahan. Di atas kertas, Empoli yang berada di papan bawah tentu bukan lawan sepadan bagi pemburu tiket Liga Champions macam Atalanta. Namun, yang jadi masalah, pada pertemuan pertama lalu Empoli berhasil mengalahkan mereka.
Selain itu, menang atas Empoli dan menyamai poin Milan saja tidak akan cukup bagi Atalanta untuk merangsek ke peringkat empat. Sebab, Atalanta sendiri kalah dari segi head-to-head dengan Milan. Jika sampai akhir musim poin mereka tetap sama, maka Milan yang akan berhak untuk lolos ke Liga Champions, bukan Atalanta.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, Gasperini pun berusaha mengerem ekspektasi dari kubunya. Usai menahan imbang Inter pekan lalu, Gasperini berkata bahwa Atalanta bakal bersikap realistis. Alih-alih sesumbar soal target lolos ke Liga Champions, Gasperini memilih untuk menatap sisa laga yang ada satu demi satu. Kendati demikian, di saat yang bersamaan, eks pelatih Genoa itu juga berujar bahwa Atalanta tidak minder untuk bersaing memperebutkan satu tempat di kompetisi antarklub paling elite di Eropa tersebut.
Sikap Gasperini itu sudah benar. Sebab, sumber daya Atalanta sampai saat ini memang baru cukup untuk bermimpi, bukan mematok target mutlak. Dalam diri Atalanta masih terlihat sebuah kekurangan yang begitu banal terlihat bernama ketidakseimbangan.
Atalanta adalah tim yang begitu tajam dalam menyerang. Sampai 31 pekan mereka sudah mencetak 64 gol. Hanya Juventus yang catatan golnya lebih banyak dibanding mereka. Di saat yang bersamaan, mereka kurang becus dalam bertahan, terbukti dengan sudah bersarangnya 41 gol ke gawang mereka. Di kalangan tim sepuluh besar, cuma Roma yang catatan kebobolannya lebih buruk.
ADVERTISEMENT
Dengan catatan demikian, boleh dikatakan Atalanta meraih apa yang mereka raih dengan mentalitas ala Zdenek Zeman. Lawan boleh mencetak dua gol asal mereka bisa mencetak tiga gol. Kira-kira seperti itu. Sejauh ini, cara itu bisa dibilang berhasil. Namun, tidak selamanya Atalanta bisa mengandalkan mentalitas demikian. Apa yang terjadi di awal musim jadi contoh konkret.
Sebelum jadi tim papan atas seperti sekarang, Atalanta sempat gagal menang di tujuh dari delapan pertandingan Serie A pertama mereka musim ini. Dalam kurun waktu itu pula tiket fase grup Liga Europa melayang dari genggaman mereka.
Peruntungan Atalanta baru membaik pada pekan ke-9 ketika mereka menggulung ChievoVerona dengan skor 5-1. Dua pekan kemudian, lewat kemenangan 2-1 atas Bologna, kebangkitan Atalanta itu semakin ditegaskan dengan terbukanya aliran gol Duvan Zapata.
ADVERTISEMENT
Zapata adalah sumber gol utama Atalanta. Dengan catatan 20 gol —yang membuatnya jadi pencetak gol terbanyak kedua di Serie A— dan 5 assist, pemain asal Kolombia itu sudah berkontribusi atas terciptanya 46% gol Atalanta. Zapata sendiri sudah sejak 2013 berlaga di Serie A tetapi dia sebelumnya tak pernah seproduktif ini.
Rahasia di balik mencuatnya Zapata adalah kecocokan antara gaya bermainnya dan cara bermain Atalanta. Agresif, penuh kekuatan, dan kaya teknik. Tiga hal itulah yang selama ini jadi ciri khas Atalanta asuhan Gasperini. Suatu kali pelatih Milan, Gennaro Gattuso, bahkan sampai berkata timnya perlu menggunakan helm ketika bertanding melawan Atalanta.
Zapata adalah perpaduan tiga karakter utama Atalanta tadi. Di belakangnya, bermainlah dua pemain yang punya spesialisasi tersendiri, yaitu teknik. Mereka adalah Alejandro 'Papu' Gomez dan Josip Ilicic. Jika Gomez merupakan katalis serangan yang punya teknik serta kecepatan dalam bergerak dan berpikir, maka Ilicic adalah sosok yang lihai beroperasi di celah-celah sempit. Dua pemain ini, dengan gayanya yang berbeda, adalah penyokong sempurna bagi Zapata.
ADVERTISEMENT
Kemudian, di belakang mereka ada empat gelandang yang mencerminkan agresivitas dan kekuatan Atalanta : Hans Hateboer, Marten de Roon, Remo Freuler, dan Robin Gosens. Pemain-pemain ini tidak spesial secara teknis, tetapi dengan keengganannya untuk berhenti bergerak, mereka menjadi mesin yang menjaga agar Atalanta selalu bisa bermain dinamis.
Yang kemudian menjadi problem bagi Atalanta adalah lini belakang. Kepergian Mattia Caldarake Milan membuat barisan belakang mereka agak goyah. Bayangkan saja, jika saat ini mereka sudah kemasukan 41 gol dalam 31 pertandingan, musim lalu Atalanta cuma kebobolan 39 kali dalam 38 laga. Rasio kebobolan per laga mereka melonjak dari 1,02 gol menjadi 1,32 gol.
Atalanta memang masih diperkuat dua dari tiga bek yang musim lalu jadi pengawal pertahanan mereka, yaitu Rafael Toloi dan Jose Palomino. Namun, justru keberadaan merekalah yang mempertegas betapa dirindukannya Caldara.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, Atalanta saat ini sudah punya pengganti Caldara bernama Gianluca Mancini. Seperti halnya Caldara, Mancini pun tak cuma bisa bertahan, tetapi juga mampu mencetak gol. Sejauh ini, Mancini sudah mencetak 5 gol dan 2 assist sebagai bukti ketajaman. Dari segi bertahan, dia mampu mencatatkan rata-rata 1,5 tekel, 1,8 intersep, dan 2,4 sapuan per laganya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa Mancini adalah bek berbakat, tetapi dia masih butuh waktu untuk jadi andalan sepenuhnya.
Selain masalah pertahanan, Atalanta juga punya masalah bernama kedalaman skuat. Sampai sekarang, hanya ada 16 pemain yang catatan penampilannya sebagai starter mencapai dua digit. Artinya, pemain Atalanta sebenarnya itu-itu saja, khususnya di lini depan.
Selain Zapata, hanya Musa Barrow pemain depan yang dipercaya tampil cukup banyak. Namun, Barrow masih berusia 20 tahun. Dia pun, walau sudah tampil 19 kali, lebih kerap turun sebagai pengganti. Tak heran jika belum ada gol yang bisa dilesakkan striker asal Gambia tersebut. Sebagai alternatif, Gasperini lebih suka memainkan Ilicic sebagai ujung tombak dan jika Ilicic dimainkan di situ, pos gelandang serang dipegang oleh Mario Pasalic.
ADVERTISEMENT
Dengan minimnya pemain yang bisa diandalkan, Atalanta akan mendapat masalah jika badai cedera menerpa, terutama jika itu terjadi pada Zapata. Apalagi, di sisa laga yang ada mereka masih bakal bertemu dengan tim-tim macam Napoli, Juventus, dan Lazio. Namun, jika semuanya berjalan sesuai rencana, mimpi ke Liga Champions itu bukan mustahil akan menjadi kenyataan.