Tentang Huddersfield Town, Tamu Tak Diundang di Premier League

8 Agustus 2017 17:59 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suporter Huddersfield Town (Ilustrasi) (Foto: Reuters/Lee Smith)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Huddersfield Town (Ilustrasi) (Foto: Reuters/Lee Smith)
ADVERTISEMENT
Di Premier League 2017/18, Huddersfield Town adalah tamu yang tak diundang. Mereka, menurut ukuran liga sepak bola paling glamor sedunia itu, sama sekali tidak perlente dan banyak orang sudah mencoret mereka bahkan sebelum kompetisi dimulai.
ADVERTISEMENT
Huddersfield memang tidak seharusnya ada di Premier League. Musim lalu, mereka menatap Divisi Championship dengan trauma menahun. Sejak musim 2012/13, mereka tak pernah mampu beranjak dari papan bawah. Dalam kurun waktu tersebut, prestasi terbaik mereka adalah ketika berhasil mengakhiri musim di peringkat ke-16 pada musim 2014/15. Semusim berikutnya, mereka turun tiga peringkat.
Itulah mengapa, musim 2016/17 ditatap tanpa keinginan muluk-muluk. Tujuan mereka ketika itu hanya satu: mempertahankan diri.
Namun, semua prediksi, semua vonis, mampu mereka putar balikkan. Pada awal-awal musim, mereka bahkan sempat memimpin klasemen sebelum akhirnya, pada pengujung musim, mereka duduk di peringkat kelima. Dengan begitu, tiket play-off pun digenggam, dan setelah menyingkirkan Sheffield Wednesday serta Reading, Premier League pun menjadi kenyataan bagi The Terriers.
ADVERTISEMENT
Kota Huddersfield sendiri terletak di Yorkshire Barat; di antara dua kota masyhur, Leeds dan Manchester. Dulu, Huddersfield pernah menjadi salah satu kota termakmur di Inggris dengan industri tekstil sebagai penggerak utama roda perekonomian. Bersama Leeds, Dewsbury, Batley, Ossett, dan Wakefield, Huddersfield menjadi pengekspor utama produk olahan wol.
Pada dekade 1920-an, Huddersfield yang makmur itu kemudian mampu menjadi penguasa sepak bola Inggris. Tiga musim berturut-turut -- 1923/24, 1924/25, dan 1925/26 --, gelar Divisi Satu Football League berhasil mereka bawa pulang. Selain itu, pada tahun 1922, mereka juga berhasil menyabet trofi Piala FA.
Aktor utama di balik keberhasilan Huddersfield Town tersebut adalah Herbert Chapman, manajer sepak bola legendaris yang di kemudian hari bakal lebih identik dengan Arsenal. Tim Chapman ketika itu dikenal sebagai sebuah tim dengan pertahanan yang kokoh dan serangan balik mematikan.
ADVERTISEMENT
Huddersfield Town 1921/22. (Foto: Twitter/Dan Jackson)
zoom-in-whitePerbesar
Huddersfield Town 1921/22. (Foto: Twitter/Dan Jackson)
Selain itu, tak seperti tim-tim Inggris kebanyakan yang doyan mengirim umpan panjang, Huddersfield era Chapman lebih mengandalkan umpan dari kaki ke kaki. Dengan cara bermain demikian, kecepatan dan trik para pemain sayap menjadi senjata utama dalam mengeksekusi serangan balik. Sayang, itu semua berakhir pada 1925 ketika sang manajer menerima tawaran Arsenal.
Walau tidak pernah merasakan gelar juara level tertinggi lagi menyusul kepergian Chapman, Huddersfield baru benar-benar mengalami kemunduran usai Perang Dunia II. Di saat yang bersamaan, industri tekstil yang sebelumnya menjadi nyawa kota tersebut juga secara perlahan mati. Saat ini, kebanyakan penduduk Huddersfield bahkan lebih banyak bekerja di sektor jasa, alih-alih industri seperti pada masa jayanya dulu.
Tanpa keberadaan industri yang maju dan klub sepak bola yang bisa berbicara banyak, kota Huddersfield pun mati suri. Tak banyak orang yang tertarik untuk mampir dan melihat-lihat apa yang ada di sana. Kota ini pun kemudian hanya menjadi "kota yang dilewati jika Anda bepergian dari Leeds ke Manchester atau sebaliknya". Kalaupun ada yang bisa dibanggakan dari Huddersfield, paling-paling hanya universitas yang aktif dalam riset dan pengembangan nanoteknologi. Itu saja.
ADVERTISEMENT
Walau begitu, sejatinya kota ini tidak pernah kehilangan karakteristiknya. Sebagai kota yang dibesarkan oleh industri, masyarakat kelas pekerja tentu menjadi ujung tombak perekonomian kota. Dari sanalah karakteristik itu terbentuk. Kolektivitas, tentu saja, menjadi kata kunci, dan bukan kebetulan pula jika dari kota ini dulu lahir anggota parlemen pertama sosialis pertama, Victor Grayson.
Grayson (depan) dalam demonstrasi tahun 1907. (Foto: University of Huddersfield)
zoom-in-whitePerbesar
Grayson (depan) dalam demonstrasi tahun 1907. (Foto: University of Huddersfield)
Karakter masyarakat kota itulah yang kemudian terwujud di dalam DNA permainan Huddersfield Town. Mau itu era Chapman, atau kini era David Wagner, klub ini selalu identik dengan permainan yang mendewakan kolektivitas, meski pendekatannya tidak sama persis.
Bukan rahasia lagi jika mereka yang bermain secara defensif memiliki inferioritas tersendiri, entah itu dari segi fisik maupun teknik. Ketika The Terriers merajai sepak bola Inggris pada dekade 1920-an itu pun, nyaris tidak ada nama yang menonjol dan kalaupun ada, paling-paling hanya Clem Stephenson dan George Brown. Stephenson ketika itu merupakan pemain Tim Nasional Inggris pertama di klub ini, sedangkan Brown di kemudian hari bakal menjadi pencetak gol terbanyak klub sepanjang masa.
ADVERTISEMENT
Bersama David Wagner, Huddersfield pun demikian. Jika ditilik dari skuat mereka musim lalu, wajar jika tak seorang pun berani menjagokan mereka. Namun, dengan kolektivitas yang mewujud dalam gegenpressing, anak-anak asuh Wagner mampu membuktikan semua yang meragukannya salah.
Filosofi bermain Wagner itu, tentunya, tidak datang dengan sendirinya. Fakta bahwa dia pernah menjadi pelatih tim junior Borussia Dortmund di era Juergen Klopp seharusnya sudah bisa menjelaskan dari mana eks-pemain Timnas Amerika ini mendapat idenya.
Manajer Huddersfield, David Wagner. (Foto: Reuters/Jason Cairnduff)
zoom-in-whitePerbesar
Manajer Huddersfield, David Wagner. (Foto: Reuters/Jason Cairnduff)
Dengan menerapkan gegenpressing, Wagner mampu meminimalisasi kekurangan-kekurangan individual yang dimiliki oleh anak-anak asuhnya. Pasalnya, dengan bermain demikian, mereka senantiasa bergerak bersama-sama dan saling melindungi satu sama lain. Hasilnya, tiket promosi pun direngkuh.
Walau begitu, baik Wagner maupun chairman Dean Hoyle paham bahwa Premier League adalah monster yang tingkat keganasannya berkali-kali lipat dibanding Divisi Championship. Itulah mengapa, meski masih bakal menggunakan gegenpressing sebagai senjata utama, mereka sudah menambah kualitas individual yang sekiranya diperlukan untuk bisa mengarungi kompetisi.
ADVERTISEMENT
Sejumlah pemain baru pun didatangkan dengan Steve Mounie, penyerang asal Benin, menjadi pembelian termahal sepanjang masa klub ini. Mounie dibeli dari Montpellier dengan nilai transfer 11,7 juta poundsterling. Selain itu, mereka juga mendatangkan Tom Ince dari Derby County dan Aaron Mooy dari Manchester City dengan banderol masing-masing 8,19 juta pounds. Ini belum termasuk enam pemain anyar lain.
Para pemain ini kesemuanya didatangkan sebelum latihan pramusim dimulai dengan tujuan agar mereka bisa terintegrasi dengan baik. Sejauh ini, rencana Wagner dan Hoyle pun sudah menunjukkan hasil dengan Mounie mencetak tiga gol dari empat laga pramusim.
Mounie (tengah) dalam sebuah uji tanding. (Foto: Reuters/Dominic Ebenbichler)
zoom-in-whitePerbesar
Mounie (tengah) dalam sebuah uji tanding. (Foto: Reuters/Dominic Ebenbichler)
Bagi Huddersfield, kolektivitas dan keharmonisan memang segalanya. Oleh Hoyle, David Wagner pun tidak dibebani target apa-apa. Bahkan, jika seandainya nanti The Terriers kembali harus turun kelas, Wagner tidak akan dipecat. Hal ini tentu bakal mengurangi tekanan yang salah-salah justru bisa menjadi blunder bagi klub. Entah ada hubungannya atau tidak, keharmonisan ini memang sudah identik dengan Hoyle yang menjadi jutawan dari hasil berjualan kartu ucapan.
ADVERTISEMENT
Musim ini, bagi Huddersfield, sebenarnya tidak akan terlalu berbeda dengan musim lalu. Memang benar bahwa kali ini mereka ada di Premier League. Akan tetapi, secara status, mereka tetap sama: underdog. Setelah musim lalu dijagokan bakal melorot ke League One, kini pun mereka diprediksi bakal segera kembali ke Championship.
Namun, Huddersfield Town adalah sebuah klub dari sebuah kota yang tahu bagaimana caranya memenangi pertarungan dengan nasib. Selama berpuluh-puluh tahun kota ini dipaksa untuk bertahan meski tidak ada lagi yang bisa mereka gunakan untuk berpegangan dan faktanya, ia masih berdiri sampai sekarang.
Hal yang sama berlaku untuk The Terriers, tentunya. Musim lalu, nasib berhasil mereka pecundangi. Lantas, apa yang menghalangi mereka untuk membuat kejutan lainnya?
ADVERTISEMENT