Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kebingungan seketika melanda Ruud Gullit. Dia tidak yakin orang yang tengah dia ajak berbicara di telepon itu adalah orang yang tepat.
"Dia bicara seperti mulutnya sedang penuh makanan. Aku berpikir, 'Ini siapa, sih? Ini betulan dia atau bukan?' Seharusnya, orang yang lahir dan besar di Swiss 'kan bisa bahasa Jerman, tapi logatnya aneh sekali," kenang Gullit pada 2012 silam dalam wawancara dengan The Independent.
Memori Gullit saat itu sedang berkelana ke musim panas 1996, saat Piala Eropa tengah digelar di Inggris. Sebulan sebelum turnamen digelar, FA menawari Glenn Hoddle untuk menerima estafet kepelatihan dari tangan Venables. Tawaran itu diterima oleh Hoddle.
Pada musim kompetisi 1995/96, Hoddle adalah pelatih Gullit di Chelsea . Setelah Hoddle hengkang, manajemen The Blues tidak mencari pelatih baru. Mereka meminta Gullit untuk menjadi pelatih merangkap pemain. Waktu itu, peran demikian cukup jamak ditemukan. Bahkan, Hoddle sendiri sebelumnya mengemban jabatan demikian.
Gullit punya kredensial lumayan sebagai pelatih, setidaknya untuk lingkup internal klub. Dia berhasil meyakinkan Hoddle untuk memindahkannya dari lini belakang ke lini tengah. Hasilnya, Gullit menjadi runner-up pemain terbaik Premier League di belakang Eric Cantona.
Terhitung sejak 2 Mei 1996, Gullit menjabat sebagai manajer-pemain di Chelsea. Dengan peran itu, dia tentu memiliki kebebasan untuk menyusun tim sesuai dengan keinginannya. Gullit ingin Chelsea memainkan sepak bola kontinental yang seksi dan untuk itu dia harus mencari personel yang tepat.
Setelah lebih dari tiga pekan bekerja sebagai manajer-pemain Chelsea, Gullit berhasil merekrut pemain impian pertamanya dalam diri Gianluca Vialli . Ketika itu, pada usia 31 tahun, Vialli baru saja mengantarkan Juventus menjadi juara Liga Champions. Istimewanya, Chelsea sukses mendapatkan Vialli dengan status bebas transfer.
Gullit tentu saja tidak berhenti sampai di situ. Setelah mendapatkan amunisi lini depan, dia bergerilya untuk mencari penggawa lini tengah. Gullit ingin mencari pemain yang bisa menerjemahkan isi kepalanya di atas lapangan.
Tak seperti Vialli yang sudah cukup berumur, target Gullit untuk mengisi lini tengah Chelsea ini adalah pemain yang masih berusia 25 tahun. Namanya Roberto Di Matteo dan saat itu dia merupakan salah satu gelandang terbaik Italia. Meski tak berhasil meraih trofi bersama Lazio, Di Matteo dianggap layak untuk memperkuat Timnas Italia.
Di Matteo bergabung dengan Lazio pada 1993 dari klub Swiss, Aarau. Ya, Di Matteo memang tidak memulai kariernya di Italia karena dia lahir dari pasangan imigran Italia di Swiss. Lima tahun lamanya Di Matteo berkarier di Swiss sebelum akhirnya menjejakkan kaki di tanah leluhur.
Transfer Di Matteo ke Lazio itu memang tidak seglamor transfer Paul Gascoigne, misalnya. Akan tetapi, di bawah polesan Dino Zoff dan Zdenek Zeman, Di Matteo menjelma jadi salah satu gelandang box-to-box terbaik Negeri Piza.
Sebagai pemain tengah, kemampuannya komplet. Merebut bola, menjaga kedalaman, mengkreasi peluang, bahkan mencetak gol bisa dilakukannya. Bersama Lazio, Di Matteo dimainkan sebagai deep-lying playmaker tetapi tak jarang pula dia merangsek naik untuk membobol gawang lawan.
Secara teknis, Di Matteo punya kemampuan mumpuni. Selain itu, dia juga sosok yang cerdas, serius, dan mau bekerja keras. Tak salah jika Gullit kepincut untuk merekrutnya ke Chelsea. Di Matteo dipandang bisa jadi penyeimbang bagi Dennis Wise yang lebih konfrontatif dalam bermain.
Setelah mengamankan jasa Vialli, Gullit ingin segera mendapatkan tanda tangan Di Matteo. Yang jadi soal, Di Matteo saat itu tengah berada di kamp Timnas Italia untuk mengikuti Euro 1996. Meski turnamen diselenggarakan di Inggris, Gullit tak serta merta bisa menjalin kontak begitu saja dengan pemain incarannya.
Beruntung, pada waktu itu pelatih Timnas Italia, Arrigo Sacchi, membawa serta mantan anak asuhnya di Milan sebagai asisten. Carlo Ancelotti namanya. Ancelotti sendiri pada musim 1995/96 telah memulai karier kepelatihan bersama Reggiana dan setelah Euro 1996 berakhir dia meneruskan karier itu bersama Parma.
Ancelotti dan Gullit pernah sama-sama bermain untuk Sacchi di Milan. Kebetulan, mereka pun sama-sama beroperasi di lini tengah. Kedekatan itu membuat Gullit berpikir bahwa Ancelotti bisa membantu menghubungkannya dengan Di Matteo. Pikiran Gullit itu tidak salah dan terjadilah percakapan telepon tadi.
Bagi Chelsea, Gullit, dan Di Matteo, semua serbakebetulan. Kebetulan ada Ancelotti di Timnas Italia dan kebetulan pula Azzurri tersisih lebih cepat dari turnamen karena Gianfranco Zola gagal mengeksekusi penalti dengan baik ke gawang Jerman. Kebetulan juga Lazio butuh uang setelah merekrut Pavel Nedved dari Sparta Praha.
Nedved direkrut dari Sparta Praha dengan dana 4,65 juta poundsterling dan Lazio kemudian melepas Di Matteo ke Chelsea dengan banderol 4,95 juta poundsterling. Buat Chelsea waktu itu, duit sekian amatlah banyak. Sebelum rekornya dipecahkan Zola beberapa bulan kemudian, Di Matteo menjadi rekrutan termahal Chelsea dalam sejarah.
Jadilah kemudian Gullit memiliki tiga pemain asing berkelas saat musim 1996/97 dimulai. Selain Vialli dan Di Matteo, ada juga Frank Leboeuf yang dibeli dari klub Prancis, Racing Strasbourg, dengan biaya 3,1 juta poundsterling. Zola sendiri baru tiba di Premier League pada November 1996.
Chelsea mengawali musim 1996/97 itu dengan bertamu ke The Dell, markas Southampton. Sayangnya, pertandingan tersebut tidak berakhir sesuai harapan. Chelsea hanya mampu bermain imbang 0-0 pada laga tersebut.
Meski demikian, pada dua partai berikutnya, semua berubah. Menghadapi Middlesbrough dan Coventry City di Stamford Bridge, mereka berhasil memetik kemenangan beruntun. Tiga pemain asing baru mereka berhasil mencetak gol pada dua laga tersebut.
Dari tiga nama tadi, Di Matteo jadi yang pertama membukukan nama di papan skor. Empat menit jelang peluit panjang, Di Matteo menerima umpan dari Mark Hughes yang bergerak melebar ke sayap. Setelah mengontrol bola, Di Matteo melepas tembakan keras dari luar kotak penalti yang gagal dihalau kiper Boro, Alan Miller.
Perayaan gol Di Matteo sungguh elegan. Alih-alih berlari kesetanan laiknya pemain baru yang mencetak gol perdana dengan cara yang indah, Di Matteo membaringkan tubuhnya di tanah. Tangan kirinya dia gunakan untuk menopang tubuh, tangan kanannya dia lambaikan ke arah suporter. Senyum pun tersungging di bibirnya.
Aksi itu kemudian diikuti para pemain Chelsea lain. Wise, Leboeuf, Dan Petrescu, semuanya turut serta dalam selebrasi bersejarah tersebut. Musim 1996/97 adalah titik di mana Chelsea bertransformasi menjadi klub kosmopolitan dan Di Matteo adalah pencetak gol perdana di era ini.
Bagi Di Matteo, gol itu menjustifikasi ketertarikan besar Gullit kepadanya. Sepanjang musim pun dia selalu menjadi andalan di lini tengah Chelsea. Oleh Gullit, dia dimainkan 34 kali pada musim 1996/97 dan Di Matteo membayar kepercayaan itu dengan mencetak 7 gol untuk membawa Chelsea finis di posisi keenam.
Tampil lumayan di Premier League, Chelsea menunjukkan performa yang lebih bagus lagi di Piala FA. Musim itu untuk pertama kalinya mereka bisa mencapai partai puncak setelah menjadi juara pada edisi 1970. Pada laga final itu Di Matteo lagi-lagi mencatatkan sejarah.
Di final Piala FA 1997, lawan yang dihadapi Chelsea adalah Middlesbrough. Final ini menarik karena Middlesbrough pun tengah berusaha menjadi tim kosmopolitan seperti halnya Chelsea. Di skuatnya, mereka memiliki nama-nama macam Fabrizio Ravanelli, Gianluca Festa, hingga Juninho Paulista.
Sebelum ke final Piala FA, Middlesbrough sebelumnya sudah berhasil mencapai final Piala Liga tetapi dikalahkan Leicester City dalam final dua leg. Final Piala FA pun jadi kans bagi Boro untuk membuktikan bahwa investasi mereka tak sia-sia.
Namun, apa mau dikata. Chelsea rupanya lebih tangguh. Bahkan, ketika laga belum genap berusia satu menit, The Blues sudah berhasil mencetak gol dan Di Matteo adalah sosok yang mencetaknya. Pada detik ke-42, Di Matteo melepas tembakan jarak jauh sensasional ke gawang Middlesbrough.
Gol Di Matteo itu menjadi gol tercepat dalam sejarah final Piala FA yang digelar di Wembley sebelum akhirnya Louis Saha memecahkan rekor tersebut pada 2009. Menariknya, Saha mencetak gol 25 detik itu ke gawang Chelsea walau akhirnya Everton harus menderita kekalahan 1-2.
Setelah Di Matteo mencetak gol, Eddie Newton melengkapi kemenangan 2-0 Chelsea pada menit ke-83. Chelsea pun menjadi juara sekaligus memutus dahaga akan gelar yang sudah berlangsung sejak 1970 tadi. Trofi Piala FA itu membuat Chelsea makin percaya diri menjelang musim 1997/98.
Nyatanya, pada musim 1997/98 prestasi Chelsea membaik. Keberhasilan menjuarai Piala FA turut mengantarkan mereka ke Piala Winners, di mana mereka akhirnya menjadi juara. Zola mencetak gol tunggal kemenangan 'Si Biru' atas Stuttgart pada partai puncak.
Sebelum menjuarai Piala Winners, gelar Piala Liga pun berhasil Chelsea amankan. Pada laga final, lagi-lagi Chelsea berhadapan dengan Middlesbrough dan lagi-lagi pula Di Matteo mencetak gol. Gol Di Matteo kali ini dicetak pada babak perpanjangan waktu, tepatnya pada menit ke-107.
Dua belas menit sebelumnya bek asal Jamaika, Frank Sinclair, sudah membuka keunggulan Chelsea lewat tandukannya memanfaatkan umpan silang Wise. Gol Di Matteo, sementara itu, lahir lewat sentuhan pelan memanfaatkan sepak pojok dari Zola.
Sayangnya, Gullit tidak menikmati dua gelar juara tersebut karena pada Februari 1998 dia dipecat. Bukan hasil buruk yang membuat pria Belanda itu dipecat melainkan perselisihan dengan patron klub, Ken Bates. Jabatan manajer-pemain Chelsea kemudian diserahkan pada Vialli.
Selain membawa Chelsea menjuarai dua kompetisi, Vialli pun sukses mengantarkan tim asuhannya finis di posisi empat Premier League. Tahun 1999 itu dilengkapi Chelsea dengan trofi Piala Super Eropa lewat keberhasilan menundukkan Real Madrid.
Pada musim 1998/99 itu Di Matteo masih menjadi tumpuan lini tengah Chelsea. Akan tetapi, pada 1999/2000, kedatangan Didier Deschamps dari Juventus membuat porsi bermain Di Matteo sedikit berkurang. Tercatat, pada musim itu dia hanya turun di 18 pertandingan.
Meski demikian, bukan berarti tidak ada torehan bersejarah dari Di Matteo. Pada Boxing Day 1999, dalam kunjungan ke The Dell, untuk pertama kalinya dalam sejarah Chelsea menurunkan tim berisikan sebelas pemain asing. Di Matteo menjadi bagian dari tim itu.
Ed de Goey (Belanda), Leboeuf (Prancis), Albert Ferrer (Spanyol), Emerson Thome (Brasil), Petrescu (Rumania), Celestine Babayaro (Nigeria), Deschamps (Prancis), Gustavo Poyet (Uruguay), Di Matteo (Italia), Gabriele Ambrosetti (Italia), dan Tore Andre Flo (Norwegia) diturunkan oleh Vialli pada laga yang dimenangi Chelsea 2-1 tersebut.
Legiun asing inilah yang kemudian mengantarkan Chelsea pada gelar Piala FA kedua dalam tiga musim terakhir. Pada partai puncak edisi 2000, Chelsea berhadapan dengan Aston Villa yang diperkuat Benito Carbone dari Italia.
Di Matteo memang ditakdirkan bermain di laga-laga besar Chelsea dan itu terbukti dari keberhasilannya mencetak gol ke gawang Villa. Kemelut di kotak penalti Aston Villa yang lahir dari tendangan bebas Zola dimanfaatkan Di Matteo dengan tembakan yang mengarah ke langit-langit gawang.
Gol di menit ke-73 itu tak mampu dibalas Villa dan Chelsea pun kembali pulang dari Wembley dengan menggondol trofi. Gelar ini membuat Chelsea berhak tampil di Charity Shield 2000 yang sukses mereka menangi usai menundukkan Manchester United 2-0.
Trofi Charity Shield itu jadi trofi terakhir yang dipersembahkan Di Matteo untuk Chelsea sebagai pemain. Pada musim 2000/01 tersebut, dalam sebuah laga Piala UEFA menghadapi St. Gallen, Di Matteo mengalami patah kaki yang 18 bulan kemudian membuatnya memutuskan gantung sepatu di usia 31 tahun.
Setelah pensiun sebagai pemain, Di Matteo sempat menjalankan bisnis restoran bersama sejumlah rekan, salah satunya Marcel Desailly yang bermain bersamanya di Chelsea. Namun, seperti yang pernah diutarakannya pada Desailly, hasrat Di Matteo adalah menjadi pelatih sepak bola.
Pada 2008 Di Matteo mengawali karier kepelatihan bersama Milton Keynes Dons sebelum akhirnya berlabuh ke West Bromwich Albion. Setelah dua musim melatih West Brom, Di Matteo akhirnya pulang ke Chelsea untuk menjadi asisten bagi Andre Villas-Boas. Namun, peran itu tak lama dijalaninya karena Villas-Boas dipecat di tengah jalan.
Di Matteo lantas diangkat jadi pelatih interim dan di bawah asuhannya Chelsea menjadi juara Liga Champions untuk kali pertama. Lewat adu penalti, Didier Drogba cs. sukses mengandaskan Bayern Muenchen. Di Matteo pun tak lama kemudian diangkat jadi pelatih tetap.
Sayangnya, sebagai pelatih tetap, Di Matteo gagal bersinar dan akhirnya dipecat. Dia lantas bertualang ke Jerman untuk melatih Schalke pada musim 2014/15 sebelum kembali ke Inggris untuk menangani Aston Villa. Tak lama di Aston Villa, Di Matteo dipecat lagi dan sejak 2016 belum kunjung kembali ke sepak bola.
Karier Di Matteo di Chelsea, baik sebagai pemain maupun pelatih, sama-sama tidak panjang. Akan tetapi, dia selalu berhasil mempersembahkan gelar bergensi untuk mereka. Oleh karenanya, sampai kapan pun Chelsea akan selalu berutang besar pada Di Matteo.
***
Catatan Editorial:
Lewat seri 'Invasi Calcio ke Britania ' ini kami akan mengajak Anda berkelana ke dekade 1990-an ketika Premier League masih baru belajar berjalan. Pada fase itu ada sejumlah pemain Italia yang datang untuk 'membantu' sepak bola Inggris bergerak ke masa depan. Kami ajak Anda berkenalan lebih dekat dengan mereka.
-----
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!