Xavi, Zanetti, dan Mereka yang Setipe dengan Lahm

9 Februari 2017 13:04 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Lahm memutuskan gantung sepatu akhir musim ini. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Lahm memutuskan gantung sepatu akhir musim ini. (Foto: Reuters)
Dunia sepak bola akan kehilangan seorang jenius ketika Philipp Lahm, 33 tahun, gantung sepatu akhir musim nanti. Kepergian Lahm dari lapangan hijau ini memang agak disayangkan mengingat usianya yang belum terlalu tua bahkan untuk ukuran atlet profesional. Selain itu, keengganannya untuk terjun di dunia kepelatihan juga membuat pemain cerdas satu ini akan semakin dirindukan.
ADVERTISEMENT
Lahm sendiri memang eksepsional. Dia cerdas, tidak banyak omong, dan selalu bisa diandalkan. Di sepak bola, Lahm sebetulnya bukan satu-satunya sosok yang demikian. Melalui tulisan ini, kumparan ingin mengajak Anda berkenalan dengan pemain-pemain yang sejenis dengan Philipp Lahm.
1) Javier Zanetti
Mari memulai dengan pemain yang berposisi natural sama dengan Lahm, Javier Zanetti.
Pemain satu ini memang luar biasa. Tak hanya mampu bermain hingga berusia 40 tahun, Zanetti pun merupakan seorang pemimpin cerdas yang mampu diandalkan oleh tim yang dia bela.
Memulai karier profesional bersama Banfield, Zanetti besar dan melegenda di Internazionale. Meski berposisi asli sebagai bek kanan, Zanetti punya kemampuan untuk bermain di beberapa posisi lain. Ketika Internazionale meraih trigelar pada 2010, misalnya, dia bermain sebagai gelandang tengah karena di pos bek kanan Inter punya Maicon dan Christian Chivu jadi penghuni tetap pos bek kiri.
ADVERTISEMENT
Untuk menjadi pemain serbabisa, tentu dibutuhkan kecerdasan taktikal dan kemampuan teknikal yang mumpuni. Zanetti punya kedua hal ini. Bermain di Serie A yang sangat taktikal, pemain kelahiran Buenos Aires ini kemudian terbentuk menjadi sosok yang paham betul bagaimana caranya bermain dengan otak.
Selain itu, seperti halnya Lahm, Zanetti juga dikenal akan jiwa kepemimpinannya. Bedanya adalah, jika Lahm merupakan sosok silent leader, Zanetti adalah seorang senatore yang berpengaruh dan vokal di ruang ganti.
2) Xavi Hernandez & Andres Iniesta
Kami sebetulnya bisa saja memisahkan duo ini. Akan tetapi, Andres Iniesta dan Xavi Hernandez tetap lebih baik jika berada di dalam satu kesatuan.
Xaviesta, julukan duet ini, memang punya tipikal yang nyaris serupa. Perbedaan mereka barangkali hanya terletak di gaya bermain. Jika Xavi lebih nyaman mengontrol permainan dari sentral lapangan, Iniesta punya kemampuan untuk mengobrak-abrik pertahanan lawan dengan dribel-dribelnya. Itulah mengapa dulu Pep Guardiola pernah berkata kepada Xavi bahwa Iniesta-lah pemain yang akan memensiunkan mereka berdua.
ADVERTISEMENT
Baik Xavi maupun Iniesta adalah pemain-pemain yang kalem, tidak banyak tingkah, tetapi diberkahi teknik dan kecerdasan yang luar biasa. Mereka adalah nyawa dari Barcelona dan Tim Nasional Spanyol yang begitu dominan pada akhir 2000-an hingga awal 2010-an. Dari dua pemain ini, juego de posicion yang baik, benar, serta sedap dipandang mata itu hadir. Membuat lawan-lawan tangguh tampak amatiran bukan cuma sekali-dua kali dilakukan Xaviesta.
Xaviesta, duo maut Barcelona. (Foto: Paul Gilham/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Xaviesta, duo maut Barcelona. (Foto: Paul Gilham/Getty Images)
Selain itu, kedua pemain ini juga dikenal sebagai pemimpin. Iniesta saat ini merupakan kapten Barcelona dan ban kapten itu dia terima dari Xavi. Seperti Lahm, kedua pemain ini adalah silent leader yang memimpin dengan memberi contoh. Bersama Carles Puyol yang dulu merupakan sosok vokal, bisa dibayangkan seperti apa suasana kamar ganti Barcelona ketika itu.
ADVERTISEMENT
3) Paul Scholes
Setelah pensiun menyepak bola, muncul banyak sekali trivia mengenai sosok Paul Scholes. Salah satu trivia yang paling kerap diceritakan adalah soal bagaimana Scholes mempermalukan Cristiano Ronaldo di tempat latihan Manchester United.
Ronaldo bercerita bahwa ketika itu dia sedang pamer trik di depan Scholesy. Melihat hal itu, "Sang Pangeran Jahe" kemudian menunjuk sebuah pohon yang letaknya sekitar 50 meter dari tempat mereka berada. Scholes berkata bahwa dia bisa menendang bola mengenai pohon itu hanya dalam sekali percobaan, dan benar saja, Scholes berhasil. Merespons hal itu, Ronaldo kemudian mencoba menendang bola sampai 10 kali, tetapi tak satu pun upaya Ronaldo bisa menemui sasaran. Scholes kemudian, kata Ronaldo, tersenyum dan ngeloyor begitu saja.
ADVERTISEMENT
Paul Scholes memang hebat. Dia adalah pemain yang menjadi contoh bagi pemain-pemain muda di La Masia. Selain itu, Zinedine Zidane pun menyebutnya sebagai pemain terbaik yang pernah dia hadapi. Lebih dari itu semua, Scholes adalah sosok yang tidak neko-neko. Bahkan, agen saja dia tidak punya. Keinginannya sederhana saja: bermain untuk Manchester United.
Dikenal sebagai sosok yang pendiam, Scholes sebetulnya tidak pernah dikenal akan kepemimpinannya. Meski begitu, tidak ada pemain yang pernah bermain dengan atau melawan dirinya yang tidak terkagum-kagum akan kehebatannya. Oh, selain itu, Anda ingat bahwa Paul Scholes pernah kembali dari masa pensiun dan menyelamatkan Manchester United di musim terakhir Sir Alex, bukan?
4) Giovanni van Bronckhorst
Orang Belanda, konon dikenal sebagai orang-orang yang ngeyel. Mereka doyan sekali berdebat dan punya ego selangit. Namun, hal demikian tidak berlaku untuk Giovanni van Bronckhorst (selanjutnya disebut "Gio").
ADVERTISEMENT
Mantan kapten Timnas Belanda ini dikenal sebagai sosok yang kalem dan rendah hati. Kedua hal itu, ditambah dengan kemampuan bersepak bola mumpuni, membuat Gio menjadi sosok yang diandalkan di mana pun dia bermain. Well, kecuali mungkin ketika dia bermain untuk Arsenal dulu.
Akan tetapi, kurang bersinarnya Gio di Arsenal itu pun tidak disebabkan oleh kemampuannya yang buruk, tetapi karena cedera anterior cruciate ligament yang dideritanya. Alhasil, dia pun kemudian dilego ke Barcelona.
Berposisi awal sebagai gelandang tengah, Frank Rijkaard yang ketika itu melatih Barcelona menggeser Gio ke pos bek kiri. Hasilnya pun ciamik. Di posisi barunya itu, dia tampil cemerlang. Bahkan, ketika mengapteni Timnas Belanda di Piala Dunia 2010 lalu, posisi itulah yang dihunia pria keturunan Maluku ini.
ADVERTISEMENT
Kini, pria kelahiran 5 Februari 1975 itu telah menjadi pelatih di klub yang membesarkannya, Feyenoord, di mana dia sudah mempersembahkan satu gelar Piala KNVB. Patut ditunggu apakah kesuksesannya sebagai pemain akan menular ke karier kepelatihannya.
5) Simone Padoin
Sebelum mencela, tolong beri kami kesempatan untuk menjelaskan perihal satu ini dulu, oke?
Begini. Simone Padoin memang bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan Philipp Lahm atau pemain-pemain lain yang ada di daftar ini. Akan tetapi, pengoleksi lima gelar Serie A ini punya satu kesamaan dengan bintang-bintang besar itu. Padoinho, julukannya, dikenal sebagai sosok rendah hati tetapi selalu bisa diandalkan.
Ketika dia akhirnya meninggalkan Juventus pada musim panas 2016 lalu, tak sedikit suporter Juventus yang menyayangkan kepergiannya. Pasalnya, pemain satu ini adalah sosok yang bisa dengan enak diperintah untuk main di banyak posisi. Posisi asli Padoin adalah gelandang kanan. Meski begitu, dia pun fasih dimainkan sebagai bek kanan atau gelandang tengah. Hasilnya pun sebetulnya tidak buruk karena Padoin selalu mampu menjawab kepercayaan pelatih dengan penampilan yang, walau tidak spektakuler, tetapi solid.
ADVERTISEMENT
Padoin sendiri, dalam salam perpisahan yang dia unggah via akun Instagram milik istrinya, mengaku bahwa dia "tahu bahwa dia tidak layak untuk berseragam Juventus" dan "berterima kasih sebesar-besarnya kepada para fans". Atas kerendah hatian, keserbabisaan, dan kecerdasan taktikalnya itu, Simone Padoin kemudian menjadi cult hero di kalangan suporter "Si Nyonya Tua".