Profil Emma Hayes, Arsitek Kejayaan Chelsea Women Satu Dekade Terakhir

15 November 2023 18:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Emma Hayes, pelatih Chelsea Women. Foto: Justin Tallis/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Emma Hayes, pelatih Chelsea Women. Foto: Justin Tallis/AFP
ADVERTISEMENT
Sebelum Emma Hayes, tim sepak bola wanita Chelsea bukanlah siapa-siapa.
ADVERTISEMENT
Prestasi yang mereka bisa banggakan hanyalah menjadi finalis Piala FA. Mereka pelan-pelan memang jadi lebih baik, tapi letak prestise mereka tak pernah lepas dari menjadi bayang-bayang Arsenal.
Dari musim pertama Chelsea mentas ke divisi teratas Liga Inggris Wanita (yang saat itu masih bernama FA Premier League National Division) pada 2005 sampai satu dekade berikutnya, posisi terbaik Chelsea cuma mentok di peringkat ketiga pada 2009 dan 2010. Pemain demi pemain berlevel internasional didatangkan, tapi prestasi tak semakin membaik.
Maka kapak diayunkan pada leher pelatih-pelatih mereka. Sejak 2005 hingga 2012, Chelsea ada lima pelatih yang memimpin pasukan The Blues. Mereka adalah George Michealas (2001-2005), Shaun Gore (2005-2008), Steve Jones (2008-2009), Casey Stoney (player-manager, 2009), dan Matt Beard (2009-2012). Tapi trofi juara belum juga bisa diraih.
ADVERTISEMENT
Baru pada 2012, bintang-bintang berjajar dan Chelsea menemukan apa yang mereka cari. Apabila John Terry dan Frank Lampard dihadapkan pada arah nasib baru lewat datangnya si Sinis dari Portugal, Chelsea Women memulai perjalanan yang lebih menyenangkan setelah datangnya Emma Hayes.
Para pemain Chelsea Women bersiap saat melawan Arsenal di Kingsmeadow, London, Inggris , pada 21 Mei 2023. Foto: Paul Childs/REUTERS
Tentu Emma Hayes dan Chelsea tak langsung juara. Awal mereka justru menyedihkan. Finalis Piala FA pada 2012 itu justru finis ketiga dari bawah. Musim berikutnya justru lebih parah; mereka finis kedua dari bawah. Mereka cuma mendapat 10 poin dari 14 pertandingan.
“Oke, kamu punya klub dengan nama besar, tapi sifat kami lebih ke terafiliasi ketimbang dijalankan oleh Chelsea. Staf kami, seperti Emma dan asistennya, bekerja 90 jam per minggu biar klub ini bisa berjalan,” ujar Adrian Jacob, direktur Chelsea Women, pada 2021 kepada Goal.
ADVERTISEMENT
“Semua pemain adalah pemain part-time, punya pekerjaan lain. Mereka berlatih beberapa hari seminggu di Staines FC di Wheatsheaf Park. Ada beberapa atlet Olimpiade seperti Claire Rafferty dan Eni Aluko, tapi lebih banyak yang menonton liga tarkam dibanding pertandingan kami,” tambah Jacob.
Tapi ketika kamu berada di bawah, satu-satunya arah bergerak adalah ke atas. Hayes, yang saat itu bekerja 90 seminggu, mulai mengubah hal-hal dasar yang kiranya menjadi permasalahan. Masalah kontrak pemain adalah salah satu yang paling mendesak.
Tentu, personel pun ditambah. Mereka kedatangan Katie Chapman and Gilly Flaherty dari Arsenal, juga bintang Korea Selatan, Ji So-Yun.
Maka, pada musim 2014/2015, di musim ketiga Hayes, Chelsea mencicipi titik paling tingginya. Mereka finis kedua di bawah sang juara, Liverpool—dalam liga yang perlu sampai hari terakhir untuk memastikan siapa juaranya dan hanya kalah selisih gol.
ADVERTISEMENT
“Kami bukannya lebih jelek dari mereka, tapi mereka adalah atlet penuh waktu dan mereka lebih fit daripada kami,” kata Jacob.
Chelsea yang saat itu masih amatir kemudian berubah menjadi profesional dan sejak saat itu tak terbendung. Mereka juara WSL pada musim 2015, 2017 (spring series), 2017/18, 2019/20, 2020/21, 2021/22, dan 2022/23. Juara liga tujuh kali dalam sembilan musim, semua-muanya bersama Emma Hayes sebagai pelatih utamanya.
Emma Hayes. Foto: Jonathan NACKSTRAND / AFP
Emma Carol Hayes lahir pada 18 Oktober 1976 di Camden, London. Tadinya ia sendiri adalah pemain sepak bola—cukup menjanjikan sebab bermain di Arsenal Academy. Namun, pada umur 17 tahun, cedera ankle saat ski di tengah liburan mengakhiri kariernya.
Hayes kemudian belajar sosiologi dan mengambil master di hubungan internasional, meski fokus utamanya tetap di sepak bola. Bedanya, ia kini memilih menjadi pelatih.
ADVERTISEMENT
Karier kepelatihannya itu justru dimulai di seberang Pasifik, tepatnya pada 2001. Adalah Long Island Lady Riders yang menjadi pelabuhannya di Amerika. Di situ, Hayes bertahan dua tahun. Satu penghargaan ia raih 2002, yaitu Pelatih Terbaik W-League 2002, usai mengantar Lady Riders juara Eastern Conference Northeast Division meski kalah melawan Boston di final konferensi. Ia juga menjadi pelatih termuda di liga sepak bola wanita AS itu.
Pada 2003, ia ganti ke Iona Gaels College dan bertahan selama tiga tahun. Ia sempat juara Metro Atlantic Athletic Conference (MAAC) pada musim 2004/05. Pada 2006, ia pulang kampung dan menjadi asisten pelatih di Arsenal sekaligus menjabat sebagai direktur akademi tim wanita mereka.
Di situ, racikan Hayes terbukti sakti. Selama tiga tahun berada di London utara, Arsenal meraih kesuksesan yang luar biasa. Mereka memenangkan 11 trofi, termasuk tiga piala Liga Inggris Wanita, tiga Piala FA, dan Piala UEFA Wanita. Posisinya sebagai direktur akademi pun dinilai sukses; banyak binaannya yang akhirnya berkarier di WSL.
ADVERTISEMENT
Hayes kembali lagi ke Amerika pada 2008, kali ini menjadi manajer di Chicago Red Stars. Tak hanya menjadi pelatih, ia juga menjadi direktur operasional sepak bola tim tersebut. Ia merekrut pemain-pemain terbaik Amerika Serikat dan Eropa, tapi juga membangun infrastruktur klub tersebut menjadi klub profesional modern seperti sekarang ini.
Setelah setahun menjadi konsultan kepelatihan di Washington Freedom dan direktur teknis di New York Flash, pada 2011, akhirnya Hayes kembali lagi ke Inggris. Sebuah langkah, yang kemudian kita tahu, menjadi berkah buat Chelsea.
***
Kini, sudah dipastikan bahwa Hayes akan meninggalkan Chelsea akhir musim ini. Ia, yang pernah bilang lahir di London "tapi ditempa di Amerika" melanjutkan tren bolak-balik Inggris-Amerika Serikatnya.
ADVERTISEMENT
Mulai akhir musim nanti, Hayes akan melatih USWNT, menjadi pelatih sepak bola wanita dengan gaji tertinggi di dunia. Tentu ini adalah penghargaan sepadan buat Hayes. Dia pantas mendapatkannya, dan penunjukan ini tampak seperti langkah yang serasi dari kedua belah sisi.
Yang seharusnya pusing adalah Chelsea. Apa kabar mereka ditinggal sang arsitek yang membawakan mereka kejayaan?