Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Geliat Jamu di Indonesia Jelang Dinobatkan sebagai Warisan Budaya UNESCO
22 November 2023 10:36 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Indonesia mengajukan Jamu sebagai warisan dunia pada 7 April 2022. Peneliti yang mewakili Ketua Tim Kerja Nominasi Budaya Sehat Jamu, Erwin J Skripsiadi, menyebut pengajuan nominasi budaya sehat jamu dilakukan sesuai dengan standar dan kaidah yang telah ditetapkan UNESCO.
"Proses riset dilakukan oleh Tim Riset Jamupedia, sebuah lembaga riset dan pengarsipan budaya sehat Jamu, di bawah bimbingan konsultan ahli Gaura Mancacaritadipura, sejak bulan Juni 2021," kata Erwin dalam siaran pers pada Selasa (12/4/2022).
Untuk memenuhi persyaratan tersebut, kata Erwin, pihaknya melakukan riset budaya salah satunya melalui pembacaan terhadap artefak yang menunjukkan budaya meracik jamu, seperti pada relief Candi Borobudur, prasasti Madhawapura, prasasti Bendosari, dan sebagainya.
"Upaya nominasi jamu sebagai WBTB UNESCO sudah didorong sejak 2013 yang dipelopori oleh para maestro jamu seperti Mooryati Soedibyo dan Jaya Suprana," katanya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sebanyak 59,12 persen masyarakat Indonesia mengkonsumsi jamu. Sebanyak 95,6% di antaranya mengkonsumsi ramuan herbal itu untuk medikasi.
Tingkat kepercayaan publik terhadap obat tradisional juga terbilang tinggi. Berdasarkan data Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM), produk obat tradisional yang sudah terdaftar di BPOM mencapai 30.441. Sebagai perbandingan, obat umum yang terdaftar di BPOM mencapai 20.975 produk.
Lantas, seperti apa sejarah jamu? Serta bagaimana jamu bisa tetap eksis di kalangan masyarakat Indonesia hingga dunia?
Sejarah Jamu
Jamu dan Indonesia memiliki sejarah panjang dan kaya. Berdasarkan buku milik Susan-Jane Beers, Jamu: The Ancient Indonesia Art of Herbal Healing, jamu sudah ada sejak 1.300 M pada masa kejayaan kerajaan Hindu-Budha.
ADVERTISEMENT
Budaya meramu dan minum jamu dipengaruhi oleh ajaran India, yaitu prinsip Ayurveda. Pada mulanya jamu diminum oleh kalangan istana, kemudian dibawa ke desa-desa oleh tabib.
Sebelum kata jamu beredar luas, berbagai manuskrip Jawa Kuno menyebut dengan kata “jampi” atau “usada” yang berarti penyembuhan dengan menggunakan ramuan obat-obatan, doa-doa, maupun aji-ajian.
Kedua kata itu muncul pada naskah Gatotkaca Sraya gubahan Mpu Panuluh di era kerajaan Kediri. Sejak diperkenalkan ke luar istana oleh para tabib, sesuai dengan strata sosial dan tata bahasa Jawa madya, dan ngoko kata ‘Jampi’ berubah menjadi ‘Jamu’.
Dalam buku The Power of Jamu karya Martha Tilaar dan Bernard T. Widjaja, bukti eksistensi perjalanan jamu dapat terlihat di relief Karmawibhangga bagian dasar candi Borobudur.
ADVERTISEMENT
Dalam relief tersebut, orang-orang yang menghancurkan bahan-bahan pembuat jamu seperti nagasari, pandan, pinang, jamblang, dan kecubung. Selain dari relief Candi Borobudur, terdapat dokumen naskah kuno yang ditemukan di Bali dengan Bahasa Sansekerta. Pada naskah tersebut diceritakan tentang pengobatan tradisional.
Pada ke era kolonial, masyarakat mulai menulis resep jamu tradisional dari tanaman yang dikenal dengan primbon atau serat. Serat yang paling terkenal adalah Serat Centhini dan Serat Kaoru Djampi Djampi yang mengulas secara lengkap obat tradisional.
Selain ditulis para bangsawan kerajaan, pemerintah Hindia-Belanda juga membuat buku pegangan membuat jamu yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1911 oleh Ny. Kloppenburg-Versteegh.
Diekspor ke Luar Negeri
Popularitas jamu kian meroket saat pandemi COVID-19. Pandemi mendorong masyarakat minum jamu untuk kesehatan. Tak terkecuali oleh Presiden Jokowi yang mempopulerkan empon-empon untuk melindungi diri di tengah ketiadaan pengobatan dan vaksin.
ADVERTISEMENT
Kementerian Kesehatan RI mencatat ada 19.871 tanaman obat yang digunakan sebagai ramuan tradisional. Dari hasil identifikasi tersebut, baru sekitar 9.600 spesies yang diketahui memiliki khasiat obat. Sebanyak 200 spesies di antaranya telah digunakan sebagai bahan baku industri obat tradisional. Indonesia bahkan mengekspornya ke beberapa negara.
Guru Besar Bidang Kimia Organik Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran Prof. Dikdik Kurnia, M.Sc., PhD, menilai Indonesia perlu lebih banyak melakukan riset mengenai pengembangan obat herbal. Ini didasarkan potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia.
“Ini sudah diakui banyak negara bahwa Indonesia dengan iklim tropisnya merupakan salah satu sumber tanaman obat yang sangat penting di dunia,” ungkap Prof. Dikdik saat menjadi pembicara pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Prospek Herbal Dentistry: Kimia Bahan Alam untuk Kemandirian Obat” yang digelar Dewan Profesor Unpad secara virtual, Sabtu (28/5/2022).
ADVERTISEMENT
Prof. Dikdik memaparkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah melakukan regulasi untuk menetapkan obat herbal menjadi salah satu yang direkomendasikan untuk mendukung kesehatan masyarakat selain obat modern. Di beberapa negara, obat herbal sudah diberikan sebagai resep yang diberikan oleh dokter.
“Di Jepang, dokter sudah memberikan resep dua jenis: apakah mau obat herbal atau obat modern. Kedua-duanya diakui pemerintah,” ujarnya.
Berdasarkan data BPS 2023, Taiwan menjadi negara terbanyak yang melakukan impor bahan obat tradisional dari Indonesia dengan nilai Rp 4,3 triliun sepanjang Januari-Agustus 2023. Sedangkan harga jual di China lebih tinggi yaitu Rp 5,8 triliun.
Selain mengeskpor bahan baku, Indonesia juga mengekspor produk obat tradisional. Bisnis jamu pun mulai meluas dengan hadirnya resep jamu klasik dalam bentuk bubuk saset dan botol untuk kenyamanan modern. Sehingga jamu dapat dinikmati kapan pun dan di mana pun.
ADVERTISEMENT
Taiwan menjadi negara tujuan eksportir tertinggi dengan total harga barang Rp 7,5 trilliun. Disusul dengan Filipina dengan total harga barang mencapai Rp 7 triliun, Malaysia Rp 3 triliun, Uni Emirat Arab Rp 1,1 triliun, dan Kamboja Rp 3,4 triliun.
Selain lima negara di atas, Indonesia juga mengekspor produk obat tradisonal ke 15 negara lain. Seperti Jepang, Hongkong, China, Thailand, Korea Selatan, Singapura, Myanmar, Brunei Darussalam, Pakistan, Saudi Arabia, Oman, Cyprus, Aljazair, Togo, dan Nigeria.