Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Keragaman Selera Kuliner Keluarga Para Pemimpin Indonesia
17 Agustus 2024 12:31 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Para pemimpin Indonesia ternyata bukan hanya sibuk mengurus urusan kenegaraan saja, tapi juga urusan dapur keluarga. Hal ini terbukti dengan selera kuliner keluarga para pemimpin Indonesia yang beranekaragam.
ADVERTISEMENT
Keragaman selera keluarga para pemimpin Indonesia sekaligus menjadi penanda betapa kayanya kuliner Nusantara. Terbukti, para pemimpin Indonesia berikut ini tak bisa lepas dari selera makanan daerahnya masing-masing.
Bahkan sejak zaman Soekarno, makanan Indonesia sudah menjadi bahan diplomasi gastronomi. Bung Karno kerap menghidangkan makanan Nusantara untuk tamu-tamu kenegaraan.
Lantas, bagaimana selera kuliner dari keluarga para pemimpin Indonesia?
Kemeriahan Sayur Lodeh di Meja Makan Soekarno
Dalam talkshow "Menguak Gastronomi Istana Negara Republik Indonesia dari Masa ke Masa" yang diselenggarakan Indonesian Gastronomy Community (IGC), pada Kamis (15/8) di Hotel Borobudur Jakarta, turut hadir cucu dari Soekarno, yakni Puti Guntur Soekarno, S.IP., yang mengungkap selera makan dari kakeknya.
Menurut Puti, Bung Karno begitu menyukai sayur lodeh yang dipadukan dengan tempe bosok atau tempe "busuk". Meski makanan khas Pulau Jawa ini biasa menjadi menu sederhana, tapi sesungguhnya sayur lodeh adalah panganan meriah. Terlihat dari isiannya yang beragam, seperti sayur labu atau waluh, terong, kacang panjang, hingga tempe.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, sayur lodeh juga memiliki filosofi mendalam. Sayur berkuah santan ini merupakan simbol dari "penolak bala". Dengan pengharapan, sayur lodeh menjadi makanan yang mampu menolak kesedihan, kesialan, atau kemalangan.
Sayur lodeh bak menggambarkan bagaimana harapan Soekarno agar masyarakat Indonesia tidak lagi diliputi kesedihan pada masa itu. Terlebih di masa kepemimpinannya Indonesia berhasil merdeka dari penjajahan pada 17 Agustus 1945.
Rupanya, menurut Puti, selera makan sang proklamator negara tersebut tidak hanya berhenti pada sayur lodeh. Kecintaannya terhadap masakan Indonesia tak dia lewatkan satu pun. Soekarno membentuk Kepanitiaan Buku Masakan Indonesia pada 1961, yang dibantu oleh Departemen Pertanian.
Soekarno dan para panitia berhasil mengumpulkan resep masakan Nusantara, yang terangkum dalam buku Sang Pusaka Kuliner "Mustika Rasa".
ADVERTISEMENT
"Cita-cita Bung Karno menginginkan Indonesia memiliki kedaulatan pangan, karena kita punya keanekaragaman pangan dan selalu dia tampilkan dalam diplomasinya, seperti saat Konferensi Asia Afrika, Bung Karno terjun langsung melihat makanan yang ditampilkan harus bercita rasa Jawa Barat, seperti opak, peyeum, dan buah-buahan juga harus buah Indonesia," ujar Puti.
Bahkan, lanjut Puti, neneknya, Fatmawati juga terjun langsung membantu Bung Karno menyiapkan menu makanan kenegaraan di dapur istana.
"Nenek saya, ibu Fatmawati, dia menceritakan dia selalu terjun langsung ke dapur pada tahun 1945 untuk menyiapkan hidangan tamu kenegaraan. Ibu Fatmawati sangat senang masak, dan masakannya ngangeni," tambahnya.
"Kalau sudah masuk ke dapur, (dia) gemar masak rendang khas Bengkulu bercita rasa Sumatera, yakni rendang lokan, gule pakis, pendap. Dalam jamuan kenegaraan maupun untuk hidangan keluarga."
ADVERTISEMENT
Adab Selera Keluarga Minang Bung Hatta
Tak jauh berbeda dengan Soekarno, wakil presiden Mohammad Hatta yang merupakan darah Minang, juga memiliki selera kuliner yang sama. Hal ini diungkapkan oleh anak kedua Hatta yakni Gemala Rabi'ah Hatta, MRA., M.P.H.
Gemala yang turut hadir mengungkapkan bahwa selera makan keluarga Bung Hatta terbagi menjadi ala Minang dan Palembang.
"Hidangan favorit Bung Hatta itu ada lidah sapi yang digoreng kering lalu di atasnya ditaruh telur ceplok. Kemudian, dia juga suka dengan sayur urap khas Banda Neira yang dicampur kacang kenari. Buat sambalnya suka dengan sambal lingkung khas Palembang," ungkapnya.
Gemala juga menyebutkan kudapan khas Minang kesukaan Bung Hatta, seperti ketan sarikayo (srikaya) dan ampiang dadih. "Dari kecil ampiang dadih khas Bukittinggi itu jadi kudapan yang kita sering makan, favorit ayah saya," tambahnya.
Sementara, selain menceritakan deretan makanan kesukaan keluarga Bung Hatta, Gemala juga mengisahkan bagaimana ayahnya mengajarkan adab makan yang ketat.
ADVERTISEMENT
Misalnya saja, jika biasanya masyarakat ranah Minang gemar menikmati makanan menggunakan tangan, maka keluarga proklamator ini justru lebih suka makan pakai sendok dan garpu.
"Di rumah ayah saya kalau makan harus tertib di meja makan, tidak boleh pakai tangan, pakai sendok-garpu, enggak boleh ngomong kalau masih ada makanan di mulut. Ayah saya sangat mengajarkan soal table manner," pungkasnya.
Selera Asin dan Pahit Keluarga B. J. Habibie
Nadia Habibie, MSC yang merupakan cucu dari B. J. Habibie turut menceritakan bagaimana sang kakek yang menyukai selera masakan bercita rasa asin dan pahit. Makanan favoritnya seperti ikan asin, pare, dan bubur manado dengan ikan asin.
"Ketika eyang saya menjadi presiden, saat itu saya baru berusia enam tahun. Jadi saya dengar ceritanya hanya dari asisten rumah tangga keluarga kami, yakni Pak Sigit dan Ibu Satiyah. Eyang Habibie lebih suka dengan makanan yang asin dan pahit karena dibesarkan sama orang tua yang tinggal di Sulawesi," tutur Nadia.
ADVERTISEMENT
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Habibie menyukai ikan asin hingga pare. Namun tak hanya itu, tahu dan tempe goreng selera keluarga Presiden ke-3 Indonesia ini pun harus yang bercita rasa asin, menurut Nadia.
"Sementara, selera eyang Aiunin yang berasal dari Jawa, walau tinggal di Bandung lama, tapi suka dengan makanan yang rasanya cenderung manis, seperti sayur lodeh atau opor yang agak manis," ucapnya.
Namun, selera keluarga ini belum lengkap, menurut Nadia, jika tidak ada sambal jeruk limo atau limau buatan ibu Satiyah. Digambarkan oleh Nadia, sambal jeruk limo buatan ibu Satiyah bercita rasa segar karena menggunakan banyak jeruk.
Habibie juga memiliki kebiasaan yang sama dengan Soekarno, yakni menjamu tamu kenegaraan dengan makanan khas Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tapi, selera makan keluarga Habibie tidak hanya terbatas oleh masakan Indonesia saja. Habibie yang diketahui lama mengenyam pendidikan dan tinggal di Jerman, juga menyukai makanan khas Eropa seperti kotelett dan halal salami.
Bank Gastronomi Keluarga Gus Dur
Anak bungsu Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Inayah Wulandari Wahid, S.SN., mengatakan bahwa ayahnya merupakan bank gastronomi keluarga Wahid. Ayahnya suka sekali dengan banyak jenis makanan. Namun menariknya di meja makan keluarga Wahid wajib ada durian.
Inayah menceritakan, Gud Dur muda lahir dengan palet lidah yang luar biasa kaya. Pernah tinggal di berbagai daerah hingga negara membentuk selera makan Gus Dur yang kaya akan cita rasa. Sehingga menurut Inayah, ayahnya adalah orang yang mudah suka dengan makanan apa saja.
ADVERTISEMENT
Dilanjutkan Inayah, neneknya kerap menyiapkan makanan mewah dan lengkap, semisal otak sapi goreng, bistik lidah, dan lain sebagainya. Rupanya, kemahiran masak sang ibu juga menurun kepada Gus Dur, yang menurut Inayah, ayahnya juga sangat jago masak.
Tak hanya itu, Inayah menyebut ayahnya sebagai bank gastronomi keluarga. Ini karena, Gus Dur selalu tahu persis di mana saja lokasi tempat makanan enak. "Data street food Gus Dur tuh sangat lengkap, sampai letak dan lokasinya dia hafal betul. Maka itu, saya lagi mengumpulkan data makanan kesukaan Gus Dur dari Batavia sampe Jawa Timur," ujar Inayah.
Inayah juga menambahkan, Gus Dur saat memimpin negara memiliki kebijakan pangan yang kuat. Seperti, dari mana makanan itu berasal, harga makanan, sumber-sumber makanan harus diatur baik oleh pemerintah, sampai petani-petani lokal harus juga diperhatikan.
ADVERTISEMENT
Sehingga dari kepemimpinan ayahnya, Inayah belajar, bahwa "gagasan-gagasan suatu bangsa enggak melulu (tercetus) di konferensi. Ide tentang negara ini dibangunnya di kios tukang sate, di warung soto, dan lain-lainnya. Makan sambil membicarakan soal negara pertukarannya di situ, itu yang membuat saya menjadi tertarik," pungkasnya.
Hingga kini, Inayah pun merasa bahwa ayahnya Gus Dur dan ibunya Sinta Nuriyah, adalah guru terbaik yang mengajarkannya mengenai kekayaan gastronomi Indonesia. "The real gastronomi keluarga, ya ketika ayah dan ibu saya membawa makanan dari daerahnya asli sana saat mereka berkeliling," tutupnya.