Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Sepiring yu sheng dengan tampilan warna warni nan ceria tersaji di hadapan saya. Baru sebentar mengamati tiap elemen di dalamnya --yang sebagian besar adalah parutan sayuran-- sang koki sudah memanjatkan doa sambil menyiramkan saus ke dalam yu sheng.
ADVERTISEMENT
Meski tak paham betul kalimat apa yang tengah diucapkan sang koki, tapi saya tahu, doa tersebut berisi harapan-harapan supaya pergantian tahun senantiasa dilimpahkan oleh keberuntungan dan kemakmuran.
Sebagai orang Jawa, tradisi makan yu sheng sangatlah asing bagi saya. Paling-paling, cuma informasi umum dari sumber daring, buku, atau narasumber sebagai acuan untuk penulisan artikel.
Tahun ini, akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk menjajal tradisi makan tengah, sekaligus mencicipi yu sheng. Setidaknya, dalam satu minggu terakhir, sudah ada tiga seremonial makan yu sheng yang saya ikuti.
Dalam tradisi makan tengah Imlek, yu sheng memang menjadi hidangan wajib. Sajian salad ini biasa disantap untuk mengawali jamuan makan, melambangkan harapan untuk kehidupan yang makmur, serta rezeki yang melimpah bagi penikmatnya.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya sarat akan makna, perjalanan yu sheng menarik untuk dikulik. Sejatinya, yu sheng merupakan hidangan tradisional yang berasal dari provinsi Guangdong (dikenal juga sebagai Kanton) di wilayah China Selatan. Hidangan salad ini dikenal juga dengan nama yee sang.
Mengutip dari Singapore Infopedia, yu sheng sudah disantap oleh orang-orang Guangdong sejak dua ribu tahun lalu. Rupanya, tampilannya jauh berbeda seperti yu sheng yang populer disajikan kini.
Yu sheng ala Guangdong lebih sederhana, dan tak banyak bahan isian. Hanya terdiri dari potongan ikan yang dipadukan dengan minyak kacang atau kecap manis, lalu diberi taburan garam, gula pasir, potongan kacang, biji wijen, bawang putih, jahe, bawang merah, lobak, serta air lemon.
ADVERTISEMENT
Biasanya, yu sheng akan dikonsumsi pada hari ketujuh setelah Tahun Baru China, untuk merayakan Ren Ri --hari diciptakannya manusia dalam mitologi China.
Transformasi yu sheng
Kepopuleran yu sheng pun menyebar ke Asia Tenggara, setelah imigran dari Guangdong yang tinggal di Singapura mulai menjualnya pada abad ke-19. Nah, selama berada di Singapura, hidangan yu sheng lantas bertransformasi.
Mulanya terdiri dari sedikit bahan-bahan, resep yu sheng jadi makin kompleks dan beragam. Pada tahun 1933, pemilik restoran Loong Yik Kee Restaurant di Singapura mulai menjual yu sheng dengan tambahan acar sayuran, gula, dan cuka. Selanjutnya, pada tahun 1978, restoran Yow Kee asal Kuala Lumpur membuka cabangnya di Singapura, dan memperkenalkan saus plum sebagai pelengkapnya.
ADVERTISEMENT
Yu sheng menjajaki tahap akhir transformasinya setelah empat koki andalan Singapura yang dijuluki sebagai 'Four Heavenly King', memodifikasinya di tahun 1960.
Hidangan yu sheng jadi makin berwarna, dengan tambahan bahan-bahan seperti parutan lobak putih dan hijau, wortel, potongan jahe, bawang merah, kacang tumbuk, jeruk pomelo, merica, ekstrak ayam, minyak, garam, cuka, gula, dan lain sebagainya.
Kemudian untuk meningkatkan cita rasanya, para koki juga membuat resep saus siap pakai yang bisa langsung dikombinasikan dengan yu sheng.
Selain bentuknya yang makin cantik, cara menyantap yu sheng pun ikut berubah. Yang awalnya disajikan di hari ke-tujuh Imlek, digeser menjadi hari kedua. Namun, banyak orang yang tak setuju dengan budaya baru tersebut.
ADVERTISEMENT
Sampai pada akhirnya, keempat chef tersebut menyajikan yu sheng sebagai hidangan appetizer dalam set menu makan Imlek . Sejak saat itu, resep yu sheng gubahan mereka makin populer, dan banyak diterapkan di negara lain.
Kehangatan dan kebersamaan dalam menyantap yu sheng
Malam itu, chef yang menjamu saya memasukkan irisan ikan ke dalam yu sheng, sambil terus mengucap doa-doa. Setelahnya, ia mencampurkan jeruk pomelo di atas ikan. Sebagai simbol keberuntungan, ungkapnya.
Baru kemudian ditaburkan bubuk merica, sebagai doa supaya kemakmuran makin meningkat. Langkah selanjutnya, menuangkan minyak secara memutar, mengelilingi seluruh isian yu sheng.
Ini adalah sebuah pengharapan, supaya keuntungan dan rejeki bisa datang dari segala arah.
Sambil terus membaca doa, parutan wortel, lobak, kacang tumbuk, wijen, dan kerupuk ditambahkan satu per satu ke dalam yu sheng. Bahan-bahan yu sheng yang sangat beragam ini membuat cara mencampurnya jadi agak sulit.
Tiap parutan sayuran dan bahan-bahan lainnya cenderung terjerat satu sama lain. Tak mungkin untuk diaduk oleh satu orang saja.
ADVERTISEMENT
Itulah mengapa, yu sheng dihidangkan sebagai sajian komunal, untuk disantap bersama-sama. Dibutuhkan kekompakan, agar cita rasa dari masing-masing elemen bisa menyatu sempurna.
Saya dan rekan jurnalis lainnya pun berdiri, sambil memegang sumpit masing-masing. Bersiap untuk mengaduk semua isian yu sheng.
"Angkat yang tinggi, sambil meneriakkan Lo Hei, ya! Makin tinggi mengangkat sumpit, rejeki yang kita dapatkan niscaya akan semakin banyak juga," jelas sang chef saat memberi aba-aba kepada kami.
Gelak tawa mengiringi usaha kami dalam mengangkat isian yu sheng. Cukup sulit ternyata, karena sumpit saya hanya bisa mengangkat secuil yu sheng saja. Belum lagi tangan kiri yang harus fokus mengabadikan momen makan yu sheng ini (semua demi konten).
ADVERTISEMENT
Tangan kami saling beradu mengambil isian yu sheng, mengangkatnya ke atas, dan saling membantu saat ada isian yang terjatuh. Suasana yang semula tegang karena tak mengenal satu sama lain, jadi terasa ceria dan hangat.
Usai yu sheng selesai diaduk (setidaknya kami harus mengangkatnya sebanyak tujuh kali, sesuai tradisi), kami duduk kembali, siap untuk menyantapnya. Obrolan demi obrolan mulai terlontar, menambah keakraban santap makan Imlek kami.
Cita rasa yu sheng yang segar dengan sentuhan asam dan manis langsung membuat lidah saya jatuh cinta. Bisa dibilang, perkenalan pertama saya dengan yu sheng memberikan impresi yang baik.
Bukan cuma soal keseimbangan rasa, yu sheng juga mengajarkan saya sebuah makna dalam jamuan makan tengah Imlek.
ADVERTISEMENT
Bahwa Imlek bukanlah sekadar pesta perayaan, atau sekadar makan hidangan-hidangan lezat nan mewah. Tapi bagaimana sebuah kehangatan bisa tercipta, dari kebersamaan saat menikmati hidangan. Tak peduli latar belakang sosial, suku, atau agama, serta dari mana kita berasal.
Kehangatan inilah yang membuat jamuan makan terasa makin spesial. Tak cuma perkara cita rasa yang melekat di lidah, namun bagaimana ia bisa meresap di hati, juga ingatan.
Bukan itu saja, sajian khas Imlek ini juga memberikan sebuah pengertian, bagaimana seharusnya sebuah hidangan dinikmati dengan penuh rasa syukur dan apresiasi. Selayaknya doa-doa dan pengharapan, yang senantiasa tertuang dalam tiap suapan yu sheng.