Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Tahun berganti, tren kuliner senantiasa berubah. Mati satu, tumbuh seribu. Ada yang mampu bertahan, tapi tak sedikit pula yang cuma populer sesaat.
ADVERTISEMENT
Namun, bila cita rasanya sudah kadung melekat di hati, pasti ia akan tetap dicari. Bahkan bisa bertahan hingga puluhan tahun, seakan tak termakan oleh zaman.
Tim kumparan telah mengkurasi 10 tempat makan enak legendaris yang berusia lebih dari 50 tahun, dan meminta para food blogger, food enthusiats, jurnalis kuliner, chef, hingga pelaku bisnis kuliner untuk memilih mana yang jadi favorit mereka.
Dari semua list tersebut, nama Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih rupanya yang jadi paling favorit. Eksistensi nasi goreng legendaris ini sudah sejak puluhan tahun silam, tepatnya sejak 1958.
Tempatnya terbilang sederhana. Hanya tenda yang didirikan di pinggir jalan, dengan meja dan kursi kayu yang berderet panjang.
Tapi, yang mengantre bisa sampai berjubel. Tak sedikit yang rela pegal karena harus berdiri lama demi mendapatkan tempat duduk yang bisa ditempati.
ADVERTISEMENT
Pemandangan jalanan gang yang sempit, makin terlihat padat dengan keramaian pengunjung.
Makin malam, justru makin ramai. Saat menyambangi nasi goreng yang telah berusia 61 tahun ini, sudah banyak yang mengantre. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB.
Seolah-olah mereka tak peduli dengan jam makan, ditambah yang disantap adalah makanan penuh karbohidrat dan kalori. Saya pikir, godaan dari cita rasa Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih terlalu sulit untuk mereka abaikan.
Bukan orang biasa saja yang menggandrungi nasi goreng kaki lima ini. Berbagai pejabat pemerintah; mulai dari Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Jokowi (Joko Widodo), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Anies Baswedan, hingga Sandiaga Uno, pun menyukainya.
Kalangan selebritas pun sering mampir untuk menikmati hidangan nasi goreng kambing tersebut.
ADVERTISEMENT
Bumbu yang dipakai oleh tempat makan legendaris ini memang beda dari yang lain. Meski tak disebutkan secara pasti, namun kata Soeroto, Penanggung Jawab Operasional Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih, yang dipakai adalah berbagai rempah khas Indonesia.
Resepnya diciptakan oleh almarhum H. Nein, dan kini telah diwariskan ke generasi ketiga.
Kalau bersantap di Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih, ada sebuah tontonan menarik yang disuguhkan, yaitu kemahiran juru masaknya menggoreng gunungan nasi!
Ya, tak hanya cita rasanya yang spesial, mereka punya ciri khas dalam menyajikan nasi goreng.
Dalam sebuah wajan berdiameter besar, sebanyak 16,5 kilogram daging kambing dimasak terlebih dahulu dengan bumbu. Dengan spatula berukuran cukup besar, si juru masak mengaduk-aduknya sampai rata.
ADVERTISEMENT
Setelah terlihat meresap, sepiring nasi dituangkan ke dalam wajan, berulang kali, sampai menggunung. Satu wajan bisa memasak 25 liter nasi.
Setelahnya, bumbu rempah dan kecap manis ditaburkan di bagian atasnya. Usai semua bumbu dicampurkan, inilah bagian paling inti; mengaduk nasi.
Bagian paling bawah diserok terlebih dahulu ke bagian dalam gunungan nasi. Lalu, bagian atasnya yang diaduk-aduk; kemudian beralih ke sisi kanan, kiri, sampai semua merata.
Rupanya, bukan saya saja yang fokus menonton dan mengabadikan potret momen tersebut. Samping kanan dan kiri saya juga sudah mengeluarkan gawainya untuk merekam aksi si juru masak.
Sontak saya menyeletuk “Wah, sudah biasa jadi model ya pak, sering difoto sama orang,”. Sambil terus mengaduk, ia hanya tertawa kecil “Yah, sudah biasa mbak, saban hari saya difoto terus,”
ADVERTISEMENT
‘Pertunjukan’ memasak nasi goreng yang saya saksikan baru usai, ia sudah beralih ke wajan selanjutnya. Cuma beda beberapa menit, ia sudah mulai memasak gunungan nasi goreng lagi! Luar biasa. Hanya membayangkan untuk menggoreng satu gunungan nasi saja sudah membuat tangan saya kesemutan.
Menurut Soeroto, cara menggoreng yang unik ini menjadi tradisi mereka. “Supaya melestarikan tradisi, makanya dilakukan sampai sekarang,” begitu katanya.
Adalah sebuah misteri, bagaimana cara mengaduk segunung nasi hingga bisa tercampur rata dengan bumbu. Namun menurut Soeroto, tak ada cara khusus untuk mengaduknya, hanya diaduk biasa saja.
“Jadi kita usahakan, meski beda orang yang memasak, cara ngaduknya tetap sama. Dilatih dulu, jadi selalu sama,” ungkapnya saat ditemui kumparan di Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Tiap orang bisa memasak satu hingga dua gunungan nasi per hari, tergantung ramai atau tidaknya. Jumlah yang dijual per harinya pun tak menentu. Tapi, kalau dihitung rata-ratanya, setidaknya mereka bisa menjual tiga sampai empat kuali, atau setara dengan 100 liter nasi goreng tiap hari.
Hal ajaib lainnya yang saya temukan, adalah cara mereka mengantarkan pesanan nasi goreng ke para pelanggannya. Puluhan piring ditumpuk sekaligus di tangan, lalu pelayan akan berkeliling dari meja ke meja, menghampiri sang pemesan. Mirip seperti cara penyajian di Rumah Makan Padang.
Meski pengunjungnya membeludak, mereka mampu mengingat siapa yang memesan, dan duduk di meja mana. Sibuk mondar-mandir pun tak membuat senyum mereka pudar. Lelucon kecil kerap terlontar, membuat suasana makan makin terasa hangat.
ADVERTISEMENT
Oh, ya, saat datang, kita memang harus memesan dan membayar dulu di meja kasir, lalu langsung mencari tempat duduk. Baru kemudian menyerahkan kertas pesanan ke pelayan.
Cita rasa boleh berubah, tapi kenangan tetap abadi
Tanpa menunggu terlalu lama, pesanan nasi goreng saya pun tiba. Warnanya cokelat terang, dengan taburan emping sebagai topping. Potongan daging kambing berukuran besar berpadu dengan bulir-bulir nasi.
Cita rasa rempahnya terasa, namun tak begitu kentara. Cenderung tenggelam dalam manisnya kecap. Daging kambingnya memang tak begitu empuk, namun masih bisa dikunyah dengan mudah. Rasanya tak sekadar hambar, namun gurih dan kaya rempah.
Ketika disantap bersama nasi, tak terasa aroma prengusnya sama sekali. Sekilas, rasanya mirip seperti nasi kebuli, tapi dengan cita rasa yang lebih manis.
ADVERTISEMENT
Bila ingin menambah sensasi pedas, jangan lupa minta acar dan sambalnya. Sambalnya benar-benar mantap, dibuat dari ulekan cabai merah mentah. Pedas, agak pahit, dan terasa segar. Membuat makan makin terasa lahap, meski peluh bercucuran karena berjibaku di tengah kepulan asap penggorengan.
Sejujurnya, ini adalah kali pertama saya mencoba hidangan nasi goreng legendaris ini. Banyak yang bilang, setelah sekian lama, cita rasanya kian berubah. Tapi tetap saja, peminatnya tak pernah berkurang.
Azalia Amadea (26), misalnya. Jurnalis kuliner ini sudah mencicipi kenikmatan Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih sejak kecil. Memang, bila dibandingkan dengan nasi goreng yang ia cicipi beberapa tahun silam, cita rasanya sedikit berubah.
“Rasanya jadi lebih hambar, bumbunya enggak terasa semedok dulu,” ungkap dara yang akrab dipanggil Dea tersebut kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Namun, cita rasa yang berubah tak menyurutkan niatnya untuk tetap kembali bersantap ke sana. Sesekali, Dea dan keluarganya masih mampir untuk makan hidangan legendaris tersebut. Sebab, ia jarang menemukan nasi goreng kambing yang enak, dan cita rasanya pas.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Dyah Ayu Pamela (30). Ia sudah menjadi penikmat Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih selama tujuh tahun. Terlebih, jarak tempatnya bekerja juga tak jauh dari lokasi tempat makan tersebut.
Sampai sekarang, Dyah merasa ada perbedaan dari segi cita rasanya. Terutama, di bagian bumbunya, yang terasa kurang medok.
“So far agak beda sedikit memang, tapi aku tetap beli karena nasi gorengnya enak, walau pakai kambing tapi enggak terlalu bau kambing,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Soeroto mengungkapkan, mungkin memang ada sedikit cita rasa yang berbeda dari hidangan mereka. Namun, mereka selalu berusaha untuk mempertahankan rasa autentik dari nasi goreng kambing hasil racikan sang pendiri.
“(Bahannya) sama, kita menjaga kualitas supaya tetap sama,” kata Soeroto.
Menunya pun makin bervariasi. Kini ada nasi goreng sosis dan ayam juga. Menu tersebut bisa jadi pilihan alternatif, bila kebetulan membawa teman atau keluarga yang tak menyukai daging kambing.
Kendati rasanya sudah tak lagi sama persis, Nasi Goreng Kebon Sirih tetaplah jadi favorit. Nostalgia dan kenangan, bisa jadi adalah alasannya.
Dea, yang sekali tempo datang lagi bersama keluarganya, selain mencari cita rasa, juga ingin bernostalgia kembali.
“Cuma pengin, ya, nostalgia ya, walaupun rasanya beda dari yang dulu,” cetusnya.
ADVERTISEMENT
Begitupun Dyah, yang punya ikatan memori tersendiri dengan nasi goreng kambing tersebut. Menikmatinya lagi, berarti mengingat kembali kenangan penuh nostalgia.
Mungkin yang dibilang chef Michael Chiarello sedikit banyak ada benarnya; “What keeps me motivated is not the food itself but all the bonds and memories the food represents.”
Bisa jadi, inilah yang ditawarkan oleh Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih. Bukan soal rasa semata, tapi bagaimana hidangan tersebut bisa menciptakan ikatan emosional. Membuatnya terus dicari, meski zaman terus berganti.