Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sheila Timothy Padu Kisah Budaya Kuliner Tionghoa dalam Food Docu Series Terbaru
14 Oktober 2021 15:13 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Food docu series ini bercerita tentang etnis Tionghoa di Indonesia yang berada di daerah Kota Tua, Jakarta. Mengisahkan rangkaian perjalanan restoran-restoran legendaris yang lekat dengan budaya Tionghoa serta memadukan kisahnya dalam cerita inspiratif.
Ini memang bukan pertama kali kakak dari Marsha Timothy itu membuat film yang melibatkan kuliner. Sebelumnya perempuan berusia 49 tahun itu telah membuat film Tabula Rasa. Drama dokumenter yang memadukan budaya kuliner ranah Minang.
Namun, pada series kali ini, perempuan yang akrab disapa Lala Timothy itu bersama Zack Lee benar-benar menyuguhkan dokumenter kuliner Tionghoa. Dalam wawancara bersama kumparanFOOD, Kamis (14/10), Lala mengatakan bahwa ada banyak hal yang menginspirasinya membuat food docu series tersebut. Mulai dari kekayaan kuliner Indonesia , buku tentang makanan dan film yang berjudul “Reel Food”, hingga film lawas dari Malaysia berjudul Bujang Lapok.
Dari situlah ia merasa bahwa makanan bisa menjadi media untuk bercerita. Makanan juga bukan tentang tampilan enak saja, tetapi makanan juga bisa jadi representasi dari apa yang ingin kita sampaikan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ia juga mengaku terinspirasi dengan reportase Anthony Bourdain. Sehingga ia merasa bahwa budaya makanan Indonesia sangat menarik untuk diceritakan. “Aku kan ngefans sama Anthony Bourdain, karena di akhir-akhir masa hidupnya ia lebih banyak reportase tentang kultur dan sub-culture kuliner dunia, dan aku ngerasa bahwa makanan indonesia ini budaya sangat kaya serta kuat, dan itu bisa jadi angle menarik untuk diceritakan,” ujar Sheila Timothy pada wawancara eksklusif yang dilakukan secara daring.
Pada docu series ini, ibu tiga anak itu juga melibatkan sejumlah aktor kuliner Indonesia . Terutama rekannya dalam membuat film ini, yakni Zack Lee yang diungkapkan Lala, bahwa laki-laki itu asli “anak Kota”. Berawal dari kulineran bersama di daerah Kota, membuat mereka akhirnya berpikir untuk membuat cerita dokumenter tentang makanan di sana. Sekaligus menceritakan tentang etnis Tionghoa yang belum banyak diungkap orang.
ADVERTISEMENT
“Akhirnya setelah kita kulineran ke Kota kenapa tidak sekalian membuat cerita dokumenter tentang makanan di Kota ini. Tetapi bukan sekadar YouTuber yang review enak-enak, doang. Kita mau menceritakan tentang etnis Tionghoa Indonesia yang rasanya belum diekspos banyak orang. Dan, bahwa mereka adalah orang Indonesia juga yang tentu punya struggle sendiri. Serta Kota itu jadi unik, menjadi suatu tempat tersendiri yang tidak banyak orang tahu, tetapi sebenarnya sudah punya banyak sejarah di dalamnya,” tuturnya.
Tak hanya Zack Lee , Tirta Lee food blogger yang terkenal gemar bakmi itu juga memiliki peran pada series ini. Tirta Lee terkenal memiliki banyak referensi hingga kenalan outlet yang ada di Kota. Sehingga memudahkan Lala untuk mengkurasi dan riset dalam memilih restoran mana saja yang patut diungkap kisahnya. Hampir memakan proses riset satu bulan, mereka mencari nara sumber yang tak hanya jago masak, melainkan pula tak canggung di depan kamera.
ADVERTISEMENT
Pada series Once Upon a Time in Chinatown ini hadir juga pakar kuliner William Wongso sebagai narasumber tambahan, serta seorang ilustrator muda bernama Muhammad Nugraha Pratama.
Dalam film ini melibatkan 10 outlet restoran legendaris di Kota Tua yang dikemas menjadi 7 episode. Tak hanya bercerita tentang perjuangan hidup yang penuh inspiratif, series ini juga dilengkapi tentang kisah keluarga, passion, hingga cinta.
Lala mengatakan bahwa dalam proses produksi Once Upon a Time in Chinatown membutuhkan waktu satu bulan lamanya, begitu juga pada waktu pengerjaan pre-produksi. Serta, membutuhkan waktu enam bulan untuk proses post produksi.
“Post produksi itu jadi lama karena kalau di film future Tuhannya itu kan sutradara, tapi kalo dokumenter sutradaranya itu Tuhan. Karena apa yang kita dapat dari lapangan kadang-kadang diluar dari apa yang kita rencanakan,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Tak sampai di situ, Lala menceritakan mengenai tantangan yang ia rasakan selama syuting. Faktor pertama ialah masalah sound, karena proses syuting itu dilakukan secara langsung di restoran-restoran kecil di Kota. Sehingga suasana pun cukup riuh dan bising.
Tantangan lainnya ialah proses syuting yang dilakukan di masa pandemi, sehingga kru yang terlibat pun tidak sebanyak biasanya. Serta harus berpacu dengan waktu yang sebentar. Lala juga mengatakan bahwa budget yang digunakan pun menjadi bertambah untuk memenuhi keperluan protokol kesehatan.
Karena menceritakan tentang perjuangan para pemilik restoran-restoran di Kota, series ini juga langsung melibatkan para pemiliknya. Meski awalnya Lala sempat takut karena mereka tidak terbiasa berbicara di depan kamera. Namun, tidak di sangka-sangka ternyata mereka mampu melakukannya dan berhasil membuat haru. Nantinya juga pada salah satu episode Once Upon a Time in Chinatown ini akan hadir aktor ternama Indonesia yaitu Lukman Sardi dan Tio Pakusadewo.
ADVERTISEMENT
Lala pun berharap agar series ini bisa berdampak untuk seluruh penonton. Melalui series ini ia juga berpesan untuk selalu menjaga kesatuan, karena Indonesia itu kaya akan kultur dan budaya.
“Karena aku sendiri terinspirasi dari semua narasumber di 7 episode ini. Dari mereka aku belajar bahwa hidup itu sederhana, bahwa kita harus berterima kasih dengan apa yang kita punya. Bahwa menghargai orang itu sangat penting, dan yang paling penting pesan yang ingin kita sampaikan bahwa kita ini orang Indonesia, dan Indonesia itu terdiri dari culture, jadinya kesatuan bangsa itu penting banget dan sadar bahwa Indonesia itu Bhineka Tunggal Ika,” pungkasnya.
Food docu series Once Upon a Time in Chinatown ini telah tayang di Vision+, tiap episode akan tayang seminggu sekali pada pukul 18.00 WIB. Episode pertamanya pun telah rilis sejak 11 Oktober lalu, dan berhasil mendapat komentar positif. Bahkan Lala mengaku ia mendapat feedback baik, seperti dari salah satu penulis yang menghubunginya langsung, dan mengatakan bahwa seriesnya sangat inspiratif serta begitu menyentuh.
ADVERTISEMENT
Reporter: Destihara Suci Milenia