Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Film 'Kucumbu Tubuh Indahku' garapan sutradara Garin Nugroho dan produser Ifa Ifansyah jadi yang terbaik di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2019. Film itu berhasil meraih delapan Piala Citra, lambang tertinggi dalam ajang penghargaan film terbaik di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal itu tentu jadi kebanggan tersendiri bagi industri film Indonesia, mengingat tema yang diangkat 'Kucumbu Tubuh Indahku' tergolong sensitif dan tabu.
"Biarpun masih ada batasan, artinya kebebasan kita sebagai filmmaker sudah sampai lah di satu tingkat tertentu yang lebih baik ketimbang beberapa negara lain, seperti Malaysia dan Tiongkok," ungkap Kimo Stamboel ketika ditemui baru-baru ini.
Bagi Kimo, film itu bisa menjadi pembelajaran berharga bagi pelaku industri film Indonesia, khususnya yang masih tergolong muda dan baru. Ia pun kini mulai menunggu munculnya sineas muda yang berani membuat film berkelas dunia.
ADVERTISEMENT
"Film itu tuh sangat merangsang filmmaker lain untuk membuat film, bahkan yang komersial, menjadi bagus gitu. Karena dari situ kita bisa pelajari bagaimana mengangkat tema yang tabu, tapi tetap keren dari segi karakter-karakternya, angle visual-nya, dan lain-lain," kata sutradara film 'Ratu Ilmu Hitam' ini.
"Nah, filmmaker sekarang (muda) kan senangnya bikin yang komersil tuh. Dari keberhasilan 'Kucumbu Tubuh Indahku', harusnya ada trigger untuk setidaknya membuat film komersial, tapi sekelas film arthouse gitu," sambungnya.
Menurut Kimo, banyak negara-negara lain yang sudah berhasil membuat film komersial sekelas film arthouse. Ia pun memberikan contohnya.
"Coba lihat aja Korean movie. Itu kan ngepop banget sebenarnya, tapi art-nya kan oke banget. Padahal, ceritanya sih pop aja, entah drama atau horor atau action gitu. Kira-kira seperti itu lah," kata Kimo.
ADVERTISEMENT
Namun, bagaimana dengan keberadaan lembaga sensor film yang kerap dinilai membatasi kreativitas para pembuat film?
"Kalau untuk itu, kita harus bisa beradaptasi aja. Sekarang juga akhirnya gue menghargai pekerjaan lembaga sensor yang enggak gampang. Pernah ngobrol dan mereka bilang, sebenarnya juga enggak mau banyak sensor, tapi kan ada aturannya. Lagipula, gue masih belum tahu akan seperti apa jadinya kalau film Indonesia enggak ada sensornya," imbuhnya.