Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Anak 9 Tahun Nekat Bawa Mobil karena Terinspirasi Game, Apa Kata Psikolog?
8 Agustus 2024 14:33 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Menurut Kasi Humas Polres Metro Jakarta Selatan, AKP Nurma Dewi, M melihat ada kunci yang tertinggal di dalam sebuah mobil. Pemilik mobil tersebut bukanlah kerabat atau keluarga M, melainkan pasangan lansia yang tinggal di kompleks tak jauh dari rumah orang tua M. M sering main ke kompleks tersebut. Dan di hari itu, ia melihat kunci masih nyantol pada sebuah mobil.
“Nah, kemudian untuk anak tersebut langsung memasuki mobil lanjut langsung mengendarai,” ucap Nurma.
Lebih lanjut, Nurma menjelaskan, aksi M rupanya terinspirasi dari game simulator yang dimainkannya.
"Game, jadi dia game dari internet. Iya itu (game simulator)," kata dia.
Di kesempatan berbeda, orang tua M mengaku anaknya sebelum kejadian memang meminta izin bermain hujan di luar rumah. Ayah dari M, Rama, mengaku pada saat kejadian sedang bekerja sebagai buruh, sehingga tidak mengetahui aksi anaknya. Sementara sang ibu saat itu sedang berada di rumah, tapi tak mengawasi anaknya karena sudah biasa main ke luar.
ADVERTISEMENT
“Jadi, mau nyalahin gimana? Namanya anak kecil. Anak kecil yang ibaratnya sudah bisa jalan, enggak selalu ngikutin orang tua,” ungkap Rama.
Rama mengakui anaknya memiliki rasa penasaran yang tinggi. Namun, M kesulitan menjelaskan bagaimana peristiwa yang sebenarnya terjadi, dan apa yang membuatnya masuk ke dalam rumah orang asing dan membawa kabur mobil.
“Tumbuh kembangnya aja yang lambat gitu. Normal sih normal anaknya. Cuma rasa penasarannya aja tinggi,” ujar Rama.
Semoga kejadian seperti ini tidak terulang lagi, ya. Sebagai orang tua, ada beberapa hal yang bisa dipelajari dari kejadian ini? Simak selengkapnya di bawah ini, Moms.
Anak Melakukan Kegiatan Berbahaya Terinspirasi dari Game, Gimana Mencegahnya?
Menurut Psikolog Klinis Anak Rumah Dandelion, Rizqina A. Permatasari, M.Psi, Psikolog, beberapa anak memang bisa mencoba untuk melakukan sesuatu yang dilihat dari game yang dimainkannya. Umumnya, ini dilakukan karena rasa keingintahuannya yang tinggi, Moms.
ADVERTISEMENT
"Mereka melihat pola bahwa perilaku tersebut boleh dilakukan dalam game. Selain itu, saat melakukan hal tersebut dalam game, anak juga mendapatkan reward. Sehingga, muncullah keinginan untuk melakukannya di dunia nyata," tutur Rizqina kepada kumparanMOM.
Namun, munculnya keinginan atau tidaknya itu juga dapat dipengaruhi oleh jenis game yang sering dimainkan anak. Penelitian menyebutkan game yang mengandung kekerasan cenderung mendorong anak untuk bertindak lebih agresif dan kurang empati.
Lantas, sebenarnya di usia berapa anak mulai bisa membedakan mana yang nyata di kehidupan, dan mana yang fiksi seperti yang biasa dilihatnya lewat game?
Rizqina menjelaskan, di usia dua tahun, anak akan mulai mengembangkan kemampuan untuk berimajinasi melalui permainan pura-pura.
Lalu, pada usia 5-6 tahun, anak sudah bisa membedakan hal yang tidak sesuai secara tampilan fisik. Contohnya, tokoh kartun kucing yang berjalan dengan kedua kakinya. Anak di usia ini sudah bisa membedakan bahwa itu tidak nyata. Karena pada kenyataannya, kucing tidak bisa berjalan dengan kedua kakinya.
ADVERTISEMENT
Dan ketika usianya 7-11 tahun, kemampuan berpikir logis anak akan semakin meningkat, sehingga anak sudah bisa sepenuhnya memahami hal yang nyata dan fiksi.
"Selain itu, pada usia ini, anak sudah mengerti aturan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan beserta konsekuensinya," ucap dia.
Nah, bagaimana bila orang tua belum mengajarkan sepenuhnya kepada anak tentang setiap perilaku yang dilakukannya punya konsekuensi? Atau justru menormalkan kesalahan yang dilakukan anak, dengan alasan ia masih anak kecil?
"Orang tua bertugas untuk mengajarkan hal tersebut pada anak. Memang, mindset kecil atau besarnya kesalahan anak bisa jadi berbeda tergantung individu yang melihatnya," jelas Rizqina.
"Namun, satu hal yang bisa menjadi patokan atau red flag adalah apabila perilaku anak sudah membahayakan diri sendiri dan/atau orang lain, maka kita tidak bisa menganggap remeh dan butuh perhatian khusus," tutup dia.
ADVERTISEMENT