Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Video cuplikan ceramah Oki Setiana Dewi menuai pro kontra khususnya di media sosial. Tak sedikit warga net yang menentang isi maupun penyampaiannya karena dianggap menormalisasi KDRT . Namun ada juga yang mendukung.
ADVERTISEMENT
Sebagian yang mendukung menyebut, dalam Islam suami memang diperbolehkan memukul istri. Tapi benarkah demikian?
Dihubungi kumparanMOM melalui telepon, Jumat (4/2), Maria Ulfah Anshor, Komisioner Komnas Perempuan menyebut, pro kontra ini timbul karena banyaknya masyarakat yang dipengaruhi oleh konstruksi budaya turun temurun di mana suami dianggap boleh memukul, menghina, membentak istri. Padahal ini sangat bertentangan dengan kaidah Islam.
Dia lebih lanjut menyebut ada hadits di mana Rasulullah mengatakan, ma akram al nisa Illa karim wa ma ahanahunna illa laim.
Artinya: Orang yang memuliakan perempuan adalah orang yang mulia, dan tidak ada orang yang menghinakan perempuan, kecuali orang yang hina.
KDRT Menunjukkan Relasi Kuasa Suami Istri yang Timpang
Maria yang juga menjadi Dosen S3 di Fakultas Islam Nusantara UNUSIA (Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia) dan dikenal aktif dalam berbagai organisasi sosial dan gender ini kemudian mengatakan, bila dilihat dalam konteks relasi gender, KDRT menunjukkan adanya relasi kuasa yang timpang antara suami dan istri.
ADVERTISEMENT
"Perempuan seolah-olah jadi orang yang tidak punya kuasa, tidak punya daya untuk melakukan penolakan. Suami punya relasi yang kuasa sehingga lumrah memukul istrinya. Dalam Islam, tidak bisa begitu,” ujar perempuan yang pernah menjabat sebagai Ketua Fatayat NU selama dua periode ini.
Lantas bagaimana dengan ayang Alquran yang menyebut suami boleh memukul?
"Mungkin maksudnya surat An Nisa ayat 34, ya? Terkait ayat tersebut, perlu dipahami, ayat itu konteksnya partikular, bukan universal, dan itu pun ada tahapannya," Maria menjelaskan.
Menurutnya pada ayat itu disebut ketika perempuan nusyuz atau ketika perempuannya melakukan perlawanan, maka mereka dianggap melanggar terhadap nilai-nilai kesepakatan di dalam pernikahan. Misalnya berselingkuh.
"Tapi itu pun caranya, tidak ujug-ujug langsung dipukul! Ada tahapan-tahapan di situ untuk refleksi dan introspeksi relasi. Mulai dengan klarifikasi, memberi masukan atau nasihat, kemudian baru ada tahapan berikutnya yaitu berpisah tempat tidur agar bisa merenung," ia memaparkan.
Setelah tahapan itu, menurut Maria, ada kata ‘dlaraba’, tapi maknanya banyak. Dalam ayat tersebut memiliki arti tidak hanya memukul tetapi banyak arti di antaranya bepergian, menegakkan, memberikan contoh, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
"Nah, sedikit sekali ahli tafsir yang mengartikan kata 'dlaraba' dalam ayat tersebut dengan arti memukul. Bahkan bagi ulama yang mengartikan memukul, itu pun dengan syarat berupa pukulan yang tidak sampai menyakiti apalagi sampai meninggalkan bekas (ghaira mubarrih) baik secara fisik maupun psikis. Sementara dalam kasus-kasus KDRT itu kan jelas menyakiti, sampai memar, biru-biru dan sebagainya. Apa itu dibolehkan? Tentu tidak!" tukasnya.
Ia kembali mengingatkan, dalam Islam, relasi suami istri harus adil, setara, saling menjaga, menghormati, menghargai dan bermartabat. Bukan relasi yang menempatkan perempuan di posisi begitu hina, sedikit salah dipukul, sedikit marah dipukul apalagi bila lantas seolah-olah dibenarkan.
"Jadi sekali lagi, mari kembali ke Alquran dan Hadits. Karena ajaran Islam jelas seperti itu. Relasi yang adil, yang setara, saling menjaga, menghormati, menghargai dan bermartabat," tutup Maria.
ADVERTISEMENT