Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Cerita Ibu: Aku Didiagnosis Mastitis, Ternyata Kanker Payudara
16 Februari 2024 18:18 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Delapan bulan sejak menyapih anaknya, payudara Ajeng (35) kembali mengeluarkan ASI dan membuatnya kesakitan. Ibu satu anak ini lantas menjalani berbagai pemeriksaan mulai dari USG, mammografi, hingga biopsi jarum halus. Semua hasilnya menunjukkan ia mengalami mastitis.
ADVERTISEMENT
Karena kondisinya sangat mengganggu, Ajeng memutuskan untuk melakukan operasi. Meski tak ada diagnosis yang mengarah pada kondisi keganasan, namun dokter yang menanganinya punya pandangan lain. Mengingat ibu dan neneknya punya riwayat kanker payudara, dokter khawatir hal itu menurun ke Ajeng.
“Dokter bilang, nanti kalau saya buka dan ternyata memang kanker, kamu siap tidak untuk diambil? Ya, saya jawab, siap,” kata Ajeng dalam program Cerita Ibu di kumparanMOM.
Ternyata kekhawatiran dokter terbukti. Ajeng mengidap kanker payudara stadium 0 atau Duktal Karsinoma in Situ (DCIS). Payudara sebelah kanannya juga sudah diangkat saat itu juga.
“Waktu pertama kali tahu kalau kanker setelah operasi itu, kata pertama yang keluar justru alhamdulillah, sih,” kata Ajeng.
Baginya semakin dini kanker terdeteksi, semakin baik untuk dirinya dan keluarga. Meski kanker kerap diidentikkan dengan penyakit mematikan, Ajeng tak begitu memusingkannya.
ADVERTISEMENT
“Aku sudah di tahap pemikiran bahwa semua penyakit bisa bikin meninggal. Jadi kalau misal memang ini cara aku meninggal, mudah-mudahan jadi penggugur dosa,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Ajeng juga begitu legowo meski payudara sebelah kanannya harus benar-benar diangkat. Sebab baginya tugas payudara adalah untuk menyusui anak, dan itu telah dilakukannya selama dua tahun dengan segala perjuangan yang menyertainya.
“Jadi aku let go-nya juga very easy ya. Maksudnya aku menganggap ibaratnya rambut kita kena permen karet, terus harus dipotong aja, gitu,” kata Ajeng.
Kondisi Usai Operasi Pengangkatan Payudara (Mastektomi)
Setelah seluruh sel kankernya dikeluarkan dan payudara sebelah kanannya diangkat, Ajeng merasakan perubahan fisik yang luar biasa. Syaraf-syarafnya jadi terganggu sehingga untuk mengangkat tangan saja ia kesulitan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tubuhnya dibuat mengalami menopause dini sehingga ia merasa jauh lebih mudah lelah. Jika tak berolahraga sehari saja, badannya akan kesakitan seperti fisik seorang lansia.
Ajeng juga masih menjalani terapi hormon selama 5 tahun, mengingat kanker yang dialaminya tipe hormonal. Namun demikian, ia kini sudah bisa menjalani hari-hari dengan normal seperti sebelumnya. Ia bisa bekerja, punya waktu untuk keluarga dan hal-hal lain yang ia sukai.
Psikis Anak Lebih Terguncang
Berbeda dengan Ajeng yang lebih siap menghadapi kanker yang tiba-tiba terdeteksi di tubuhnya, anaknya justru syok dan terguncang. Putrinya yang berusia 4 tahun itu tak mengungkapkan perasaannya secara langsung, tapi perilakunya sehari-hari di sekolah, di tempat les, atau saat bermain dengan tetangga, sangat berubah.
ADVERTISEMENT
Akhirnya Ajeng membawa anak semata wayangnya itu ke psikolog dan disarankan untuk menjalani play therapy hingga saat ini. Anaknya itu ternyata punya kecenderungan untuk tidak bisa menerima kondisi yang tidak sesuai dengan ekspektasinya.
“Aku sama anakku tuh sedekat itu. Aku enggak pernah pisah tidur sama anakku sampai umur 4 tahun. Dan aku operasi kemarin, itu pertama kalinya enggak tidur sama anakku,” tuturnya.
Kejadian itu membuat Ajeng dan suami menyadari bahwa ternyata terlalu dekat dengan anak juga tidak selalu baik. “Karena kan kita tidak bisa selamanya ada di samping dia kan,” kata Ajeng dengan mata berkaca-kaca.
Kanker Mengubah Pandangan Hidup
Banyak pelajaran berharga yang Ajeng rasakan sejak mengalami kanker payudara. Salah satunya ia jadi tahu bahwa sang suami sangat menyayanginya dan begitu khawatir kehilangan dirinya.
ADVERTISEMENT
“Kanker ini juga membuatku merasa, oh Allah itu sayang ya, sama aku. Dan juga aku jadi belajar untuk ngerem. Karena buat yang tahu aku, aku tuh ngegas banget enggak ada ngeremnya, very ambitious,” tuturnya.
Ketakutan Terbesar
Mengingat ia mewarisi kanker payudara tipe hormonal yang sama persis dengan yang pernah diidap nenek dan ibunya, Ajeng begitu khawatir adik dan anaknya juga mengalami hal yang sama. Oleh karena itu, saat anaknya lebih besar dan sudah memungkinkan untuk dites BRCA (Breast Cancer- tes untuk menguji apakah ada genetik kanker di tubuh seseorang), ia akan melakukannya. Ajeng juga mulai mengenalkan kepedulian soal kanker payudara pada anaknya sesuai pemahaman sang anak.
Di sisi lain, ia juga punya pesan khusus untuk anak dan suami jika memang ditakdirkan tutup usia lebih dulu dari mereka. Ia berharap apa yang mereka lalui dalam 2 tahun terakhir ini bisa menambah kekuatan untuk menghadapi tantangan lainnya.
ADVERTISEMENT
“Kalau memang udah waktunya Mama selesai di dunia ini, Mama berharap kalian kompak terus, saling sayang, saling support, dan saling backup satu sama lain,” katanya dengan air mata bercucuran.
Ia juga berpesan bagi pengidap kanker payudara lainnya, untuk tidak ragu segera memeriksakan diri jika merasa ada benjolan di payudaranya. Jika memang bisa diangkat, jangan ragu untuk mengangkatnya agar tidak menimbulkan masalah baru.
“Jadi perjuangkan hidup itu karena nggak semua orang dapat kesempatan hidup dari Tuhan,” tutupnya.