Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Cerita Ibu: Saya Tinggalkan Karier untuk Fokus Mengasuh Anak yang Punya Autisme
3 Maret 2023 19:15 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Mulanya, Alindi menyadari ada yang berbeda dari putranya karena tidak pernah menengok ketika dipanggil. Kala itu, usianya baru sekitar 1,5 tahun. Meski begitu, kekhawatirannya ini sempat disanggah oleh keluarganya. Karena katanya, anak laki-laki biasanya akan jalan lebih dulu dan telat berbicara.
"Biasalah ya kalau keluarga dekat bilang 'Sudahlah kalau anak laki-laki gitu pasti telat bicara, pasti jalan duluan bicara nanti. Jadi kamu tenang aja enggak usah khawatir dulu'. Tapi yang namanya perasaan ibu tuh kayak sudah terdeteksi sendiri, kayak nih ada something wrong sama anak gue nih," cerita Alindi kepada kumparanMOM dalam program Cerita Ibu.
Setelah kekhawatirannya terus muncul, akhirnya Alindi dan suami membawa Tara ke dokter tumbuh kembang anak. Tidak tanggung-tanggung, ada enam dokter yang didatangi. Tiga dari dokter menyatakan Tara mengalami speech delay, namun tidak dijelaskan lebih jelas apa yang penyebabnya. Dan dua dokter lainnya menyebut Tara masuk dalam spektrum autisme.
ADVERTISEMENT
"Ada satu dokter yang memang rekomendasi dari teman juga. Nah, itu memang dokter yang spesialis anak special needs khususnya autisme. Aku bawa Tara ke situ, dia hanya lihat Tara 30 detik, dia bilang 'anak ibu autis'. Di situlah aku baru percaya gitu, kayak oke berarti dia memang autis nih," cerita dia.
Sebagai ibu baru, Alindi sangat syok mendengar diagnosis tersebut. Tidak dipungkiri, ia beberapa kali menangis bersama suami. Bahkan, ia sempat menyalahkan diri sendiri dan mempertanyakan apa yang salah selama 2,5 tahun menjadi ibu dari Tara.
Salah satu reaksi yang membuatnya cukup sedih datang dari keluarga sendiri, yang kala itu belum banyak mengetahui seputar autisme.
"Dari orang tua, 'kamu tuh waktu hamil makan apa sih ya? Gara-gara kebanyakan makan seafood ya? Apa waktu itu kamu kecapekan? Kamu tuh enggak jaga makan kali waktu itu.'. Gitu-gitu yang keluar. Jujur waktu itu aku nangis sama suami, kayak kenapa sih aku harus digituin? Maksudnya, kita tuh sudah sedih ya, dapat diagnosa itu awal-awal sudah sedih. Sudah ngerasa bersalah, enggak usahlah ditambahin gitu lagi," tutur Alindi.
ADVERTISEMENT
Beruntung, sang suami selalu mendampingi dan meyakinkan bahwa kondisi Tara baik-baik saja, lalu tidak perlu memikirkan omongan orang lain.
"Intinya kayak nyalahin ibunya karena kan memang sebenarnya ibu yang mengandung, mereka pikirnya pasti ada nih ada faktor dari kamu. Tapi sih ujung-ujungnya mereka pasti accept gitu dan membantu ujung-ujungnya mensupport aku," kata dia.
Setelah dokter tersebut mendiagnosis anaknya memiliki autisme, Tara harus menjalani intervensi dengan behaviour theraphy. Dalam seminggu, si kecil menjalani terapi sebanyak lima kali, dan dalam sehari bisa selama 7 jam.
Memutuskan Berhenti Kerja untuk Fokus Mengasuh Anak yang Memiliki Autisme
Mengetahui banyaknya terapi yang harus dijalani Tara, Alindi membuat keputusan yang tidak mudah: keluar dari pekerjaan yang sedang berada di puncak kariernya. Ya Moms, sebuah keputusan yang tidak mudah, tetapi ia tidak menyesalinya.
ADVERTISEMENT
"Terus aku bilang ke suami, ya sudah berarti mau enggak mau, bukan aku korban dari pekerjaan. Tapi pilihanku untuk resign dari pekerjaanku," beber Alindi.
Menurutnya, memutuskan untuk keluar dari pekerjaan bukan berarti mengorbankan diri, tetapi pilihan hidup yang harus dijalani sebagai seorang ibu. Dan hingga saat ini, Alindi tidak menyesali keputusannya tersebut.
"Tapi aku enggak menyesal memilih pilihan ini karena memang perkembangannya terlihat banget pada saat aku fokus untuk mendampingi Tara terapi. Dan alhamdulillah sih sekarang memang progresnya itu perkembangannya itu cukup baik ya dari awal dia, dia baru bisa ngomong 3,5 tahun," jelas dia.
Dan saat ini, Tara sudah berumur delapan tahun dan total menjalani lima tahun terapi. Tara sendiri bersekolah di sekolah inklusi, tetapi untuk berkomunikasi sudah mengalami banyak progres. Bahkan, Alindi mengungkapkan sang anak sudah sangat bawel dan tidak berhenti berbicara.
ADVERTISEMENT
Namun, Alindi mengakui yang masih menjadi PR adalah Tara belajar untuk meregulasi emosinya. Ya Moms, meski sehari-hari aktif, tetapi Tara dinilai masih kesulitan dalam mengatur emosinya sendiri.
"Istilahnya sekarang dia umur 8 tahun tapi secara emosi, dia tuh telat dua tahun. Jadi dia setara dengan anak 6 tahun atau mungkin 5 tahun. Jadi, kalau dia tidak mendapatkan apa yang dia mau, atau dia lagi merasakan sesuatu tapi dia enggak bisa mengungkapkannya dengan benar," ungkap Alindi.
Bangkit Bersama-sama demi Anak
Setelah di awal-awal sempat mengalami fase menangis dan sedikit denial, Alindi dan suami berusaha berdamai lalu bangkit untuk sang anak. Ia yakin setiap anak memiliki keunikannya sendiri dan fokus saat ini adalah masa depan Tara. Semua kebutuhan Tara, seperti terapi, terus diupayakan agar perkembangannya semakin membaik.
ADVERTISEMENT
"Kayak i know pasti pertama-tama rasa bingung mesti ngapain banyak questions di kepala, hah semua campur aduk, pasti iya. Nangis dulu enggak apa-apa, tapi please ada action buat anaknya," tegas Alindi.
Ia dan suami memahami bahwa setiap perkembangan anak yang memiliki autisme sangat berarti, serta tidak perlu memiliki ekspektasi tinggi.
Namun di tengah perjalanannya, Alindi juga mengakui banyak tantangan yang dihadapi. Salah satunya ketika sang adik lahir, di saat Tara berusia 6 tahun.
"Mulai dari pas adiknya lahir, kasih pengertian bahwa ini adik kamu, lho. Disayang ya gitu maksudnya, be gentle kalau deket dia. Tapi still, challenge-nya ada banget gitu karena kan dia baru ya makhluk kecil siapa? Pasti adalah di mana tiba-tiba dia nanti cubit adiknya, pukul adiknya. Jadi kayak anak cuma beda setahun sama adiknya," tutur Alindi.
ADVERTISEMENT
Yang Ingin Disampaikan kepada Tara
Selama menjadi ibu-nya Tara, Alindi banyak belajar banyak hal. Ia berharap setelah ini Tara bisa menjadi anak yang mandiri. Alindi dan suami juga berjanji akan selalu mendukung apa pun yang ingin sang anak lakukan.
"Mama sayang sekali sama Tara. Apa pun, Tara mau jadi apa pun Mama akan dukung Tara. Yang Mama mau Tara cuma bisa mandiri, Tara bisa melakukan apa yang Tara senang, Mama akan sangat support Tara," ujar Alindi sambil terisak.
Dan untuk ibu yang memiliki anak spesial, Alindi berpesan untuk tetap semangat dan tidak apa untuk mencari bantuan bila sedang kesulitan.
"Kelamaan kita denial, kelamaan kita di fase grieving, tapi kita enggak berbuat apa-apa untuk anak kita, yang kasihan juga anak kita. Cuma satu pesan aku, kita sebagai ibu itu harus kuat. Semuanya itu pasti ujung-ujungnya pasti ada progresnya kok. Sekecil apa pun intervensi, sepokoknya apa pun yang kita lakukan pasti ada hasilnya," tutup dia.
ADVERTISEMENT