Eksklusif Cerita Ibu, Atalia Praratya: Memaknai Pentingnya Kebersamaan Keluarga

16 Maret 2023 19:25 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kebersamaan keluarga Ridwan Kamil dan Atalia Praratya. Foto: Instagram/@ataliapr
zoom-in-whitePerbesar
Kebersamaan keluarga Ridwan Kamil dan Atalia Praratya. Foto: Instagram/@ataliapr
ADVERTISEMENT
Keluarga Ridwan Kamil dan Atalia Praratya mengalami musibah ketika putra sulung mereka, Emmeril Kahn Mumtadz, meninggal dunia setelah tenggelam di Sungai Aare, Swiss, 26 Mei 2022. Peristiwa ini meninggalkan duka yang mendalam pada Kang Emil dan keluarga.
ADVERTISEMENT
Sudah hampir 10 bulan berlalu, Kang Emil dan keluarganya tetap menjalani aktivitas seperti biasa. Ada putrinya Camillia Laetitia Azzahra dan anak angkatnya, Arkana Aidan Misbach, yang terus mewarnai kehidupan mereka. Meski sudah berpulang lebih dulu, sang putra sulung tetap berada di hati mereka.
Kepada kumparanMOM dalam program Cerita Ibu, Atalia bercerita bagaimana ia menjalani kehidupan setelah kepergian Eril. Tak hanya itu, wanita yang akrab disapa Bu Cinta itu juga membagikan kisah awalnya mengadopsi Arkana yang telah melengkapi keluarga kecil mereka. Lalu juga lika-liku mengasuh dua anak dengan jarak umur berbeda jauh, serta cara ia dan suaminya Kang Emil agar selalu kompak menjadi pasangan sekaligus orang tua bagi anak-anaknya.
Simak perbincangan selengkapnya di bawah ini.
ADVERTISEMENT

Ketika mengadopsi Arkana pasti butuh kebesaran hati. Bagaimana proses diskusinya dengan suami?

Saya sempat diskusi sama anak-anak saya ketika saya usianya 35 tahun. Waktu itu Aa Eril sama Teteh Zara itu masih kecil. Terus saya tanya, “Aa, mau enggak punya adik lagi?”. “Enggak mau,", katanya. Terus ditanya sama Zara, "Zara mau enggak, punya adik?". "Aku mah gimana Aa aja". Gitu kan. Oh, ya sudah, terus enggak mau, berarti kan enggak jadi tuh.
Tapi berjalannya dengan waktu tiba-tiba anak-anak yang pengin. Tiba-tiba, "Mamah mau dong, punya adik gitu.". "Mau? Wah kenapa enggak dari dulu?". Aku bilang gitu ya. Terus tapi pada saat itu saya sudah usia 45 tahun, dong. Ketika usia sudah 45 tahun nampaknya risiko akan sangat tinggi sekali.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menggendong putra bungsunya Arkana Aidan Misbach di kawasan Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (6/6/2022). Foto: Dok. Istimewa
Nah, maka akhirnya pada waktu itu, yasudah kita menyayangi saja anak-anak yang ada di panti asuhan. Jadi kita datang rutin ke panti asuhan. Kita sayang-sayang mereka yang ada di sana.
ADVERTISEMENT
Nah, berjalannya dengan waktu, Kang Emil bilang, "Teh, kayaknya kalau di rumah ada wangi-wangi bayi, suara-suara bayi, kayaknya akan lebih menyenangkan. Keluarga lebih hangat lagi. Karena kakak-kakaknya sudah beranjak dewasa, jadi mereka sudah sibuk sendiri-sendiri."
Pada waktu itu, kita tadi merencanakan anak perempuan. Ada satu anak perempuan, yang kita setiap ke sana, ke situ aja terus. Padahal Arka ada di situ tapi kita tidak pernah melihat Arka. Tapi pada satu waktu kita, ini sudah lagi mangku. Kang Emil juga lihat ke anak perempuan itu. Tiba-tiba ada anak laki-laki yang, anak bayi, lagi onggong-onggong gitu di lantai.
Terus Kang Emil bilang, "Teh yang itu aja,". Kayak gitu. Saya kaget banget, "Lho ini gimana?". Saya bilang gitu. Dari situ dia tidak pernah berhenti untuk mengatakan anak itu, menyebut-nyebut anak itu. "Teh, ayo bawa pulang.". Terus seperti itu hampir setiap hari. Saya bilang, "Aa, kenapa jadi berubah laki-laki?". "Ya aku enggak tahu," katanya. "Aku sampai mimpi beberapa kali."
ADVERTISEMENT
Akhirnya saya bilang, aduh ya sudah saya istikharah dan lain sebagainya. Terus kemudian ya sudah, kalau memang Allah menitipkan anak ini untuk dibawa oleh kami ke rumah, maka ya sudah bismillah. Pada waktu itu kami bawa pulang ke rumah.

Gimana cara membagi waktu pada kedua anak agar tidak ada yang merasa kasih sayang ibunya berkurang?

Jadi memang ini sesuatu yang dulu agak sulit juga buat kami, ya. Karena bapaknya sibuk banget, saya juga sibuk banget. Terus kakak-kakaknya juga sama, mereka dua-duanya juga aktivis. Cuma begini, kita kan karena komitmen, maka saya sampaikan saya enggak bisa mengasuh anak ini sendiri. Maka saya butuh ayah, saya butuh Aa Eril, saya butuh juga Teteh Zara. Jadi kita gantian memang sebetulnya untuk mendampingi.
ADVERTISEMENT
Kesulitannya lebih ke energi ya. Jadi pada waktu saya masih muda, waktu itu saya punya Aa Eril itu 25 tahun. Kemudian punya Teteh Zara itu usia 30 tahun. Jadi memang lagi seger-segernya gitu ya.
Nah kemudian beda lagi ketika Arka hadir di keluarga kami. Karena ini sudah bedanya sudah, (usia sudah) lebih dari 45 tahun pada waktu itu. Jadi pada waktu itu kebayang bingung lagi. Seperti mulai lagi sesuatu yang baru. Tapi saya menikmati prosesnya.
Terus akhirnya alhamdulillah Arka juga tumbuh menjadi anak yang luar biasa. Dia tuh orangnya senang menyenangkan orang lain. Jadi buat saya itu satu kebahagiaan.

Setelah Arka hadir di keluarga lalu terjadi musibah Eril, apa yang sempat terpikirkan saat itu?

Kebersamaan keluarga Ridwan Kamil dan Atalia Praratya. Foto: Instagram/@emmerilkahn
Saya sempet sebetulnya, ini terus terang ya. Saya merasa, gimana ya. Mungkin pada waktu itu karena suasana hati sedang kurang baik, ya. Dalam arti bahwa saya pada waktu itu kehilangan Aa, seorang anak laki-laki yang saya sayangi banget.
ADVERTISEMENT
Saya sempet namanya juga manusiawi banget bahwa mungkin ada rasa enggak nyaman atau apa, saya sempat menyalahkan Arka. "Oh Arka ini mengambil ruangnya Aa Eril dalam keluarga kami". Beberapa waktu sempat seperti itu, saya sampai rasa sayang saya sepertinya kok berkurang sama Arka karena hal tersebut.
Tapi kemudian saya berpikir berulang-ulang, saya banyak istigfar, kemudian saya juga akhirnya menemukan bahwa ternyata keindahan luar biasa ya di masa-masa akhir Aa Eril itu saya justru merasa bahwa Allah itu justru sayang sekali sama anak pertama saya ini.
Jadi Allah itu justru kalau bahasa Kang Emil itu bagus banget. Allah sudah mencukupkan usianya agar tidak ada lagi kekhilafan setelahnya. Jadi artinya bahwa Eril itu sedang mekar-mekarnya, dia anak yang baik, dia anak yang soleh, dia anak yang aktif, disayang sama teman-temannya. Teman-temannya aduh masyaallah banyak banget yang sayang sama dia.
ADVERTISEMENT
Dari situ saya langsung berpikir oh, bukan itu ternyata. Ternyata Allah sudah mempersiapkan ini sejak awal. Jadi ini takdir, ya. Jadi Allah itu sudah mempersiapkan Arka datang ke dalam keluarga kami untuk kemudian menempati tempat Eril, ya. Meskipun tidak akan pernah bisa menggantikan. Tetapi kemudian minimal dia menghilang rasa gundah kami, dia menjadi pelipur lara buat kami.
Jadi seperti itu karena sama waktunya tuh. Kami kehilangan Eril itu di bulan Mei, Arka itu kami temukan bulan Mei. Jadi ini semua adalah skenario dari Yang Maha Kuasa. Saya merasa seperti itu. Jadi akhirnya saya bisa menerima dengan terbuka, saya malah bersyukur saat ini.
Nah kemudian tinggal tugas saya adalah mendidik Arka sedemikian rupa sehingga dia bisa menjadi anak laki-laki di keluarga kami yang bisa menjaga nama baik. Dia juga bisa meneladani kakaknya dan seperti itulah hal-hal yang menurut saya, tinggal saya dan Aa Emil termasuk Zara, menjadi orang tua dan kakak yang baik bagi Arka.
ADVERTISEMENT

Kalau lagi kangen Eril, apa yang biasa dilakukan?

Saya ini sebetulnya sedang menulis buku tentang Eril. Saya merasa bahwa belum ada yang pas, dalam arti ada behind the scene yang harus saya sampaikan ke masyarakat luas, yang mungkin hanya saya yang tahu. Nah setiap saat setiap waktu menulis, merangkaikan sebuah kalimat kata itu, aduh keinget terus.
Kadang-kadang, karena saya di HP saya sampai saat ini termasuk profil picture saya itu masih saya dengan Aa Eril, jadi setiap hari dia enggak pernah hilang dari ingatan.
Kebersamaan keluarga Ridwan Kamil dan Atalia Praratya. Foto: Instagram/@ataliapr
Jadi, prosesnya itu sebetulnya saya merasa bahwa kalau dulu gini, saya harus melupakan, ternyata tidak seperti itu. Saya harus berdamai dengan keadaan. Saya harus menerima kondisi, saya harus justru mengisi hari-hari saya untuk meneladani Eril.
ADVERTISEMENT
Jadi saya merasa bahwa kehadiran Eril itu adalah untuk melengkapi kami di keluarga, saya belajar banyak dari Eril. Semua kegiatan-kegiatan yang Eril sudah lakukan dulu, yang saya sebut dengan hashtag #JejakEril, itu yang juga tetap saya lakukan bersama dengan teman-temannya.
Jadi kerennya Eril itu sebelum dia berpulang, dia juga sudah mempersiapkan semuanya. Jadi saya itu kayak kaget, kaget gitu. Bahkan sampai luar biasa lebih dari 3 miliar ya, 3 miliar orang yang menyebut Eril di TikTok saja. Itu tiga miliar, bukan tiga juta. Tiga miliar, belum lagi di Instagram, di media-media lain, itu luar biasa. Itu bermiliar-miliar orang.
Pada waktu itu dia mempersiapkan semuanya. Jadi ketika dia datang ke saya dia bilang, "Mama, Aa punya tabungan, Mama Aa sudah mempersiapkan, nanti seperti ini.”. Bahkan organisasi yang dia bentuk namanya Jabar Bergerak Milenial, dia sudah siapkan penggantinya, jadi dia sudah melantik dulu penggantinya itu. Jadi saya tuh "Masyaallah, ini kenapa gitu semua kok seperti sudah direncanakan," gitu.
ADVERTISEMENT

Di balik musibah yang dialami Eril, apa yang bisa Anda dipetik?

Saya merasa ternyata waktu itu terbatas, dan batasan itu bukan kita yang mengatur tapi Tuhan yang mengatur. Nah, jadi pada waktu itu saya merasa bahwa apa yang terjadi kepada Aa Eril itu bisa menjadi pelajaran buat saya, khususnya di keluarga. Bahwa ternyata precious moment itu tidak boleh kita abaikan.
Jadi waktu berkumpul keluarga itu masyaallah, itu kebersamaan kita bersama keluarga harus menjadi sesuatu yang spesial sekali, kapan pun sesungguhnya. Karena kita tidak tahu kapan kita tetap akan bersama, ya.
Koleksi foto Emmeril Kahn Mumtadz atau Eril dan keluarga yang dipajang di layar di Gedung Pakuan. Foto: kumparan
Nah termasuk juga, saya merasa…. Pada waktu itu juga ini saya enggak tahu kenapa, sebelum kejadian saya sempat minta maaf sama Aa. Jadi "Aa, Aa maafin Mama ya. Mama suka gimana ya, suka jahil sama Aa, kadang-kadang suka marah sama Aa". Apalagi dulu zaman kecil ya. Gimana ya sebagai orang tua kadang-kadang suka ada nada tinggi dan sebagainya."
ADVERTISEMENT
Saya peluk Zara, saya di awal bilang, ‘Za, maafin ya kalau misalkan Mama selama ini mungkin kamu merasa kurang perhatian, karena Mama sibuk. Tapi kamu sekarang sudah cukup besar, kamu sampaikan aja, enggak perlu kamu sungkan. Ketika kamu merasa kamu perlu Mama, panggil Mama. Kapan pun Mama siap untuk kamu."
ADVERTISEMENT
Sekarang ini kami lucu, kalau bapaknya lagi ke luar kota, ya kami bobok bareng gitu, terus kami curhat-curhatan bareng. Kadang-kadang juga kita jalan bareng.
Tapi pada saat kejadian Aa Eril dia lebih terbuka lagi. Dia mengatakan, “Mama, saya juga jadi seperti, kata Zara tuh, saya merasa saya ini punya keluarga yang saya harus pertahankan. Yang harus saya sayangi, yang harus saya juga lindungi."
ADVERTISEMENT
Apalagi dia sekarang menjadi anak pertama, kan. Nah dari situ dia seperti berubah sekali. Sekarang kalau ada waktu luang dia cerita, jadi dia lebih terbuka.
Semua punya tantangan masing-masing semua juga punya kesempatan yang berbeda-beda. Maka yang paling penting adalah niat baik kita untuk menjadikan anak kita ini anak yang sukses di dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Setelah melewati masa-masa sulit, termasuk kehilangan Eril, apakah ada yang ingin disampaikan ke diri sendiri dan Kang Emil?

Kebersamaan keluarga Ridwan Kamil dan Atalia Praratya. Foto: Instagram/@ataliapr
Saya itu adalah orang yang selalu bersyukur. Jadi saya diajarkan oleh orang tua saya bahwa hidup itu tidak perlu ngoyo, karena semua sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Maka saya tidak pernah mempertanyakan kenapa saya hidup seperti ini. Saya juga tidak pernah kemudian merasa saya lebih dibandingkan orang lain. Tidak ada seperti itu.
ADVERTISEMENT
Tapi yang paling penting adalah saya merasa ada satu yang paling saya inginkan dalam hidup ini adalah sekarang saatnya saya mencari sebanyak-banyaknya cinta Allah.
Jadi semua yang saya lakukan mengalir aja seperti itu ya, karena saya selalu yakin bahwa Tuhan menjawab setiap doa kita. Termasuk juga untuk anak-anak saya, termasuk juga untuk Kang Emil. Yang penting hidup tidak sia-sia, kemudian kita meninggalkan nama baik di belakang kita.
Buat Kang Emil, dalam perjalanan saya bersama Kang Emil saya belajar banyak. Sebetulnya guru yang sebenarnya selain orang tua saya adalah Kang Emil. Jadi dia yang kemudian menyebabkan saya menjadi perempuan yang mandiri. Dia yang kemudian menyebabkan saya untuk berusaha selalu menjadi ibu dan istri yang baik.
ADVERTISEMENT
Karena Kang Emil tuh enggak terlalu banyak kata sebetulnya di rumah. Dia hanya katakan bahwa, "Teteh, saya sayang sama Teteh, saya membutuhkan Teteh. Oleh karenanya, saya ingin Teteh selalu ada di samping saya". Itu yang menyebabkan saya merasa kita ini bukan masing-masing, tapi kami satu tim.