Krisis Listrik di Gaza Ancam Bayi-bayi Prematur yang Bergantung pada Inkubator

4 November 2023 10:57 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bayi menjalani perawatan di dalam inkubator di bangsal bersalin Rumah Sakit Shifa, Gaza, pada 22 Oktober 2023. Foto: Mohammed Al-Masri/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Bayi menjalani perawatan di dalam inkubator di bangsal bersalin Rumah Sakit Shifa, Gaza, pada 22 Oktober 2023. Foto: Mohammed Al-Masri/REUTERS
ADVERTISEMENT
Konflik antara Hamas dan Israel masih saja menimbulkan korban jiwa dan kerugian besar bagi masyarakat di Gaza. Akibat blokade total yang dilakukan Israel membuat persediaan bahan bakar hampir habis. Akibat dari menipisnya stok bahan bakar menyebabkan rumah sakit di seluruh wilayah Palestina berada di ujung tanduk. Bila bahan bakar tidak kunjung tersedia, maka dapat mengancam fasilitas-fasilitas kesehatan di Gaza. Salah satunya membuat generator untuk menyalakan listrik tidak beroperasi, dan mengancam bayi-bayi prematur yang membutuhkan inkubator untuk dapat bertahan hidup. Dikutip dari Al-Jazeera, saat generator berhenti menyala, bayi baru lahir yang membutuhkan inkubator listrik bisa meninggal dalam hitungan menit, Moms. Bahkan, kekurangan bahan bakar telah memaksa satu-satunya rumah sakit kanker di Gaza ditutup baru-baru ini.
ADVERTISEMENT

Kondisi Bayi-bayi Prematur di Gaza Saat Ini

Bunyi 'bip' berirama terus terdengar. Di sampingnya, ada ventilator yang digunakan untuk mengalirkan oksigen ke paru-paru salah satu bayi prematur bernama Talia. Tabung tipis yang membentang dari tangki oksigen sedang memompa kehidupan ke dalam tubuhnya yang rapuh. Sementara layar monitor masih mendeteksi detak jantungnya yang lemah. Talia lahir pada 6 Oktober 2023, atau satu hari sebelum pecahnya perang yang terjadi di Jalur Gaza, menyusul serangan Hamas di Israel Selatan.
Seorang bayi Palestina di inkubator di Rumah Sakit Nasser di Khan Yunis di Jalur Gaza selatan pada 27 Juli 2014. Foto: Said Khatib/AFP
Kulit Talia mulai kehilangan semburat kebiruan. Ini membuat khawatir tenaga medis di Rumah Sakit Medis Nasser di Khan Younis, Jalur Gaza Selatan. Sebab, paru-paru Talia juga belum cukup kuat untuk bekerja dengan sendirinya. "Ada ketakutan dan kecemasan besar terhadap nyawa yang mungkin hilang," kata Dokter Spesialis Anak dan Neonatal di RS Nasser, Asaad al-Nawajha. "Kami terus mengimbau untuk menyediakan bahan bakar yang diperlukan untuk mengoperasikan generator rumah sakit. Serta, menjamin keselamatan anak-anak, orang-orang yang sakit dan terluka di Gaza," lanjut dia. Ibu Talia, Samar Awad (25), mengungkapkan bayi perempuannya adalah anak yang diimpikannya. Namun, melahirkannya dalam kondisi perang bukanlah sesuatu yang diinginkan. Ini membuat Awad belum bisa membawa bayi mungilnya pulang. "Dokter memberi tahu saya bahwa ada air di paru-parunya dan dia perlu diawasi tim medis. Jadi, saya tidur bersamanya di kamar bayi," ucap Awad. Ketakutan yang dialami Awad tidak hanya tentang bom jatuh yang dapat membunuh suami dan putranya yang berusia tiga tahun di Khan Younis. Kini, kekhawatiran Awad juga bertambah bahwa mesin yang menjaga bayinya tetap hidup bisa kapan saja mati. "Saya khawatir rumah sakit akan kehabisan bahan bakar. Saya ingin perang berakhir, dan putri saya bisa berkumpul di rumah bersama kakak laki-laki dan ayahnya yang sudah sangat merindukannya," ungkap Awad.
ADVERTISEMENT
Seorang pasien ginjal Palestina duduk di ranjang rumah sakit Naser di Khan Younis di selatan Jalur Gaza, Minggu (15/10/2023). Foto: Mohammed Salem/REUTERS
Saat ini, unit gawat darurat neonatal di RS Nasser menampung 10 pasien bayi, beberapa di antaranya ada bayi yang lahir prematur atau empat minggu lebih awal dari tanggal perkiraan lahir mereka. Kementerian Kesehatan juga memperkirakan terdapat 130 bayi baru lahir yang saat ini bergantung pada inkubator di seluruh wilayah tersebut.
Sejak 7 Oktober 2023, Jalur Gaza telah dibombardir tanpa henti usai Hamas melancarkan serangan mendadak ke Israel selatan, yang setidaknya menewaskan 1.400 orang. Sementara itu, serangan bom yang dilakukan Israel telah menewaskan lebih dari 8.700 warga Palestina di Gaza, termasuk lebih dari 3.000 anak. Sejak pemerintah Israel mengeluarkan perintah untuk mengevakuasi diri dari Gaza, distrik selatan Khan Younis dan Rafah dibanjiri oleh keluarga-keluarga pengungsi. Serangan udara juga masih terus berlanjut di Jalur Selatan. Badan Kesehatan Seksual dan Reproduksi PBB (UNFPA) memperkirakan terdapat 50.000 ibu hamil yang terjebak dalam konflik di Gaza. Dan lebih dari 160 persalinan setiap harinya berlangsung. Dan sekitar 15 persen kelahiran di antaranya diperkirakan mengakibatkan komplikasi pada ibu dan bayinya. "Para ibu-ibu ini memerlukan akses terhadap perawatan obstetrik darurat. Dan hal ini menjadi lebih menantang dengan banyaknya kasus trauma dan sistem kesehatan yang telah kewalahan," kata perwakilan UNFPA untuk Palestina, Dominic Allen. Allen menegaskan UNFPA sudah menyerukan untuk gencatan senjata kemanusiaan dengan segera. Ia mengingat perlu ada ruang dan waktu untuk meringankan penderitaan warga di Gaza. Maka dari itu, seluruh bantuan dan perbekalan kemanusiaan harus segera diizinkan masuk. Temuan PBB mengungkapkan setidaknya 12 dari 35 rumah sakit di Gaza, dan 46 dari 72 klinik kesehatan primer telah ditutup sejak dimulainya perang. Penutupan dilakukan karena bangunannya mengalami kerusakan dan kehabisan bahan bakar. Ini menyebabkan tekanan berlebih pada fasilitas kesehatan yang masih beroperasi.
ADVERTISEMENT
Pekerja Palestina, yang berada di Israel selama serangan Hamas 7 Oktober, tiba di perbatasan Rafah setelah dikirim kembali oleh Israel ke jalur tersebut, di Jalur Gaza selatan, Jumat (3/11/2023). Foto: Ibraheem Abu Mustafa/REUTERS
Israel memang telah mengizinkan beberapa truk bantuan masuk melalui jalur darat Rafah dengan Mesir beberapa hari terakhir. Namun, pasukan Israel menghalangi masuknya pasokan bahan bakar. Sebab, Israel mengklasifikasikan solar sebagai barang 'penggunaan ganda', yang berarti dapat digunakan untuk keperluan militer dan sipil. Padahal, Israel sendiri terus menjaga ketat bahan bakar yang masuk ke Jalur Gaza hingga ke titik pengiriman terakhir. Situasi di Rumah Sakit al-Shifa di Kota Gaza, yang merupakan kompleks medis terbesar di Palestina, juga dilanda kekacauan. Bahkan, staf medis menggambarkan kondisi kerja mereka bagaikan ;bencana'. "Kami kekurangan kebutuhan dasar untuk hidup dan berjuang dengan kekurangan air yang parah," tutur Kepala Departemen Perawatan Prematur dan Neonatal RS al-Shifa, Nasser Fouad Bulbul. Seorang bidan di RS al-Shifa, Yasmine Ahmed, menceritakan sebagian besar bayi di rumah sakit tersebut adalah satu-satunya bayi yang selamat dari keluarganya. "Tidak ada yang merawat mereka dan ada ancaman pemadaman listrik. Sehingga mereka juga terancam kehilangan nyawa," ungkap Ahmed.
Bayi menjalani perawatan di dalam inkubator di bangsal bersalin Rumah Sakit Shifa, Gaza, pada 22 Oktober 2023. Foto: Mohammed Al-Masri/REUTERS
Seorang ibu lainnya, Lina Rabie (27) dari Khan Younis, juga ingin sekali menggendong bayinya yang masih berada di inkubator di RS Nasser. Namun, setiap hari perasannya dipenuhi ketidakpastian. Padahal, Rabie telah bertahun-tahun berjuang untuk memiliki seorang anak. Putranya yang diberi nama Marwan akhirnya lahir seminggu sebelum perang dimulai. "Dia lahir prematur pada minggu pertama bulan kedelapan [masa kehamilan]. Dan dokter mengatakan kepada saya bahwa hidupnya dalam bahaya. Setiap detik perang berlanjut, hati saya terbakar ketakutan terhadap anak saya dan anak-anak lainnya. Saya berharap perang akan berakhir dan bayi laki-laki saya pulih. Sehingga, saya bisa memeluknya kapan pun saya mau," tutur Rabie. Ketika bahan bakar habis dan pabrik desalinasi ditutup, ini mengakibatkan sebagian besar rumah sakit terancam tidak mampu lagi memenuhi standar kebersihan yang paling mendasar. PBB mengungkapkan saat ini hanya tersedia tiga liter air sehari per orang di Gaza untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk minum, mencuci, memasak, dan menyiram toilet. Jumlah ini jauh lebih rendah dari jumlah minimum yang direkomendasikan yaitu 50 liter per orang. Menurut UNICEF, fasilitas air di Gaza saat ini hanya mampu memompa lima persen dari produksi harian dibandingkan masa sebelum perang. Dan ini mengancam bayi-bayi dapat meninggal karena dehidrasi.
ADVERTISEMENT