Studi: Anak yang Suka Berbohong hingga Berkelahi Punya Otak Lebih Kecil

18 Juli 2024 16:54 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Studi: Anak yang Suka Berbohong hingga Berkelahi Punya Otak Lebih Kecil. Foto: BlurryMe/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Studi: Anak yang Suka Berbohong hingga Berkelahi Punya Otak Lebih Kecil. Foto: BlurryMe/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Anak-anak yang disruptif dan punya sifat pengganggu memiliki otak yang lebih kecil dibandingkan teman-temannya yang berperilaku baik. Kok bisa?
ADVERTISEMENT
Sebuah penelitian yang dilakukan Royal College of Psychiatrists menemukan, anak-anak tersebut memiliki area otak yang lebih kecil dalam mengatur perilaku dan emosi mereka. Terutama bagi si kecil yang kerap berbohong, mencuri, berkelahi, atau melakukan kekerasan terhadap hewan, ternyata memiliki luas permukaan otak yang lebih kecil, yaitu hanya 26 dari 34 wilayah otak.
Daily Mail melansir, perilaku mengganggu pada anak-anak bisa disebut sebagai gangguan perilaku, dan bisa dialami oleh 7 persen anak laki-laki dan 3 persen anak perempuan berusia antara 5-10 tahun.
Namun, seringkali perilaku ini lebih dari sekadar pemberontakan, seperti yang ditunjukkan oleh temuan yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet Psychiatry. Anak-anak dengan gangguan perilaku ini memiliki luas permukaan otak yang lebih rendah dari seluruh lapisan luar otak dan di amigdala, hipokampus, dan thalamus --yang semuanya membantu mengatur perilaku. Jumlah perubahan terbesar pada otak terjadi pada anak-anak dengan tingkat empati, rasa bersalah, dan penyesalan yang rendah.
ADVERTISEMENT
Meskipun masih belum diketahui apa yang menyebabkan perubahan bagian otak pada anak-anak berperilaku buruk, para peneliti menjelaskan hal ini mungkin disebabkan oleh kesulitan dan/atau penganiayaan pada masa kanak-kanak.
"Ini memberikan bukti paling kuat bahwa hingga saat ini gangguan perilaku dikaitkan dengan perbedaan struktural otak yang luas," ujar penulis utama studi, Dr Yidian Gao, kepada The Times.

Pandemi COVID-19 Sebabkan Penundaan Perkembangan Sosial dan Emosional pada Anak

Ilustrasi anak emosi. Foto: Shutter Stock
Rupanya, anak-anak dengan perilaku buruk meningkat salah satunya disebabkan oleh aturan lockdown selama pandemi COVID-19 kemarin, yang menyebabkan tertundanya perkembangan sosial dan emosional, serta menciptakan perasaan 'takut'. Apalagi berdasarkan survei yang dilakukan BBC menemukan, 1 dari 5 guru mendapat perlakuan kekerasan oleh muridnya tahun 2024 ini. Kasus peningkatan perilaku kekerasan oleh anak juga meningkat dibanding dua tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Menurut survei tersebut, tindakan meludah, mengumpat, mendorong, dan melempar kursi, adalah beberapa gangguan yang sering dilakukan oleh sekolah-sekolah yang diteliti.
Psikolog Chartered Coaching sekaligus psikolog forensik, Erica Bowen, menyebut pandemi COVID-19 telah membatasi kesempatan anak-anak untuk mengembangkan keterampilan sosialnya. Isolasi di rumah dan ketakutan yang disebabkan COVID-19 kemungkinan besar telah berdampak pada kesehatan mental anak-anak, yang menyebabkan mereka bisa lebih 'berulah' lagi.
"Penelitian menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang dapat diidentifikasi antara keterampilan sosial anak-anak yang mengikuti pengajaran daring dan tatap muka selama pandemi. Selesai dari lockdown dan pembatasan, bagi sebagian anak telah menyebabkan keterlambatan perkembangan sosial dan emosional mereka," jelas Bowen.
Rasa takut dan asing juga mungkin berdampak pada sebagian keluarga yang kehilangan anggotanya selama masa pandemi. Kondisi ini kemudian jadi ikut berdampak pada kesehatan mental anak-anak, lalu memengaruhi perilakunya, Moms.
ADVERTISEMENT
"Bagi sebagian anak, mungkin ada tingkat trauma yang dialami sebagai akibat dari pandemi. Yang mungkin juga relevan dengan kemampuan mereka dalam berhubungan dengan orang lain, begitu juga dengan regulasi emosi," tutup Bowen.