Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sabtu, 13 Juli 2019 Indonesia dibuat heboh. Lagi-lagi karena perkara Pilpres yang seakan sudah menyedot energi rakyat kurang lebih setahun.
Namun, peristiwa yang terjadi di hari itu bukanlah adu argumentasi antar cebong dan kampret, bukan pula aksi demonstrasi yang berujung kekerasan atau perang mulut antara Timses Jokowi dan Prabowo, dua kompetitor di ajang Pilpres 2019. Hari itu, Jokowi dan Prabowo akhirnya benar-benar bertemu dan berekonsiliasi.
Memilih stasiun MRT sebagai lokasi pertemuan kemudian dilanjutkan makan siang bareng, keduanya mengajak para pendukung masing-masing mengakhiri “perang” serta “perjuangan” yang berlangsung bahkan sebelum masa kampanye pilpres dimulai.
"Tak ada lagi 01 atau 02. Tidak ada lagi cebong tidak ada lagi kampret. Yang ada adalah Garuda Pancasila," ujar Jokowi di Stasiun MRT Senayan, Jakarta, Sabtu (13/7).
ADVERTISEMENT
Hal senada juga diungkapkan Prabowo, ia menegaskan bahwa kompetisi pilpres telah berakhir. Menurutnya, silaturahmi perlu dilakukan. "Tak ada cebong, tak ada kampret. Semua merah putih," ungkap Prabowo.
Pertemuan ini tidak terjadi dengan tiba-tiba. Upaya merangkul lawan paling kuat, Prabowo dan Gerindra, sudah lama ingin dilakukan Jokowi, tepatnya sejak mengetahui menang Pilpres. Apalagi, usai ditetapkan menjadi pemenang, meski belakangan Prabowo mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, situasi Tanah Air memanas. Puncaknya, aksi protes pendukung Prabowo atas sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi yang berujung kerusuhan 22-23 Mei 2019 lalu.
Baca selengkapnya soal lobi-lobi Jokowi dan Prabowo pascapilpres di sini:
Jokowi sempat mengirim Wapres saat itu Jusuf Kalla untuk melobi Prabowo untuk meredam aksi Mei. Kepala BIN Budi Gunawan juga sempat menjadi mediator dengan kubu Prabowo. Meski awalnya alot, Prabowo melunak. Setelah kerusuhan selesai, lobi-lobi antara kubu Jokowi dan kubu Prabowo lebih mengarah kepada pendekatan masuk koalisi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Sebelum bertemu dengan Jokowi di stasiun MRT, Prabowo juga telah membubarkan koalisinya di pilpres. Koalisi yang terdiri dari Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat resmi bubar pada 28 Juni. Dalam pembubaran itu, Prabowo rupanya sudah menyatakan niatnya kepada eks rekan seperjuangannya untuk bertemu Jokowi.
Kasak kusuk soal Gerindra yang ancang-ancang gabung koalisi pemerintah makin terang benderang saat Prabowo sowan ke rumah Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri 24 Juli 2019. Dalam berbagai kesempatan, Jokowi tak pernah menyangkal soal upaya rekonsiliasi dalam bentuk masuknya Gerindra ke koalisi pemerintah, termasuk mendapat kursi Menteri.
Jokowi punya alasan tersendiri mengapa merangkul kompetitor terbesarnya di pilpres agar masuk koalisi. Ia menilai rekonsiliasi harus terjadi secara nasional demi stabilitas politik dan pemerintahannya di periode kedua.
ADVERTISEMENT
Selain itu, jika Gerindra masuk koalisi pemerintah, berarti koalisi Jokowi benar-benar menguasai parlemen. Tanpa Gerindra, koalisi Jokowi yang terdiri dari PDIP, Golkar, NasDem, PKB, dan PPP sudah menguasai 60 persen kursi di DPR. Jika Gerindra masuk, maka koalisi Jokowi menguasai 427 kursi dari total 575 kursi.
Terang benderang jelang pelantikan
Mendekati pelantikan Jokowi-Ma’ruf sebagai presiden dan wapres, masuknya Prabowo ke barisan pendukung Jokowi makin terang benderang. Ditandai dengan pertemuan lanjutan Jokowi dan Prabowo. Kali ini di Istana Negara pada 11 Oktober 2019 atau sekitar 9 hari sebelum pelantikan Jokowi-Ma’ruf.
Usai pertemuan, Jokowi dan Prabowo tak membantah pertemuan memang membahas soal rencana Gerindra masuk koalisi pemerintah. Saat itu, keduanya mengklaim pembahasan soal koalisi belum final.
ADVERTISEMENT
"Kami juga bicara masalah koalisi, yang satu ini belum final. Tapi kami sudah bicara banyak, kami bicara juga soal kemungkinan Partai Gerindra masuk koalisi kita," kata Jokowi usai bertemu Prabowo di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10).
Namun, Prabowo menyatakan siap membantu Jokowi di dalam atau di luar pemerintahan. Jika menjadi oposisi pun, Prabowo menyiratkan tak akan jadi partai yang galak.
"Saya sampaikan, jika diperlukan, kami siap. Kami akan berikan gagasan optimis, kami yakin Indonesia bisa bangkit cepat," ujar Prabowo.
"Kalau kita tidak masuk kabinet, kami akan tetap loyal di luar sebagai check and balance, sebagai penyeimbang. Karena kita di Indonesia tak ada oposisi, tetap kita merah putih," ujar Prabowo.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan publik terjawab pada 21 Oktober 2019 atau sehari setelah Jokowi-Ma’ruf dilantik. Saat Jokowi memanggil satu per satu calon menterinya, Prabowo selaku Ketum Gerindra dan Edhy Prabowo yang merupakan Waketum Gerindra ikut menyambangi Istana. Usai bertemu Jokowi, Prabowo mengaku diminta menjadi Menteri Pertahanan sementara Edhy Prabowo kemudian menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.
Usai Gerindra masuk koalisi pemerintah, tak ada lagi kritik deras yang ditujukan kepada Jokowi seperti pada 2014-2019. Bahkan, Gerindra menunjuk juru bicara partai resmi. Fadli Zon, yang selama ini masih rajin mengkritik Jokowi, tidak masuk menjadi jubir partai.
PAN dan Demokrat Dukung Jokowi Tapi Tak Masuk Kabinet
Setelah koalisi Prabowo bubar dan Gerindra memilih mendekat ke koalisi pemerintah, bagaimana nasib parpol yang dulu mendukung Prabowo? Tak hanya melobi Gerindra sebagai partai besar, strategi merangkul juga dilancarkan Jokowi kepada PAN dan Demokrat. Adalah Mensesneg Pratikno yang seringkali diberi tugas membangun komunikasi dengan PAN dan Demokrat.
ADVERTISEMENT
Namun, pada akhirnya PAN memilih tetap mendukung Jokowi tapi tidak masuk ke kabinet. Ketum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) menilai tidak ada alasan yang membuat PAN harus gabung di koalisi Jokowi.
"Tadi saya sampaikan ke Pak Amien: Pak, ini orang-orang PAN banyak yang sampaikan oposisi. Saya bilang, di sana sudah jelas, mereka memang sudah kuat, sudah cukup. Jadi kita mendukung saja," tutur Zulhas usai menghadiri acara Milad PAN di kolong jembatan tol Pluit, Jakarta Utara, Jumat (23/8).
"Kita dukung saja, tidak pakai syarat. Kita dukung saja agar Pak Jokowi, pemerintah sukses," tutur dia.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa hal yang membuat PAN tetap mendukung tapi tak masuk kabinet. Pertama, masih ada resistensi dari Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais jika partainya gabung ke Jokowi. Bukan rahasia umum Amien adalah pengkritik keras Jokowi bahkan sejak sebelum pilpres.
Kedua, sejumlah sumber menyebut, PAN khawatir akan kehilangan konstituen jika bergabung ke koalisi pemerintah. Mayoritas pemilih PAN memang berseberangan dengan Jokowi. Selain itu, mayoritas parpol pendukung Jokowi menolak masuknya PAN ke koalisi. Akhirnya, PAN memilih jalur aman: menjaga konstituen dan tidak menjadi musuh sang penguasa.
Hal senada juga dilakukan Demokrat yang pada akhirnya menjadi penyeimbang: mendukung pemerintah Jokowi tapi tak masuk pemerintahan. Masuknya Demokrat ke barisan pendukung Jokowi selalu terhambat oleh parpol di belakang Jokowi. Inilah yang disampaikan Ketum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
ADVERTISEMENT
Sebelum pilpres pun, Demokrat sebenarnya ingin mengusung Jokowi. Namun terhambat, anggota koalisi Jokowi yang lain.
"Saya tidak mengatakan ini hambatan dengan Pak Jokowi tapi ada hambatan dengan koalisi. Bukan dengan Pak Jokowi, hubungan saya dengan Pak Jokowi tetap baik," kata SBY di Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (25/7).
Sebelum pengumuman kabinet, nama putra sulung SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Soekarwo santer menjadi kandidat menteri dari Demokrat jika mereka bergabung ke koalisi pemerintah. Namun, ternyata parpol koalisi Jokowi masih resisten dengan masuknya Demokrat.
Kompensasi dengan Penambahan Jatah Pimpinan MPR
Selain lobi langsung kepada pimpinan parpol, Jokowi dan koalisi pendukungnya juga “mengamankan” mereka yang masih berada di luar koalisi pemerintahan melalui parlemen. Misalnya, terkait penambahan jatah pimpinan MPR bagi semua parpol melalui Revisi UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3).
ADVERTISEMENT
Cerita berawal dari usulan PAN untuk merevisi UU MD3, salah satu pasal yang didorong untuk direvisi adalah penambahan jumlah pimpinan MPR dari 5 menjadi 10. Dengan usulan ini, maka seluruh parpol yang lolos ke Senayan mendapat kursi pimpinan MPR, termasuk unsur DPD.
Usulan ini awalnya sempat mendapat penolakan dari parpol koalisi Jokowi. Namun, belakangan sejumlah sumber di internal koalisi Jokowi menyebut, usulan ini menjadi “bargain.” Artinya, koalisi pemerintah setuju jumlah pimpinan MPR ditambah, namun, PAN, Demokrat tidak masuk kabinet. “Jadi koalisi cukup di MPR saja, dapat kursi pimpinan MPR. Termasuk PKS dapat kursi pimpinan MPR,” ujar petinggi salah satu parpol koalisi Jokowi.
Kekuatan politik lebih stabil dibandingkan 2014
Strategi merangkul lawan ini terbukti berhasil melahirkan stabilitas politik bagi Jokowi dan koalisinya, dibandingkan 2014 lalu. Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, menilai ada faktor saling membutuhkan antara Jokowi dan lawan politiknya sehingga mereka memiliki titik temu untuk bergabung di 2019.
ADVERTISEMENT
Jokowi, meski sudah menguasai parlemen, tetap membutuhkan jaminan dominasi di DPR agar ambisinya untuk reformasi struktural melalui pengesahan RUU Omnibus Law bisa mulus di parlemen.
“Dia membutuhkan dukungan mayoritas di parlemen, membangun pemerintahan mayoritas dengan koalisi superbesar. Termasuk dengan merangkul lawan politik,” ujar Yunarto, Jumat (31/1).
Selain itu, Jokowi juga menjadi magnet bagi lawan politiknya. Menurut Yunarto, modal politik Jokowi di 2019 jauh lebih besar dibandingkan 2014. Koalisi Jokowi di parlemen sudah mencapai 60 persen sebelum Gerindra bergabung.
“Jadi bargaining position memang menyudutkan Prabowo. Modal Jokowi sekarang lebih besar,” kata dia.
Alasan lain, Jokowi dipersepsikan sebagai pemimpin yang lebih kuat. Sebab, ia dilihat bukan hanya sebagai bagian dari PDIP. Jokowi terbukti bisa mengendalikan partai seperti Golkar atau partai lain seperti PPP, Hanura, atau PSI.
ADVERTISEMENT
Dengan bergabungnya Gerindra, koalisi Jokowi setidaknya menguasai 74 kursi di parlemen. Pimpinan DPR pun, sesuai dengan UU MD3, dimiliki oleh 5 partai dengan perolehan suara terbesar di DPR, semuanya mendukung Jokowi. Ketua DPR dipegang oleh Puan Maharani dari PDIP. Sementara itu, Ketua MPR diduduki oleh Bambang Soesatyo dari Golkar yang juga pendukung Jokowi.
Fakta ini berbeda ketika di 2014, PDIP, meski sebagai pemenang pemilu tidak bisa menduduki posisi Ketua DPR. Posisi Ketua MPR pun tak bisa diamankan koalisi Jokowi. Mereka kalah dari paket yang diajukan koalisi Prabowo saat itu.
“Di 2014 kondisinya jauh berbeda. Pertama, karena faktor aturan tidak memberikan partai pemenang kursi pimpinan DPR secara otomatis. Kedua, suara koalisi pendukung Jokowi di 2014 hanya 30 persen,” jelas Yunarto.
ADVERTISEMENT