4 Tulisan Afi yang Disebut Plagiat

12 Juni 2017 12:25 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
Afi Nihaya Faradisa (Foto: Facebook Afi Nihaya Faradisa)
zoom-in-whitePerbesar
Afi Nihaya Faradisa (Foto: Facebook Afi Nihaya Faradisa)
ADVERTISEMENT
Sejak tulisan soal Afi Nihaya Faradisa soal 'Warisan' viral dan menuai banyak pujian, Afi banyak diundang untuk menjadi pembicara. Afi juga diundang untuk bertemu dengan pejabat daerah hingga Presiden Joko Widodo dan menjadi pembicara di berbagai forum diskusi. Namun di tengah euforia itu, Afi tersandung masalah plagiarisme. Bukan hanya satu, ada beberapa tulisan Afi yang disebut plagiat oleh netizen yang teliti menelaah tulisan yang dia posting di akun Facebooknya yang punya pengikut lebih setengah juta. Berikut daftarnya:
ADVERTISEMENT
1. Belas Kasih Dalam Agama Kita
BELAS KASIH DALAM AGAMA KITA
© Afi Nihaya Faradisa
“Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing di hari yang panasnya begitu terik. Anjing itu mengelilingi sebuah sumur sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan. Wanita itu segera melepas sepatunya (untuk digunakan menimba air). Ia pun diampuni karenanya.” (HR. Muslim).
Banyak yang meragukan Islam sebagai ideologi kelembutan, terutama ketika Indonesia dan dunia terus dikejutkan oleh serangkaian insiden berdarah yang mengatasnamakan agama ini.
Namun, jika kita menelisik sedikit lebih dalam saja, kita akan menemukan bahwa salah satu doktrin sentral Islam ternyata memang berputar pada prinsip belas kasih.
Kalimat basmalah, pembuka surat-surat Al-Qur'an dan doa yang paling sering diucapkan umat Islam sedunia, mengandung dua sifat utama Tuhan: "Maha Pengasih" dan "Maha Penyayang". Kalimat ini menjadi bukti paling tegas bahwa kasih sayang adalah jiwa dari seluruh ajaran Islam.
ADVERTISEMENT
Kisah pezina yang diampuni karena belas kasihnya ini mengandung banyak pesan. Pertama, anjing adalah hewan yang secara tradisi dianggap najis dalam Islam. Belas kasih terhadap makhluk yang dianggap hina sekali pun ternyata memiliki arti. Kedua, zina juga adalah dosa yang secara tradisi diganjar hukuman berat, mulai dari cambuk hingga rajam. Namun, belas kasih senilai seteguk air dianggap mampu menebus 'dosa' ini. Yang menarik, tidak ditemukan kisah serupa yang melibatkan dosa lain seperti membunuh dan merampok, yang sudah pasti mengabaikan belas kasih.
Kisah ini bukanlah satu-satunya dalam Islam. Banyak kisah lainnya yang memiliki narasi serupa, yang mengindikasikan bahwa belas kasih dibayar dengan amat mahal dalam Islam.
Kitab Tsalasatul Ushul (Tiga Landasan Utama) karya Muhammad Abdul Wahab (yang sering dikaitkan dengan Wahabisme, sekte terkeras dalam Islam saat ini), misalnya, menceritakan satu kisah di mana seseorang ditolak seluruh ibadahnya, namun diampuni karena menyelamatkan seekor lalat yang tenggelam di sebuah gelas. Kitab ini bahkan juga mengutip dorongan untuk berbelas kasih kepada orang kafir sekali pun.
ADVERTISEMENT
"Kasihilah yang di bumi, maka yang di langit akan mengasihimu", bunyi lafadz sejumlah hadits yang menjadi dasarnya.
Sayyidina Ali bin Abi-Thalib ra. juga pernah mengatakan: "Mereka yang tidak bersaudara dalam iman bersaudara dalam kemanusiaan."
Kitab Tadzkiratul Auliya (Kisah Para Wali) karya Fariduddin Atthar menyitir kisah lain tentang satu-satunya orang yang diterima ibadah hajinya oleh Allah justru karena membatalkan hajinya agar uang biaya haji itu bisa digunakan untuk menolong tetangganya yang kelaparan.
Kisah semacam ini mungkin akan jarang didengar dan cenderung tidak disukai di kalangan Islam legalistik yang memiliki pendekatan sangat kaku tentang benar dan salah.
Aku pribadi mengelompokkan kisah-kisah ini sebagai post-sharia Islam, atau Islam pasca-syariat. Islam yang tidak lagi berdebat soal percabangan hukum hingga ke tataran seperti batas aurat & jumlah rakaat. Sejenis Islam level berikutnya yang telah melampaui aspek legal formal menuju sesuatu yang lebih esensial. Dan esensi itu bernama belas kasih.
ADVERTISEMENT
Agaknya tidak mengherankan jika tema ini juga ditemukan di semua agama besar dunia. Mulai dari Yesus yang berdiri membela pezina yang nyaris dihakimi massa, hingga Guan Yin yang dipuja luas di Asia Timur sebagai Dewi Belas Kasih yang mendengar penderitaan dunia.
Agama-agama di dunia ini mungkin berbeda pada tataran syariat dan legal formal, namun melebur dalam esensi yang sama ketika naik ke jenjang berikutnya. Cita-cita rahmatan lil 'ālamīn (belas kasih bagi semesta alam).
Meski sama-sama berjubah dan berjenggot, akan tetapi panutan kita dalam beragama adalah Muhammad SAW yang lembut, rendah hati, dan penuh belas kasih. Bukan Abu Jahal atau Abu Lahab yang licik, sombong, dan penuh amarah.
Beratnya menjadi muslim seperti yang dikatakan rasul: "Muslim ialah orang yang menyelamatkan orang lain dari gangguan lidah dan tangannya."
ADVERTISEMENT
Masih suka memfitnah? Bergunjing? Menyakiti (bahkan membunuh) orang lain dengan lidah dan tanganmu? Muslimkah engkau?
Dengan pistol kita bisa membunuh teroris, tapi dengan pemahaman agama yang baik kita bisa membunuh terorisme.
Tulisan ini diunggah Afi pada 25 Mei 2017 disebut hasil ‘mencontek’dari status Facebook Mita Handayani dengan tajuk 'Agama Kasih' yang dibuat pada tahun 2016 lalu. Afi secara khusus tidak menyebut tulisan itu hasil mencotek karya Mita, meski demikian dia meminta maaf secara umum.
Pemilik akun Facebook Mita Handayani yang namanya disebut sebagai orang yang tulisannya diplagiat oleh Afi sebetulnya tak permasalahkan tulisannya ‘dicontek’. Bahkan, ia tak ingin isu ini semakin melebar. Hanya saja, dunia sudah begitu cepat bergerak, sehingga isu yang niatnya ingin ditutup rapat itu akhirnya terlanjur menyebar luar. [Baca Juga: Tulisannya Diplagiat Afi, Mita Tidak Ambil Pusing]
ADVERTISEMENT
2. Media Sosial Bagai Warung Makan
WARUNG MAKAN
Oleh Afi Nihaya Faradisa
Media sosial bagaikan warung makan. Banyak ragam menu tersedia di sana. Tidak ada yang memaksa Anda harus membeli rendang kalau Anda tidak suka. Tidak ada yang akan memaksa Anda untuk membayar nasi goreng jika Anda merasa tidak memesannya. Persis seperti karma, sajian di sana hanya terhidang sesuai yang Anda pesan saja.
Nah, jika Anda tidak menyukai sate, haruskah Anda datang ke warung sate, mengacak-acak meja, sambil berteriak "Tutup warung ini sekarang juga!" ?
Anda dibebaskan memilih mana warung yang ingin Anda datangi sebagaimana Anda dibebaskan untuk memilih akun mana saja yang ingin Anda ikuti. Sesederhana itu, tanpa perlu Anda berteriak-teriak kesetanan "Hey aku tidak suka menu di warungmu!"
ADVERTISEMENT
Seperti di warung makan, di media sosial tidak ada pendukung dan pembenci, yang ada hanya pengunjung dan bukan pengunjung.
Di media sosial ini tidak ada kolom daftar 'haters' dan 'lovers', yang ada hanyalah kolom daftar 'followers'. Suka atau tidak suka, semua jadi satu di sana. Suka atau tidak suka, Anda semua sama-sama menikmati menu yang tersaji, hobi mengunjungi, serta rajin memperhatikan orang yang diikuti.
Jika Anda memiliki keluhan atas sebuah masakan, lawan dengan masakan lain. Buktikan masakan Anda lebih layak santap. Jangan hanya bisa bercuap-cuap saja namun miskin etika. Semua orang dewasa tahu bagaimana cara yang elegan untuk berkompetisi dengan masakan yang Anda anggap kurang sedap.
Rasa suatu masakan tidak ada hubungannya dengan komentar orang sekitar. Komentar itu sifatnya sangat subyektif; barangkali Anda pecinta jengkol namun membenci pizza. Sebaliknya, ada juga pembenci jengkol namun keranjingan masakan ala Eropa.
ADVERTISEMENT
Masakan saya belum tentu cocok dengan selera lidah Anda. Selera Anda jangan dipaksa menjadi tolok ukur seberapa lezat masakan saya.
Mungkin Anda akan tetap bersikeras untuk berkata bahwa seberapa lezat masakan saya adalah apa yang Anda pikirkan tentangnya.
Lantas saya peduli? Nehi. Karena masakan seseorang tak sesempit itu untuk dimaknai.
Afi mengunggah tulisan ini di Facebooknya 8 Juni 2017. Netizen menemukan tulisan ini sama persis dengan unggahan akun Lembaga Perlindungan Konsumen CELEBES pada 31 Desember 2016.
Unggahan soal Media Sosial Bagai Warung Makan (Foto: Facebook Lembaga Perlindungan Konsumen CELEBS)
zoom-in-whitePerbesar
Unggahan soal Media Sosial Bagai Warung Makan (Foto: Facebook Lembaga Perlindungan Konsumen CELEBS)
Unggahan di akun Lembaga Perlindungan Konsumen Celebs itu banyak mendapat komentar. Sebagian menilai Afi melakukan plagiarisme, sebagian lagi menilai akun tersebut yang memplagiat tulisan dari blog Afi yang ditulisnya pada 10 September 2016.
Blog Afi Nihaya Faradisa (Foto: Dokumentasi Blog Afi Nihaya)
zoom-in-whitePerbesar
Blog Afi Nihaya Faradisa (Foto: Dokumentasi Blog Afi Nihaya)
Ada juga komentar yang menyebut tulisan "Warung Makan" sudah ditulis Afi di Facebooknya 7 September 2016 lalu. Tulisan tanggal 8 Juni 2017 merupakan unggahan ulang dari tulisan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
3. Agama Facebook
Tulisan tentang 'Facebook' ini diunggah Afi pada 28 November 2016.
Anggaplah engkau tersesat di sebuah perkampungan primitif yang sangat jauh dari peradaban. Saat itu, di sana sedang terjadi kehebohan diantara penduduknya. Mereka semua saling berdebat tentang "facebook", sebuah kata di secarik surat botol yang terdampar di pesisir laut. Ada yang menganggapnya hantu, ada yang berpendapat sosok dewa, ada yang ngotot itu surga, ada yang mengira sebuah aliran sesat, ada yang bilang sebuah agama baru, bahkan ada yang tidak percaya bahwa facebook ada.
Lalu dirimu yang sebenarnya sudah terbiasa menggunakan facebook mencoba menjelaskannya pada mereka. Tapi tetap saja, mereka masih ngotot dengan pendirian mereka masing-masing. Mereka tak percaya padamu. Penjelasanmu tidak masuk akal.
ADVERTISEMENT
Perdebatan terus berlanjut. Bahkan ada yang sampai bermusuhan setelahnya.
Kau akhirnya memilih diam. Kau merasa lebih baik menyaksikan tingkah mereka sambil geleng-geleng kepala. Bagaimanapun, penjelasanmu tidak akan berguna selama mereka tidak melihat facebook dengan mata kepala. Kau hanya bisa berharap semoga listrik dan jaringan internet bisa segera masuk ke kampung tersebut, agar mereka bisa melihat sendiri apa yang sedang mereka ributkan ini.
- Afi
Tulisan Afi tentang "Facebook' ini disebut mirip dengan tulisan di blog Ekoholic yang ditulis Selasa, 24 Februari 2015 dengan judul Agama Facebook.
Agama Facebook diblog Ekoholic (Foto: Dokumentasi blog Ekoholic)
zoom-in-whitePerbesar
Agama Facebook diblog Ekoholic (Foto: Dokumentasi blog Ekoholic)
4. Puisi Pernahkah Kau
Syifa Ann menulis di kompasiana dengan judul "Afi Sayang, Kenapa Bongkar Pasang Puisi Orang?" pada 9 Juni 2017. Tulisan Syifa ini menjelaskan bahwa Afi telah mengutip puisi dari buku Chicken Soup For Teenage Soul on Tough Stuff. Afi mengunggah puisi itu pada 7 Maret 2017, namun Afi tidak mencantumkan sumber dan mengklaim puisi itu merupakan karyanya.
ADVERTISEMENT
Tulisan Syifa ini banyak dishare dan mendapat respons yang beragam, seperti di bawah ini:
kumparan beberapa kali mencoba menghungi Afi lewat ponsel pada Minggu kemarin dan Senin (12/6) namun nomornya tidak aktif.
Namun Afi kemudian meminta maaf menyusul banyaknya reaksi atas tudingan plagiarisme terbaru itu. Lewat akun Facebooknya, Afi mengunggah tulisan yang berjudul "This is My Apology" Minggu (11/6).Di dalamnya dia menjelaskan bahwa dia telah ganti nomor karena banyak menerima pesan bernada sinis.
THIS IS MY APOLOGY
Ini adalah permintaan maaf saya, Afi Nihaya Faradisa, pada semua pihak yang merasa dirugikan atas perbuatan saya yang telah mengutip beberapa paragraf untuk dijadikan status tanpa mencantumkan sumber.
Dengan ini saya mohon maaf sebesar-besarnya.
ADVERTISEMENT
Benar, saya mencatut atau mengopas beberapa paragraf dari tulisan di akun Mita Handayani dengan menambahkan sendiri beberapa paragraf yang berisi gagasan pribadi, kemudian mempostingnya kembali di akun saya dengan judul "Belas Kasih dalam Agama Kita" pada bulan Mei lalu (dan sampai sekarang tulisan tersebut masih bisa dilihat pada akun saya).
Saya mengakui hal tersebut sebagai sebuah kesalahan. Saya juga tidak akan membela diri dengan mengatakan bahwa Nabi pun juga pernah bersalah, atau mengatakan bahwa saya sama seperti anak 18 tahun di luar sana yang bisa saja melakukan kesalahan.
Sebenarnya, tak seorangpun tahu bahwa saya telah meminta maaf dan berkomunikasi dengan akun Mita jauh sebelum hal ini meledak di media. Saya dan beliau baik-baik saja.
ADVERTISEMENT
Orang-orang yang sudah lama berteman dengan akun saya ini (dan akun lama saya yang telah deactivated) juga tentunya tahu bahwa jauh sebelum saya viral, saya telah menulis banyak hal.
Dari ratusan tulisan dan beberapa diantaranya yang telah saya post di dunia maya, hanya satu tulisan itulah yang bukan tulisan saya sendiri. Yang lainnya, termasuk tulisan berjudul WARISAN yang membuat saya viral adalah tulisan saya sendiri dan bukan hasil copas tulisan orang.
Mengapa orang-orang sulit sekali percaya bahwa anak SMA juga bisa menulis?
Saya paham bahwa beberapa orang mungkin tidak menyukai gagasan-gagasan tentang kebhinnekaan yang saya bawa, tapi itu bukanlah sebuah pembenaran untuk melontarkan fitnah dan kebohongan macam-macam. Siapapun bisa mengedit sebuah gambar seolah itu adalah tangkapan layar atau screenshot, kemudian menuding bahwa tulisan-tulisan saya sendiri adalah hasil plagiarisme.
ADVERTISEMENT
Seakan-akan itu semua belum cukup, akun saya juga banyak dipalsukan dan orang-orang menyerang saya karena postingan tidak bertanggung jawab dari si pemalsu itu.
Orang ramai-ramai menulis tentang saya, padahal kenal saja tidak.
Meme, gambar, dan video-video berisi fitnah serta hinaan bertebaran, tak hentinya datang.
Saya kehilangan banyak hal; dari teman sampai guru.
Bahkan, nama saya pun diartikan macam-macam, dikemas dalam sebuah tulisan panjang, entah tujuannya untuk apa. Dan anehnya, banyak saja yang percaya.
Dengarkan saya sekali saja.
Tidak semua berita (yang dari media maupun yang bukan dari media) tentang saya adalah benar.
Tidak semua pernyataan/kutipan yang disebarkan orang, seolah itu semua dari diri saya (terutama yang menyangkut SARA), adalah benar.
ADVERTISEMENT
Saya memang tidak bisa mengendalikan apa yang ada di luar sana.
Tapi, saya mohon dengan sangat bahwa sebagai manusia yang punya hati nurani, sebelum menyodorkan tuduhan dan prasangka macam-macam, setidaknya lakukanlah tabayyun (istilah agama Islam untuk memeriksa dengan teliti), klarifikasi, dan cari bukti.
Anda tahu, tiap detik saya harus menerima pesan bernada sinis, bully, merendahkan, bahkan ancaman ke akun FB, Instagram, atau WA saya (sampai saya harus ganti nomor baru).
Sampai hari ini, jumlahnya puluhan ribu.
Belum lagi yang ada di kolom komentar.
Pahamilah bahwa sama seperti Anda, saya adalah manusia biasa yang bisa sedih, tertekan, dan terluka ketika diperlakukan sedemikian rupa, siang malam tanpa jeda.
Sebegitu besarkah kesalahan saya?
ADVERTISEMENT
My heart breaks, a lot.
Anda mungkin tidak akan memahami ini sebelum mengalami sendiri.
Jika tidak bisa selamanya, tolong hentikan itu semua selama Ramadan saja. Keinginan saya sederhana; ingin ibadah dengan bernafaskan ketenangan.
Saya mungkin masih bisa survive, tapi saya mohon jangan pernah lakukan hal yang sama kepada anak-anak lain hanya karena Anda melihat saya masih hidup sampai hari ini.
- Afi