5 Negara Persemakmuran Ingin Lepas dari Inggris Usai Ratu Elizabeth II Mangkat

9 September 2022 17:02 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ratu Inggris Elizabeth II mengangkat gelasnya saat acara makan malam Ratu selama Pertemuan Kepala Pemerintahan Persemakmuran (CHOGM), di Istana Buckingham di London pada 19 April 2018. Foto: Toby Melville / POOL / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Ratu Inggris Elizabeth II mengangkat gelasnya saat acara makan malam Ratu selama Pertemuan Kepala Pemerintahan Persemakmuran (CHOGM), di Istana Buckingham di London pada 19 April 2018. Foto: Toby Melville / POOL / AFP
ADVERTISEMENT
Ratu Elizabeth II membentangkan pengaruhnya atas belasan negara di luar Inggris bahkan sebelum meninggal dunia pada Kamis (5/9).
ADVERTISEMENT
Imperium Britania merenggut hingga seperempat wilayah permukaan bumi dan menguasai lebih dari 458 juta orang pada 1922. Selama masa pemerintahan Elizabeth, pengaruhnya menyusut menjadi ekonomi tingkat menengah.
Elizabeth menempati posisi penguasa monarki dan kepala negara dari tujuh negara merdeka pada 1952. Dia mengendalikan Inggris, Kanada, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Pakistan, dan Ceylon yang sekarang menjadi Si Lanka.
Negara-negara itu disebut sebagai Alam Persemakmuran atau Commonwealth Realm. Kekuasaannya atas Selandia Baru turut meliputi negara asosiasi Kepulauan Cook dan Niue.
Elizabeth juga memerintah 14 wilayah dependensi, termasuk Bermuda dan Gibraltar. Sejak menjadi penguasa monarki, Alam Persemakmuran bertambah usai kemerdekaan negara bekas jajahan. Sebagiannya turut memutuskan untuk menjadi republik.
Dalam masa pemerintahannya, Elizabeth adalah kepala negara di 32 negara. Tetapi, jejak kekuasaan tersebut kemudian menurun.
ADVERTISEMENT
Hingga 17 negara di antaranya menghempaskan hubungan dengan Inggris: Uganda, Trinidad dan Tobago, Tanganyika, Afrika Selatan, Sierra Leone, Pakistan, Nigeria, Mauritius, Malta, Malawi, Kenya, Guyana, Ghana, Gambia, Fiji, Sri Lanka, dan Barbados.
Ratu Inggris Elizabeth II mengangkat gelasnya saat acara makan malam Ratu selama Pertemuan Kepala Pemerintahan Persemakmuran (CHOGM), di Istana Buckingham di London pada 19 April 2018. Foto: Toby Melville / POOL / AFP
Delapan referendum diadakan saat Elizabeth menduduki takhta Inggris. Ghana dan Afrika Selatan berhasil menggelar referendum pada 1960.
Begitu pula dengan Gambia pada 1970 setelah gagal pada 1965. Tuvalu turut mengadakan dua referendum pada1986 dan 2008. Namun, kedua upaya tersebut menemui kebuntuan.
Hambatan serupa terjadi bagi Australia pada 1999, serta Saint Vincent dan Grenadine pada 2009. Sementara itu, Barbados mendeklarasikan kemerdekaan tanpa referendum pada 2021.
Sebagian negara mungkin berhasil menghapuskan jejak kolonial Inggris. Tetapi, sebelum mangkat pun Elizabeth masih menjadi kepala negara Inggris dan 14 negara Persemakmuran.
ADVERTISEMENT
Negara-negara tersebut adalah Antigua dan Barbuda, Australia, Bahama, Belize, Kanada, Grenada, Jamaika, Selandia Baru, Papua Nugini, Saint Kitts dan Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Kepulauan Solomon, Tuvalu, dan Inggris.
"Lebih dari 70 tahun, Yang Mulia adalah Kepala Persemakmuran yang berdedikasi, menghubungkan lebih dari dua miliar orang di seluruh dunia," tulis situs resmi keluarga kerajaan Inggris, dikutip pada Jumat (9/9).
Seorang pengunjung memberikan penghormatan dengan meletakkan bunga setelah mendengar pengumuman kematian Ratu Elizabeth, di luar Kedutaan Besar Inggris, Washington DC, Amerika Serikat, Kamis (8/9/2022). Foto: Tom Brenner/Reuters
Belasan negara itu berbeda dengan Persemakmuran Bangsa-Bangsa. Persatuan tersebut terdiri dari negara-negara bekas jajahan, tetapi belum tentu mengakui sang penguasa monarki sebagai kepala negara.
Elizabeth merupakan pendukung setia asosiasi itu sepanjang hidupnya. Namun, Persemakmuran kian bergulat dengan ikatan mereka dengan masa penjajahan.
Alhasil, para anggota pun tengah mempertimbangkan kembali hubungan mereka dengan kelompok tersebut.
ADVERTISEMENT
Salah satunya adalah Gambia yang menarik diri pada 2013. Pihaknya mencela Persemakmuran sebagai 'lembaga neo-kolonial'. Kendati demikian, negara itu kembali bergabung usai presiden baru terpilih pada 2018.
Usai kemangkatan Elizabeth, periode transformasi tiba di Persemakmuran. Negara-negara anggota tampaknya akan mulai menjauhkan diri dari asosiasi itu, terutama di Karibia.
Pertanyaan tentang referendum pun kembali menggema dari Alam Persemakmuran. Mereka ingin menyusul Barbados yang mencopot Elizabeth sebagai kepala negaranya pada November 2021.

Australia

Adam Bandt. Foto: Tracey Nearmy / POOL / AFP
Masyarakat Australia menyampaikan belasungkawa atas kepergian Elizabeth pada Jumat (9/9). Tetapi, kaum republiken menggunakan momentum itu untuk menghidupkan kembali perdebatan seputar mengakhiri hubungan negara dengan sang penguasa monarki.
"Simpati kami bersama keluarganya dan semua orang yang mencintainya. Sekarang Australia harus bergerak maju," tegas pemimpin Partai Hijau Australia, Adam Bandt, dikutip dari Reuters.
ADVERTISEMENT
"Kami membutuhkan Perjanjian dengan orang-orang First Nations, dan kami perlu menjadi Republik," lanjut dia.
Tokoh republiken terkemuka itu kemudian memicu kritik. Sejumlah rekannya menuduh, dia bersikap tidak sopan karena mengangkat permasalahan itu beberapa jam usai kemangkatan Elizabeth.
PM Australia Anthony Albanese. Foto: Twitter/AlboMP
Australia telah memperdebatkan kekuasaan monarki sejak dahulu. Referendumnya mendapati kekalahan dengan 55 persen suara yang menentang pada 1999.
Gerakan Republik Australia mengungkapkan belasungkawa atas kabar duka dari Inggris. Pihaknya mencatat, Ratu mendukung hak mereka untuk merdeka selama referendum tersebut.
Gerakan itu menegaskan, isu tersebut lantas merupakan permasalahan bagi rakyat. Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, adalah pendukung gerakan republik. Tetapi, dia tidak menyinggung isu itu ketika menanggapi kemangkatan Elizabeth.
"Hari ini adalah hari untuk satu hal dan satu hal saja, yaitu untuk memberi penghormatan kepada Ratu Elizabeth II," jelas Albanese.
ADVERTISEMENT

Bahama

Ilustrasi perbudakan. Foto: Shutter Stock
Perdebatan serupa juga meletus di Karibia. Jamaika dan Bahama kembali menyerukan untuk segera mencopot penguasa monarki dari jabatan kepala negara. Mereka juga menuntut reparasi atau ganti rugi atas sejarah perbudakan Inggris.
Lebih dari sepuluh juta orang Afrika dibelenggu ke dalam perdagangan budak Eropa antara abad ke-15 dan ke-19. Para penyintas dipaksa bekerja di perkebunan di Karibia dan Amerika.
Kedua negara mengharapkan, mereka dapat melihat kemajuan dalam proses reparasi ketika penguasa monarki berganti, yaitu selama masa kekuasaan Raja Charles III.
"Ketika peran monarki berubah, kami berharap ini bisa menjadi kesempatan untuk memajukan diskusi tentang reparasi untuk wilayah kami," ungkap akademisi dari Bahamas National Reparations Committee, Niambi Hall-Campbell.
Hall-Campbell mengirimkan belasungkawa kepada keluarga Elizabeth. Dia kemudian menggarisbawahi pengakuan Charles perbudakan Inggris. Hall-Campbell lantas berharap Charles dapat menyokong upaya mereka mendapatkan keadilan.
ADVERTISEMENT

Jamaika

Perdana Menteri Jamaika Andrew Holness menyampaikan pernyataan nasionalnya sebagai bagian dari KTT Pemimpin Dunia di Glasgow, Skotlandia pada 2 November 2021. Foto: Phil Noble/ POOL / AFP
Perdana Menteri Jamaika, Andrew Holness, mengatakan bahwa negaranya mengenang Elizabeth. Sementara itu, para aktivis negara tersebut mengungkapkan harapan kepada penerusnya, Charles.
Pemerintah Jamaika sempat mengumumkan rencana untuk meminta kompensasi atas perbudakan pada 2021. Pihaknya merujuk pada kerja paksa yang menjerat sekitar 600.000 orang Afrika.
Para korban bekerja di perkebunan tebu dan pisang yang menghasilkan kekayaan melimpah bagi pemilik budak Inggris. Kini, para advokat reparasi mengalihkan perhatian pada Charles.
Sebab, pernyataannya selama konferensi di Kigali mengindikasikan keterbukaan terhadap reparasi atas perbudakan Inggris.
Pangeran Charles dan Ratu Elizabeth II menonton flypast khusus dari balkon Istana Buckingham setelah Parade Ulang Tahun Ratu "Trooping the Colour" di London, Kamis (2/6/2022). Foto: Daniel Leal/AFP
Menurut mereka, Charles dapat memimpin pembicaraan tersebut. Sebelumnya, para aktivis telah mengajukan surat menuntut permintaan maaf saat kunjungan Pangeran William.
"[Charles] menawarkan harapan bahwa dia akan belajar dari sejarah, memahami dampak menyakitkan yang dialami banyak negara sampai hari ini," kata advokat reparasi Jamaika, Rosalea Hamilton.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, masyarakat juga mendukung pencopotan penguasa monarki sebagai kepala negara. Oposisi parlemen mengajukan mosi pencopotan itu pada 2020.
"Saya berharap seperti yang dikatakan perdana menteri dalam salah satu ungkapannya, bahwa dia akan bergerak lebih cepat ketika ada penguasa monarki baru," kata seorang anggota oposisi parlemen Jamaika, Mikael Phillips.

Antigua dan Barbuda

Ilustrasi Antigua dan Barbuda. Foto: Shutterstock
Ketika mendengar kabar tentang Elizabeth, Antigua dan Barbuda memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang. Perdana Menteri Antigua dan Barbuda, Gaston Browne, menyanjung sang penguasa dalam ucapan belasungkawanya.
"Yang Mulia Ratu Elizabeth II memiliki pemerintahan yang berpengaruh, di mana hubungannya dengan negara saya dan rakyatnya tetap saling menghormati dan tidak berubah," ujar Browne.
Sebelumnya, Browne telah menegaskan komitmen untuk meraih kemerdekaan penuh. Dia mengatakan, pemutusan hubungan dengan Elizabeth adalah aspirasi seluruh Karibia.
ADVERTISEMENT
"Dengan begitu, kami akan benar-benar menutup lingkaran kemerdekaan itu. Kami memiliki individu yang dapat menjabat sebagai presiden di negara kami masing-masing, dan saya percaya bahwa setiap negara di Karibia semuanya bercita-cita untuk menjadi republik," jelas Browne pada Maret, dikutip dari Jamaica Gleaner.

Skotlandia

Ratu Elizabeth II bertemu Menteri Pertama Skotlandia Nicola Sturgeon selama audiensi di Istana Holyroodhouse, di Edinburgh, Skotlandia, Inggris, Rabu (29/6/2022). Foto: Jane Barlow/Pool via REUTERS
Skotlandia merupakan bagian dari Britania Raya yang juga terdiri dari Inggris, Wales, dan Irlandia Utara. Kendati demikian, negara itu berniat meninggalkan Alam Persemakmuran.
ADVERTISEMENT
Elizabeth mengembuskan napas terakhir di Istana Balmoral di Skotlandia. Sang Ratu memang menghabiskan musim panasnya beristirahat di kediaman tersebut.
Tetapi, kepergiannya telah membawa imbas politik pula. Pasalnya, Skotlandia tengah mendorong kemerdekaan penuh dari Inggris.
Populasi negara itu mencapai 5,45 juta orang. Sepanjang sejarah, masyarakat tidak menunjukkan dukungan mendalam terhadap monarki. Raja Charles III lantas tiba pada kursi kekuasaan seiring gejolak berkecamuk.
Kastil Balmoral, tempat favorit Ratu Elizabeth II. Foto: Bas Meelker/Shutterstock
Pemerintah semi-otonom Skotlandia dikendalikan oleh Partai Nasional Skotlandia (SNP). Pihaknya konsisten mengadvokasi Skotlandia untuk merdeka dari Inggris.
ADVERTISEMENT
Pemimpin SNP, Nicola Sturgeon, menyinggung kepergian Inggris dari Uni Eropa. Para pemilik suara di negara itu dengan keras menentang Brexit. Artinya, menurut Sturgeon, referendum harus kembali digelar di Skotlandia setelah sempat kalah pada 2014.
Sturgeon mendesak agar pemungutan suara diadakan pada 2024. Dia bahkan menerbitkan rancangan undang-undang yang menguraikan rencana referendum. Tetapi, dia menghadapi penolakan dari Perdana Menteri Inggris, Liz Truss.
Alhasil, Mahkamah Agung Inggris akan melangsungkan sidang pada 11-12 Oktober. Pihaknya akan menentukan apabila Skotlandia bisa melakukan referendum tanpa persetujuan pemerintah Inggris.
Sejumlah warga berdatangan untuk meletakkan bunga di dekat pintu masuk ke Kastil Balmoral, Skotlandia, Inggris, Kamis (8/92022). Foto: Russell Cheyne/Reuters
"Masalah kemerdekaan tidak dapat ditekan. Itu harus diselesaikan secara demokratis. Dan itu harus melalui proses yang tidak tercela dan mendapat kepercayaan," tegas Sturgeon pada akhir Juli.
Jajak pendapat menggarisbawahi keinginan serupa dari masyarakat Skotlandia pada Mei. British Future menemukan, lebih dari sepertiga warga menganggap akhir pemerintahan Elizabeth sebagai waktu yang tepat untuk menghapus jejak monarki Inggris.
ADVERTISEMENT
Terlebih, Charles juga tidak menikmati popularitas seperti ibunya. YouGov mengungkap, hanya 52 persen warga Skotlandia yang meyakini dia akan memerintah dengan baik.
Analis mengatakan, kesetiaan SNP terhadap monarki berakhir dengan kemangkatan Elizabeth. Sebab, Charles tidak bisa menjembatani rakyatnya sebagaimana sang ibu.
"Sang Ratu menyatukan semuanya," ujar penulis biografi Elizabeth, Clive Irving, dikutip dari Time.