50 Wanita Diculik Kelompok Ekstremis Terkait Al-Qaeda dan ISIS di Burkina Faso

17 Januari 2023 7:12 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengungsi Burkina Faso terlihat di tempat penampungan di Tougbo, Pantai Gading, pada 22 Januari 2022.  Foto: Sia KAMBOU / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Burkina Faso terlihat di tempat penampungan di Tougbo, Pantai Gading, pada 22 Januari 2022. Foto: Sia KAMBOU / AFP
ADVERTISEMENT
Pasukan keamanan tengah mencari sekitar 50 wanita korban penculikan kelompok ekstremis terkait dengan Al-Qaeda dan ISIS di Kota Arbinda di wilayah Sahel, Burkina Faso, pada Senin (16/1).
ADVERTISEMENT
Insiden penculikan tersebut berlangsung secara terpisah ketika para perempuan ini sedang mencari makanan di daerah yang diblokade kelompok teroris pada Kamis (12/1) dan Jumat (13/1).
Akibat blokade, kawasan ini sangat bergantung pada pasokan dari luar.
"Saat keluar mencari buah-buahan liar, istri, ibu, dan anak perempuan itu diambil orang bersenjata secara tidak sah," tutur Gubernur Sahel, Letnan Kolonel Rodolphe Sorgho, dikutip dari AFP, Selasa (17/1).
"Segera setelah hilangnya mereka diumumkan, berbagai upaya diluncurkan untuk menemukan semua korban tak bersalah ini dalam keadaan aman dan sehat," tambah dia.
Pengungsi Burkina Faso terlihat di tempat penampungan di Tougbo, Pantai Gading, pada 22 Januari 2022. Foto: Sia KAMBOU / AFP
Sorgho menerangkan, beberapa wanita berhasil melarikan diri dan kembali ke desa untuk melaporkan kejadian tersebut.
"Semua cara yang tersedia sedang digunakan, di udara dan di darat, untuk menemukan para wanita ini," kata seorang pejabat keamanan.
ADVERTISEMENT
"Pesawat terbang di atas area itu untuk mendeteksi gerakan yang mencurigakan," imbuhnya.
Seorang perwira senior militer Burkinabe yang dirahasiakan namanya menyebut hilangnya puluhan perempuan itu sebagai penculikan besar pertama sejak krisis keamanan meletus di Burkina Faso.
"Semuanya harus dilakukan untuk menghindari tragedi atau pengulangan kembali," tegasnya.
Serangan di Ibukota Burkina Faso. Foto: REUTERS/Anne Mimault
Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, Volker Turk, telah menyerukan pembebasan segera dan tanpa syarat semua perempuan korban penculikan tersebut. Dia mendesak pihak berwenang untuk menemukan dan menghukum mereka yang bertanggung jawab.
"Ini bisa menjadi serangan pertama yang dengan sengaja menargetkan wanita di Burkina Faso," terang Turk.
Salah satu negara termiskin dan paling bergejolak di dunia ini telah bergulat dengan pemberontakan kelompok ekstremis sejak 2015.
ADVERTISEMENT
Pergolakan tersebut sudah menewaskan ribuan orang dan membuat sekitar dua juta lainnya mengungsi dari Burkina Faso.
Pemberontak kerap mengincar Arbinda dan sekitarnya. Sekitar 80 orang, termasuk 65 warga sipil, juga tewas dalam serangan terhadap konvoi yang membawa mereka ke Arbinda pada Agustus 2021.
"Penduduk Arbinda, yang telah menghabiskan pasokannya, berada di ambang bencana kemanusiaan," ujar juru bicara masyarakat sipil, Idrissa Badini, pada November 222.
Tentara Burkina Faso memegang potret tentara yang tewas dalam serangan di Burkina Faso utara, saat upacara pemakaman di Ouagadougou, Burkina Faso, Sabtu (8/10/2022). Foto: Vincent Bado/REUTERS
PBB mencatat, hampir satu juta orang tinggal di daerah yang diblokade di bagian utara dan timur Burkina Faso.
Merasa frustrasi dengan konflik yang berkepanjangan, perwira militer telah melakukan dua kudeta dalam satu tahun terakhir.
Pemimpin junta terbaru adalah pria berusia 34 tahun, Kapten Ibrahim Traore, yang merebut kekuasaan pada 30 September.
ADVERTISEMENT
Traore menjadikan isu keamanan sebagai prioritas nomor satu rezimnya. Dia telah memperkuat sebuah kelompok milisi sukarelawan dan mengarahkan pandangannya pada penaklukkan kembali wilayah yang diduduki oleh gerombolan teroris.