Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Aaron Maslim, Pemuda Medan Jadi Software Engineer di Shopee Singapura
10 Maret 2022 15:21 WIB
·
waktu baca 7 menitBekerja di startup raksasa barangkali jadi cita-cita banyak orang saat ini. Namun bagi Aaron Maslim , seorang software engineer asal Medan, Sumatera Utara, berkarir di Shopee Singapura bukan hal yang ia bayangkan sebelumnya. Kini, dia sukses membawa proyek-proyeknya digunakan di berbagai negara.
“Meskipun halaman checkout itu bukan saya yang megang dari awal, tapi saya yang menentukan bagaimana performanya, bagaimana meningkatkan performanya, dan sebagainya,” katanya saat dihubungi kumparan via Google Meet, Senin (7/3) lalu.
Sebelumnya, pria penyuka gim roleplaying ini terlibat dalam proyek OCHA, yakni sistem POS (Point of Sale) atau mesin kasir. Proyek yang juga jadi garapan pertamanya di Shopee itu dipakai oleh toko-toko dan restoran.
Kelebihannya, selain terintegrasi dengan sistem kasir itu sendiri, OCHA juga terintegrasi dengan sistem inventaris penjualan dan pengiriman di beberapa negara, seperti Thailand dan Vietnam.
“Ini salah satu project yang saya handle, target utamanya sebenernya UMKM. Jadi mereka bisa pakai sistem ini untuk jualan, kemudian bisa juga melakukan analisis penjualan mereka, itu produk mana yang bagus penjualannya, misalnya. Jadi bisa dianalisis dan bisa dilihat bagian mana yang perlu dikembangkan lagi,” jelas Aaron.
Ia mengaku proyek ini berkesan, sebab lingkupnya besar dan ia bersama tim membangunnya dari nol. Baginya, ada kesenangan tersendiri saat toko-toko menggunakan sistem itu. Aaron pun punya pengalaman menarik soal ini.
“Tiga atau empat tahun lalu, saya pernah dikasih kesempatan untuk berkunjung ke Vietnam. Jadi di sana pas kita baru mulai project OCHA ini, ada team bonding lah istilahnya. Pas jalan-jalan itu kita ke satu toko boba dan kita beli bobanya. Pas di sana, eh kita lihat ini mereka pakai sistem kita. Dan itu suatu kebanggaan tersendiri, sih, melihat sistem yang kita bangun itu dipakai dan digunakan untuk kita sendiri,” kenangnya.
Tantangan Awal Karir
Jauh sebelum ke Singapura, usai lulus dari Universitas Sumatera Utara (USU), Aaron bekerja untuk sebuah perusahaan di Medan. Tawaran lantas datang dari seorang teman yang lebih dulu bekerja di Garena. Aaron pun tertarik.
“Saya coba research tentang perusahaannya, kemudian saya lihat ada potensi (untuk berkembang) di perusahaan itu. Jadi saya coba apply, belajar interview dan sebagainya. Ternyata saya lolos,” kata Aaron.
Di sisi lain, Aaron melihat tawaran bekerja di Singapura bisa menjadi wadah untuk belajar teknologi lebih dalam.
Pria kelahiran tahun 1992 ini mengaku proses seleksi dan masa setelah diterima kerja di sana tidak mudah. Selama seleksi, dia harus menyiapkan diri dengan memahami problem-problem pemrograman dan dasar IT lainnya.
Tak berhenti di situ, pada masa probation atau percobaan kerja, Aaron langsung dihadapkan dengan proyek anyar yang sedang dikembangkan perusahaan.
“Jadi saya harus berusaha keras belajar teknologi baru, coba testing running ke project. Kebetulan waktu itu pas saya masuk saya diberikan tanggung jawab untuk mendesain sebuah sistem yang baru. Jadi itu sebuah tantangan yang besar, sih,” katanya.
Sebagai perantau, Aaron mengakui ada kesulitan yang dialami saat bekerja di perusahaan global. Kendala bahasa salah satunya.
Selama bekerja ia harus bersinggungan dengan tim dari negara lain, seperti Thailand dan Vietnam yang–sama seperti Aaron–tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Hal ini bikin Aaron sempat sulit memahami maksud lawan bicaranya.
“Saya harus belajar bahasa Inggris, mereka juga harus belajar bahasa Inggris. Jadi bagaimana kita bisa mengerti bahasa Inggris yang kita bincangkan,” ujar Aaron.
Selain bahasa, pria berkacamata itu menyebut gaya komunikasi mereka juga agak berbeda. Ada yang lebih suka basa basi, tapi ada juga yang to the point. Kuncinya, bagi Aaron, harus bisa saling memahami saja.
Sebagai startup raksasa, Shopee Singapura mempunyai nilai-nilai penting yang dijunjung oleh karyawan. Aaron mengakui, itu yang membuat budaya kerja di sana sedikit berbeda dari perusahaan lamanya di Indonesia.
“Pas kerja di Shopee, saya lihat orang-orangnya itu mereka bekerja sangat dengan penuh komitmen. Misalnya kita sudah menentukan target misalnya, di bulan ini kita mau launching fitur ini, jadi semua project manager, semua QA, mereka bakalan fully commit untuk bisa men-deliver project ini. Itu sebuah budaya yang saya sangat suka,” jelasnya.
Di sini, Aaron juga lebih banyak berinteraksi dengan pekerja dari banyak negara. Sementara saat di Medan, Aaron lebih sering bekerja dengan orang Indonesia.
“Pas bekerja dengan orang-orang berbeda background ini menurut saya sangat menarik, sih. Soalnya mereka punya cara pandang yang berbeda, cara untuk menyelesaikan masalah yang juga berbeda,” tutur Aaron.
Bermula dari Gim
Minat Aaron pada dunia teknologi ternyata sudah dipupuk sejak dini. Sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar, ia menggandrungi gim dan mulai penasaran bagaimana cara membuatnya.
Hal ini bikin dia ikut kursus komputer. Di sana, Aaron belajar banyak software, mulai dari Microsoft Word hingga bahasa programming.
Ia lantas mulai aktif ikut perlombaan IT dan problem solving di SMP dan SMA. Puncaknya, dia dikirim sebagai tim OSN Informatika dan berhasil membawa pulang medali perak dan perunggu. Aaron pun masih aktif berlomba di masa kuliah.
Melihat potensi ini, Aaron tak ragu untuk berkarir di dunia IT selepas lulus dari USU pada tahun 2014. Usai bekerja di Medan, dia pun terbang ke Singapura untuk Garena, perusahaan teknologi raksasa kala itu.
Aaron punya tips agar bisa terserap ke industri global. Menurutnya, penting untuk punya komunitas atau koneksi ke komunitas yang sesuai dengan minat kita. Siapa tahu, dari kenalan itu kita bisa belajar banyak, bahkan mendapat kesempatan bekerja di perusahaan besar.
“Kalau misalnya kita sudah terjun ke komunitas tadi, kita bisa memberikan kontribusi kita melalui open source, Jadi di IT itu ada coding-coding yang memang disebarkan orang supaya bisa dipakai orang lain," ujarnya.
“Misalnya di website sendiri, itu ada banyak komponen ya, ada tombol-tombolnya, gambar-gambarnya. Untuk itu ada orang yang membangun tombol-tombol tersendiri tapi mereka bangunnya di open source. Jadi kalau kita mau pakai, kita bisa. Portfolio-portfolio seperti ini sangat membantu, sih,” jelas Aaron.
Lebih lanjut, induk perusahaan tempatnya bekerja, Sea, baru saja merilis Sea Labs Indonesia. Melalui program pelatihan ini, Aaron menjelaskan, talenta-talenta digital muda Indonesia bisa mendapatkan eksposur secara global.
Industri IT menjadi salah satu industri yang sedang banyak dilirik anak muda saat ini. Aaron pun setuju akan hal itu. Supaya bisa jadi talenta IT yang cemerlang , menurut Aaron, seseorang harus mau stay up to date dengan mempelajari teknologi terbaru. Sebab, perkembangan IT sangatlah cepat. Selain itu, penting untuk punya keinginan untuk terus belajar.
Jadi Akademisi vs Praktisi
Di balik kecintaannya pada teknologi, Aaron ternyata senang mengajar. Waktu di Medan, pria 29 tahun itu pernah menjadi guru les komputer untuk murid SD sampai SMA.
Semasa kuliah, Aaron mendapat kesempatan jadi asisten dosen. Ia membantu mahasiswa semester 1 hingga 4 belajar programming.
Saat bekerja pun dia dipercaya menjadi mentor untuk karyawan-karyawan baru. Selain bisa membantu perkara teknis, Aaron juga berbagi pengalamannya selama bekerja di Singapura.
Punya minat mengajar sempat membuatnya kepikiran ingin jadi akademisi. Dia pun tak menutup kemungkinan itu di masa depan.
“Lihat kesempatan ke depannya, kalau misalnya ada kesempatan untuk jadi akademisi, why not? Tapi kalau untuk (jadi) praktisi, tetep saya lanjutkan. Yang jelas saya pasti akan tetap berkarir di bidang IT,” ujar Aaron.
Dia mengatakan, nantinya mungkin ia menetap di Singapura sembari bekerja dan belajar lagi. Namun, bukan tak mungkin dia kembali ke Indonesia jika pemerintah meminta. Terlebih, ia tertarik untuk mengembangkan industri digital di Indonesia. Aaron punya syarat sendiri untuk itu.
“Apa yang perlu saya berikan dan apa yang kita coba bangun. Jadi kalau apa yang kita coba bangun itu bermanfaat untuk Indonesia, untuk masyarakat Indonesia, why not? Dan yang kedua pastinya (soal) kompensasi,” katanya.