Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Sebuah video berdurasi 30 menit terkait kelompok yang mengklaim mereka Aliansi Dokter Dunia di Eropa menjadi perbincangan publik. Dalam video itu terdapat 7 orang dokter yang menyebut virus corona jenis baru SARS-CoV-2 yang saat ini tengah mewabah tak lebih dari flu biasa.
ADVERTISEMENT
Ditelusuri dari situs resmi mereka, kelompok ini mendeskripsikan diri sebagai kelompok kesehatan nirlaba yang independen. Sasaran utamanya sebenarnya satu: mengakhiri lockdown yang dilakukan sejumlah negara. Baik parsial maupun total.
"Saya ingin menyatakan bahwa tidak ada pandemi atau epidemi medis," kata salah satu dokter, Elke de Klerk.
Video ini sempat diunggah dan ramai dilihat di YouTube. Tak sedikit yang mengamini.
Namun YouTube kini telah menghapus video tersebut. Namun, video ini kadung menyebar di platform lain seperti Facebook, Instagram, maupun WhatsApp.
Lalu apa tanggapan Satgas COVID-19 di Indonesia terkait hal ini?
Jubir Satgas Prof Wiku Adisasmito mengatakan, konten pada video yang disebarkan oleh kelompok Aliansi Dokter Dunia dalam dunia akademis termasuk kedalam misinformasi. Kajian misinformasi COVID-19 terdiri dari tiga yaitu: misinformasi terhadap keyakinan yang bersifat umum, keyakinan terhadap teori konspirasi, dan keyakinan dari agama.
ADVERTISEMENT
"Konten informasi dalam video ini dapat diidentifikasikan sebagai misinformasi yang muncul dengan menyamakan COVID-19 dengan influenza. Kita tahu penyebab, dinamika transmisi dan akibat dari kedua penyakit tersebut berbeda," kata Prof Wiku kepada kumparan, Selasa (27/10).
Kata Wiku, hal ini bisa berhubungan dengan adanya empat hal, di antaranya:
1) keyakinan terhadap penanganan pandemi
2) kepatuhan untuk mencegah COVID-19 seperti menggunakan masker
3) keyakinan terhadap keamanan vaksin
4) minat untuk melakukan vaksinasi COVID-19
Realitanya isu COVID-19 bisa disalahartikan karena virus adalah mikroorganisme yang tak kasat mata. Kehadirannya baru dapat dirasakan saat mikroorganisme yang bersifat patogen tersebut dapat menimbulkan manifestasi gejala penyakit pada makhluk hidup.
"Oleh karena itu kita perlu memahami situasi/ kondisi terkini dengan melihat perkembangan data yaitu kasus aktif, kasus kematian, maupun kasus kesembuhan baik nasional maupun internasional akibat dari penyakit ini," ujar dia.
ADVERTISEMENT
Misinformasi dapat mempengaruhi respons individu terhadap informasi. Masyarakat harus didorong untuk mengevaluasi kredibilitas informasi serta merujuk informasi tentang COVID-19 kepada lembaga yang dapat dipercaya seperti WHO, PBB, CDC.
"Di Indonesia tentunya sumber tepercaya diperoleh dari Kemenkes dan Satgas COVID-19," ujar dia.
Selain itu untuk mengatasi masalah ini maka dapat dilakukan counter informasi oleh jurnalis dan pengamat yang memiliki ideologi konservatif di media (tokoh masyarakat/ tokoh terpandang) yang memiliki akses terhadap data dan informasi yang valid.
"Memang benar adanya perkembangan upaya pengendalian COVID-19 mengalami kemajuan yang lebih baik, namun protokol kesehatan termasuk menggunakan masker, menjaga jarak dan mencuci tangan harus tetap dilakukan secara disiplin dan kolektif," tutupnya.
Wiku pun menyebutkan sumber-sumber dari penjelasannya tersebut:
ADVERTISEMENT
Sumber:
1. Z. Barua, S. Barua, S. Aktar, N. Kabir, and M. Li, “Effects of misinformation on COVID-19 individual responses and recommendations for resilience of disastrous consequences of misinformation,” Prog. Disaster Sci., vol. 8, p. 100119, 2020, doi: 10.1016/j.pdisas.2020.100119.
2. D. Romer and K. H. Jamieson, “Conspiracy theories as barriers to controlling the spread of COVID-19 in the U.S.,” Soc. Sci. Med., vol. 263, p. 113356, 2020, doi: 10.1016/j.socscimed.2020.113356.
3. G. Andrade, “The role of psychiatrists in addressing COVID-19 conspiracy theories,” Asian J. Psychiatr., vol. 53, p. 102404, 2020, doi: 10.1016/j.ajp.2020.102404