Amnesty International Sebut Pemilu 2024 Banyak Intimidasi, Benarkah?

23 Februari 2024 19:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid ditemui di Yogyakarta, Senin (15/1). Foto: Arfiansyah Panji/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid ditemui di Yogyakarta, Senin (15/1). Foto: Arfiansyah Panji/kumparan
ADVERTISEMENT
Amnesty International Indonesia menyebut Pemilu 2024 diwarnai oleh banyak intimidasi dan pembatasan terhadap suara kritis.
ADVERTISEMENT
“Sasarannya termasuk pegiat seni, jurnalis, dan akademisi yang vokal. Ada pula sasaran yang mengarah kepada pihak yang bersuara kritis seputar kecurangan pemilu, termasuk yang berasal dari pendukung kubu yang berlawanan dengan kubu yang didukung Presiden Joko Widodo,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid dalam siaran persnya, Jumat (23/2).
Usman mengatakan, pihaknya mencatat sejak masa kampanye pemilu hingga sehari jelang pemungutan suara pada 14 Februari 2024. Ia menyebut, ada 16 kasus serangan yang menyasar setidaknya 34 pembela HAM yang bersuara kritis terhadap pemerintah.
Salah satu yang menonjol, kata dia, adalah intimidasi dan pembatasan kalangan sivitas akademika yang bersuara kritis mengenai pemilu. Dari mulai intimidasi atas sejumlah akademisi Universitas Indonesia, Universitas Muhammadiyah Semarang, hingga pembubaran acara diskusi di Universitas Negeri Yogyakarta.
Ilustrasi Pemilu. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
Ketua Badan Pengurus Amnesty International Indonesia, Marzuki Darusman, menambahkan data tersebut menambah jumlah serangan yang terjadi selama periode 2019 hingga 2023, yaitu 363 kasus dengan sedikitnya 1033 korban. Serangan tertinggi dengan 268 korban terjadi sepanjang tahun 2023.
ADVERTISEMENT
“Kecenderungan meningginya pembatasan ini merupakan implikasi dari sikap Presiden Joko Widodo yang membela satu kubu. Ini menimbulkan situasi di mana orang-orang yang tidak sekubu dengannya, seolah berada di luar perlindungan hukum negara,” kata Marzuki.
Lebih lanjut, Amnesty mencatat, pembatasan semakin marak pada hari-hari menjelang pemungutan suara pada 14 Februari. Pada 1 Februari, misalnya, salah seorang warga asing yang hadir dan melakukan pemotretan Aksi Kamisan di Jakarta diamankan petugas imigrasi.
"Pada 3 Februari, sekelompok orang membubarkan paksa rapat mahasiswa di dekat Universitas Trilogi Jakarta. Rapat itu bertema “Pemilu Curang dan Pemakzulan Presiden Joko Widodo," katanya.
"Pada 5 Februari, terjadi sabotase di acara deklarasi akademik guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) bertajuk 'Mencegah Kemunduran Demokrasi Malu Menjadi Bangsa'. Pada 7 Februari, sekitar 100 orang menggelar protes di depan kantor YLBHI dan KontraS. Mereka menuduh kedua lembaga tersebut melakukan provokasi isu pemakzulan Presiden," sambungnya.
Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari yang terlibat dalam film dokumenter 'Dirty Vote'. Foto: Dok. Dokumentasi Dirty Vote untuk Pers
Lebih lanjut, dia juga mengatakan setelah dirilis pada 11 Februari, sejumlah aktivis yang berperan dalam film dokumenter “Dirty Vote” dilaporkan ke polisi. Mereka adalah Dandhy Laksono (sutradara) dan tiga pengajar hukum tata negara, yakni Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti.
ADVERTISEMENT
Kata dia, film yang menyoroti dugaan kecurangan Pemilu 2024 ini dituduh sebagai kampanye hitam terhadap pasangan capres dan cawapres tertentu dan melanggar ketentuan masa tenang.
Kemudian, sehari jelang pencoblosan, pada 13 Februari, sekelompok orang menyerang sejumlah mahasiswa saat menggelar aksi penyampaian pendapat di dekat Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat. Aksi tersebut menyoroti kecurangan pemilu dan mendesak pemakzulan Presiden Jokowi.
“Pola kriminalisasi dan pembungkaman kritik-kritik atas pemilu seakan membawa kita ke masa Orde Baru, ketika kritik-kritik yang ingin memastikan pemilu berintegritas dianggap sebagai ancaman,” sebut Marzuki.