Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
AMR Dijuluki Pandemi Senyap, Guru Besar FKUI Ungkap Penyebab dan Penularannya
13 Oktober 2022 10:02 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Resistensi Antimikroba )AMR) ramai diperbincangkan publik 2 hari terakhir. Ia disebut sebagai pandemi senyap karena angka kesakitan dan kematian yang tinggi, sementara keberadaannya ‘senyap’ tak seperti COVID-19.
ADVERTISEMENT
Jadi, AMR ini merupakan kondisi seseorang yang mengidap penyakit menular kemudian tubuhnya resistensi terhadap obat dan atau antibiotik. Hal ini membuat kelompok ini semakin sulit untuk sembuh karena tubuhnya sudah kebal terhadap suatu antibiotik.
Dokter spesialis penyakit menular dan penyakit dalam Prof Tjandra Yoga Aditama memberikan penjelasan detail terkait hal ini. Menurutnya, seseorang yang mengalami AMR bisa menularkan ke orang lain.
Yang perlu dicatat AMR hanya terjadi pada mereka yang terserang penyakit menular baik karena virus, bakteri maupun jamur. Jadi, tidak berlaku bagi mereka yang berpenyakit nonmenular misal seperti jantung hingga diabetes.
“Jadi kalau kita ambil contoh amoxicillin kalau flu dikit makan, flu dikit makan, semua orang kan tahu ya. Amoxicillin obat antibiotik yang biasa begitu ya, lama-lama orang enggak tahan sama amoxicillin, artinya kumannya jadi tidak bisa lagi dibunuh sama amoxicillin,” kata Prof Tjandra kepada kumparan, Kamis (13/10).
“Kemudian naik obat berikutnya. Akhirnya kalau sudah naik obat yang paling tinggi, maka bisa saja orang itu, di dalam tubuhnya, tidak bisa dibunuh dengan antibiotik yang paling kuat sekalipun,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Ini yang membuat seorang pengidap AMR semakin lama dalam proses pengobatannya. Guru Besar FK UI ini pun menjabarkan detail terkait kemungkinan AMR bisa ditularkan ke orang lain.
“Kemudian kalau orang itu sakit, maka sakitnya yang bisa menular sakitnya, sakit yang ditularkan ke orang lain. Orang yang baru itu walaupun dia belum pernah makan antibiotik sama sekali, dia sudah akan mendapatkan kuman yang nggak bisa dibunuh sama antibiotik, gitu,” tuturnya.
Mantan Direktur WHO Asia Tenggara kemudian memberikan ilustrasi. Jadi, misalnya seseorang sudah punya penyakit seperti TBC sekaligus AMR, ia bisa menularkan keduanya melalui kontak-kontak langsung maupun melalui barang satu pemakaian.
“Jadi buka COVID-nya yang menular ke sana ke mari, itu konsep yang berbeda. Ini konsepnya ada orang yang sudah mendapatkan penyakit yang ada kuman yang nggak bisa dibunuh lagi, penyakit itu ditularkan orang itu,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Bisa Juga karena Minum Obat Tak Teratur
Direktur Pascasarjana Unviersitas YARSI ini menjelaskan, AMR juga bisa disebabkan faktor minum obat yang tidak sesuai takaran.
“Atau gini deh, orang makan obat nggak teratur gitu ya gara gara orang makan obat nggak teratur, dalam tubuhnya kumannya tidak bisa dibunuh oleh obat itu. Terus penyakitnya menular ke orang lain, orang lain yang makan abad teratur sebenarnya tapi gara gara ditulari oleh orang yang sudah kadung punya AMR, orang baru ini kena AMR juga,” tutur Prof Tjandra.
“Kumannya nggak bisa dibunuh juga sama dan itu sudah terjadi,” sambung dia.
Lantas, apakah orang dengan AMR masih bisa sembuh?
“Tentu saja bisa, tergantung jenisnya. Kan waktu itu si Paran (penyintas TBC dan AMR) juga sembuh,” tutup dia.
ADVERTISEMENT
Kisah Paran bisa dibaca di sini.
WHO mengkhawatirkan penyakit resistensi antimikroba (AMR) menjadi salah satu ancaman terbesar terhadap kesehatan masyarakat global saat ini. Tidak hanya mempengaruhi manusia, hewan dan lingkungan juga turut terancam.
“WHO memperkirakan resistensi antimikroba, secara langsung maupun tidak langsung, telah berhubungan dengan 4,9 juta jiwa di 204 negara selama tahun 2019,” ujar Deputi Menteri Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK RI, Agus Suprapto, M. Kes.
Konsumsi antibiotik juga berkembang di kalangan masyarakat, terlebih pada saat pandemi terjadi. Diperkirakan, jika tidak dilakukan pengendalian, maka jumlah kasus resistensi antimikroba (AMR) akan terus meningkat hingga mencapai angka 10 juta di tahun 2050 nanti.