Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jokowi meneken Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia yang menghidupkan jabatan wakil panglima di struktur organisasi TNI. Beragam spekulasi menyeruak. Apa yang sebetulnya menjadi pertimbangan kembalinya jabatan itu? Benarkah KSAD Jenderal Andika Perkasa menjadi kandidat kuat untuk mengisi posisi tersebut—dan mengapa?
***
Pengalaman Moeldoko menjabat Panglima TNI 2013-2015 memberinya satu pelajaran penting: TNI butuh wakil panglima. Baginya, kebutuhan itu sudah mendesak. Pria yang kini menjabat Kepala Staf Kepresidenan itu menceritakan betapa repotnya ia mengendalikan suatu operasi ketika sedang berada di luar negeri.
Moeldoko pun harus mendelegasikan tugas panglima kepada salah satu kepala staf. “Jadi, menurut saya, enggak efektif kalau begitu,” ujar sang mantan panglima di ruang kerjanya, Gedung Bina Graha Kompleks Istana Negara, Jakarta Pusat, Jumat (15/11).
Itu sebabnya Moeldoko sering mencuri waktu untuk berbicara khusus dengan Presiden Jokowi di sela kunjungan kerja mereka. Purnawirawan jenderal bintang empat itu acap menyisipkan perbincangan soal kondisi pertahanan, termasuk kebutuhan TNI akan sosok Wakil Panglima TNI.
“Ada kekosongan-kekosongan pada saat panglima pergi, padahal (pos) ini enggak boleh kosong,” tegas Moeldoko.
Wacana menghidupkan kembali jabatan wakil panglima sebenarnya bukan barang baru. Moeldoko, saat menjabat Panglima TNI, pernah mengusulkannya ke Jokowi pada Maret 2015. Tiga bulan kemudian, ia mengirimkan draf keputusan presiden (Keppres) perihal wakil panglima ke Sekretariat Negara.
“Saya mengajukan (itu) sudah melalui kajian yang panjang. Jadi tidak serta-merta mengajukan walaupun kami punya pengalaman empirik,” kata Moeldoko.
Namun, suara pemerintah kala itu masih terbelah menanggapi kebutuhan posisi wakil panglima. Tedjo Edhy Purdijatno, Menkopolhukam kala itu, menolak usul Moeldoko. Ia menilai keberadaan wakil panglima belum mendesak.
“Kan selama ini ada Kasum (Kepala Staf Umum) Panglima atau Kepala Staf matra TNI yang (bisa) ditunjuk menggantikan panglima, jadi ya belum (penting),” ujarnya, Juni 2015.
Berikutnya, setelah tongkat komando Panglima TNI berpindah dari Moeldoko ke Gatot Nurmantyo, wacana posisi wakil panglima tak pernah lagi terdengar.
Namun empat tahun berselang, Jokowi meneken Perpres 66/2019 tentang Susunan Organisasi TNI. Mantan Wali Kota Solo itu menandatangani Perpres tersebut pada Jumat, 18 Oktober 2019, atau lima hari sebelum ia mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Maju. Di dalam Perpres tersebut, termuat aturan tentang posisi wakil panglima dalam struktur TNI.
Selama ini, wakil panglima di tubuh angkatan bersenjata mengalami pasang surut, tergantung kebijakan setiap rezim. Keberadaan kursi wakil panglima pertama kali dibentuk Soeharto saat Orde Baru. Orang terakhir yang menjabat wakil panglima adalah Fachrul Razi—kini Menteri Agama Kabinet Indonesia Maju Jokowi. Ia hanya menduduki posisi wakil itu selama satu tahun dalam rentang 1999-2000.
Fachrul dicopot dengan hormat menyusul dihapuskannya jabatan wakil panglima oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Selain untuk efisiensi, Gus Dur menilai jabatan itu sebenarnya tidak eksis dalam struktur organisasi TNI.
Kini, kembalinya posisi wakil panglima di era Jokowi dilatari beban tugas TNI yang kian berat. Jokowi berharap, keberadaan wakil panglima bisa membantu panglima dalam mengelola TNI.
“Coba, berapa (anggota) TNI yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote?” kata Jokowi di Istana Negara, Jumat (8/11).
Terlebih, postur organisasi TNI juga membengkak. Jokowi, dalam Perpres 66/2019, menambahkan 289 posisi baru yang akan ditempati perwira tinggi TNI.
Belum lagi penambahan sejumlah satuan strategis di tubuh TNI yang lebih dulu dilakukan, seperti Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan), Komando Armada 3 TNI AL, Divisi Infanteri 3 Kostrad TNI AD, dan Komando Operasi Angkatan Udara TNI AU.
Penambahan satuan-satuan tugas tersebut, menurut Moeldoko, bertujuan untuk mengakomodir perwira tinggi nonjob yang selama ini menempati lantai 8 Mabes TNI demi menunggu penugasan.
Pada akhir 2017 saja, terdapat 141 perwira tinggi dan 790 kolonel dari Angkatan Darat, Angkatan Udara, maupun Angkatan Laut yang tidak memiliki jabatan struktural. Surplus perwira itu, ujar Moeldoko, harus diatasi. Solusinya adalah dengan membuat jabatan-jabatan baru untuk mereka.
“Saya sampaikan kepada beliau (Presiden Jokowi), ‘Pak, ada sesuatu yang perlu dipikirkan untuk teman-teman perwira Angkatan Darat (yang belum mendapat tugas),’” kata Moeldoko.
“Tapi ternyata perwira nonjob juga (ada) di Angkatan Laut dan Angkatan Udara,” imbuhnya.
Maka, dengan memunculkan jabatan wakil panglima yang diduduki perwira bintang empat, gerbong dan jenjang karier di tubuh TNI akan kembali bergerak.
Jokowi menegaskan, jabatan wakil panglima merupakan usul lama yang tertunda. Ia hanya menindaklanjutinya. Sementara soal mekanisme pemilihan wakil panglima, ia serahkan sepenuhnya kepada Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto untuk mengajukan nama calon.
Jabatan Wakil Panglima TNI dijelaskan pada Pasal 15 ayat (1) Perpres 66/2019 yang berbunyi bahwa Wakil Panglima merupakan koordinator Pembinaan Kekuatan TNI guna mewujudkan interopeabilitas/Tri Matra Terpadu, yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Panglima TNI.
Adapun tugas yang akan diemban Wakil Panglima TNI dijelaskan pada Pasal 15 ayat (2), yakni: satu, membantu pelaksanaan tugas harian Panglima; dua, memberikan saran kepada Panglima TNI terkait pelaksanaan kebijakan pertahanan negara, pengembangan postur TNI, pengembangan doktrin, strategi militer, serta pembinaan dan penggunaan kekuatan TNI.
Tiga, melaksanakan tugas Panglima TNI apabila berhalangan sementara atau tetap; empat, melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh Panglima.
Moeldoko menyatakan, posisi wakil panglima idealnya diemban perwira tinggi bintang empat di lingkungan TNI. Jokowi, menurut Moeldoko, akan mempertimbangkan keseimbangan antar-matra untuk pengisian posisi tersebut.
Oleh karena itu, ujarnya, KSAD Jenderal Andika Perkasa dan KSAL Laksamana Siwi Sukma Adji adalah yang paling mungkin menduduki posisi tersebut. Sebab, Panglima TNI saat ini, Marsekal Hadi Tjahjanto, berasal dari Angkatan Udara.
Andika Perkasa kemudian disebut-sebut paling potensial untuk mengisi jabatan wakil panglima. Kabar itu sudah berembus di kalangan anggota Dewan di Senayan.
“Saya dengar juga begitu (Andika Perkasa Wakil Panglima),” kata Dave Akbarshah Fikarno, anggota Komisi I DPR yang membidangi urusan pertahanan.
Dua sumber kumparan di lingkaran Istana dan Mabes TNI pun menyebut Andika Perkasa hampir bisa dipastikan menjadi Wakil Panglima. Salah satu alasannya adalah karena masa pensiun Andika masih panjang. Sementara Siwi yang saat ini berusia 57 tahun akan purnatugas pada Mei 2020.
Andika tak lain merupakan menantu mantan Kepala Badan Intelijen Negara A.M. Hendropriyono—purnawirawan jenderal di lingkaran dekat Presiden Jokowi.
Karier Andika melesat setelah menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden pada 2014. Setelah itu, pada 2016, ia menjabat sebagai Panglima Komando Daerah Militer XII/Tanjungpura di Kalimantan.
Andika yang kini berusia 54 tahun mendapatkan gelar bintang tiganya ketika bertugas sebagai Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan, dan Latihan AD pada 2018. Kariernya semakin menanjak setelah dipercaya menjadi Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Hingga akhirnya pada November 2018, ia menjadi jenderal bintang empat setelah diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat—posisi tertinggi di AD.
Andika sendiri enggan berspekulasi soal posisi wakil panglima. “Jangan tanya saya. Kan bukan saya yang memutuskan,” kata Andika saat menghadiri upacara wisuda Purnawira Pati TNI AD di Magelang, Senin (11/11).
Sejumlah sumber di Istana mengatakan, Andika akan ditunjuk menjadi wakil panglima agar komando di Angkatan Darat dapat diserahkan kepada perwira lain. Andika Perkasa , menurut mereka, dinilai tak berhasil menyolidkan internal AD sejak duduk sebagai KSAD.
Internal AD terbelah saat menghadapi Pilpres 2019. Kondisi juga memanas setelah Mayjen (Purn) Soenarko ditangkap dalam kasus dugaan kepemilikan senjata api ilegal di tengah isu penunggang gelap aksi demonstrasi menolak hasil Pilpres.
Selain itu, Andika dianggap kurang mengakar di Angkatan Darat. Alhasil, pembinaan internal di AD mandek. “Jokowi ingin AD profesional,” kata seorang sumber.
Muradi, pakar militer Universitas Padjajaran, menyatakan TNI selama ini kerepotan bila tidak ada perwakilan Angkatan Darat di pucuk pimpinan TNI. Padahal, AD punya kekuatan personel paling besar di antara ketiga matra. Ia juga punya jaringan penguasaan teritorial hingga tingkat desa.
“Sampai hari ini, kita sudah punya beberapa panglima yang bukan dari AD, dan itu (TNI) kerepotan,” ujar Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Unpad itu.
Di samping itu, kebutuhan organisasi TNI semakin besar. Ada fungsi yang tidak bisa didelegasikan kepada Kepala Staf Umum TNI.
“Jadi memang posisi dari wakil panglima ini bisa men-delivery program dengan simbol-simbol baru,” imbuh Muradi.
Pandangan berbeda diungkapkan pemerhati militer Aris Santoso. Ia menilai, jabatan wakil panglima tidak terlalu mendesak di tubuh TNI. Baginya, jabatan itu hanya diada-adakan dengan alasan politis.
Posisi tersebut, menurutnya, jika kelak dipegang Andika Perkasa , hanya untuk menyenangkan Angkatan Darat.
“Ini bagi-bagi jabatan aja. Wakil panglima ini kan juga bintang empat,” ujar Aris.
Jabatan wakil panglima, di mata Aris, dimunculkan untuk mengurangi ketegangan antarmatra. Dengan demikian, perwakilan tiga matra dapat berada di pucuk pimpinan strategis TNI.