Anggota DPR Kritisi Menag yang Konsultasi ke Kemenkumham Soal Pembatalan Haji

10 Juni 2020 18:52 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rapat komisi VIII DPR dengan Menag Fachrul Razi untuk Pembahasan Awal Dana Haji, Kamis (28/11). Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rapat komisi VIII DPR dengan Menag Fachrul Razi untuk Pembahasan Awal Dana Haji, Kamis (28/11). Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan
ADVERTISEMENT
Komisi VIII DPR menanggapi pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi yang telah mengaku salah dalam memutuskan pembatalan ibadah haji 2020.
ADVERTISEMENT
Menurut Fachrul, seharusnya dia membahas hal ini terlebih dahulu dalam rapat kerja bersama Komisi VIII.
Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf, mengatakan dalam poin pertama keputusan pembatalan haji itu, mempertanyakan Kemenag yang berkoordinasi dengan Kemenkum HAM dalam memutuskan pembatalan ibadah haji.
Sebab, kata Buchori, Menag mengatakan keputusan ini berdasarkan instruksi Presiden Jokowi.
“Secara yuridis, pembatalan dan pemberangkatan haji seharusnya dilakukan berdasarkan kesepakatan antara DPR RI dengan pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama. Sebab, hal ini sudah diatur di Pasal 36 dan 47 UU No. 8/2019. Jadi, bukan dengan pihak luar (red: Kemenkum HAM)” kata Bukhori dalam keterangan tertulisnya, Rabu (10/6).
Menurutnya, langkah Kemenag yang meminta pendapat hukum kepada Kemenkum HAM tidak tepat karena tugas Kemenkum HAM adalah menerima harmonisasi dan sinkronisasi peraturan di bawah UU, termasuk Keputusan Menteri.
ADVERTISEMENT
Sehingga Menag dinilai menyalahi wewenang dan merendahkan jabatan Presiden.
“Apakah Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 494 tahun 2020 sebelum diterbitkan sudah diharmonisasi oleh Kemenkum HAM?” ucap dia.
Kemudian dalam point kedua, mengenai surat dari Menag kepada Pemerintah Arab Saudi yang meminta tidak menerbitkan visa undangan (mujamalah) atau visa mandiri (furada) kepada jemaah dinilai tidak lazim. Sebab, hal itu merupakan kewenangan Pemerintah Arab Saudi sehingga pemerintah tidak bisa bertindak seenaknya.
“Jika mengacu pada UU No 8/2019 Pasal 82 ayat (2) huruf (e) disebutkan bahwa Jemaah haji yang menggunakan visa haji mujamalah undangan Pemerintah Arab Saudi cukup melaporkan penyelenggaraan ibadah haji khusus kepada Menteri. Tidak perlu kemudian Pemerintah Indonesia sampai bersurat ke Pemerintah Arab Saudi. Silakan dibaca kembali undang-undangnya” ucap dia.
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf saat rapat kerja virtual Komisi VII bersama Kepala BNPB/ Gugus Tugas Covid 19 di Jakarta, Senin (6/4). Foto: Dok. DPR RI
Lalu dan point ketiga, terkait dana haji yang diklaim aman karena dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Bukhori menuturkan, terbitnya KMA Nomor 494 tahun 2020 secara substansi telah melampaui kewenangan Kemenag.
"(Padahal) jelas sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait pengadaan barang dan jasa seperti pelayanan konsumsi, transportasi, dan petugas haji. Intinya, KMA 494 tahun 2020 terasa seperti Perppu," tutur Bukhori.
Terakhir dalam point keempat, adanya bantahan Fachrul Razi kepada sejumlah pihak yang menilai keputusan pembatalan ibadah haji 2020 dilakukan terburu-buru, Bukhori mlihat sanggahan itu memperkuat indikasi bahwa pemerintah gagal paham terkait prosedur pemberangkatan dan pembatalan jemaah haji seperti yang diatur UU.
“Keputusan pemberangkatan atau pembatalan keberangkatan jemaah haji itu harus sesuai UU. Dalam proses pemberangkatan jemaah haji itu harus ada kesepakatan antara Komisi VIII DPR RI dengan Pemerintah. Pertanyaannya adalah, apakah kesepakatan antara DPR RI dengan Kementerian Agama juga batal?” ujar Bukhori.
Menteri Agama Fachrul Razi (kanan)minum air disela-sela rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/1). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Maka dari itu, sebagai mitra kerja dari Kemenag, Bukhori memberikan dua catatan kepada Menag. Pertama, dalam Pasal 1 UUD 1945 dijelaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum sehingga konsekuensi dari ketentuan tersebut adalah seluruh penyelenggaraan kebijakan pemerintah harus didasarkan pada hukum.
ADVERTISEMENT
Kedua, mengenai keputusan pembatalan haji sebenarnya Menag harus perlu memperhatikan dua aspek krusial. Mulai yakni materil dan formil. Kedua aspek itu harus diperhatikan sesuai dengan proporsional.
“Keputusan Menteri Agama membatalkan haji dengan melangkahi sejumlah peraturan perundang-undangan adalah preseden buruk yang kita harapkan tidak lagi terulang. Ke depan, Menteri Agama harus sepenuhnya tunduk pada UU No. 8 Tahun 2019,” pungkas dia.
***
ADVERTISEMENT
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona!