Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Gaya berbusana Brigjen Andi Rian Djajadi, Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri , baru-baru ini menjadi buah bibir. Perwira polisi senior yang memimpin barisan penyidik dalam Tim Khusus Kasus Pembunuhan Brigadir Yosua ini pada beberapa kesempatan diduga mengenakan kemeja yang harganya menembus jutaan rupiah.
Pada salah satu foto yang diributkan warganet, Andi Rian tengah berbicara dalam konferensi pers di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok. Ia terlihat memakai kemeja gelap bergaris-garis kelabu-merah, dengan pin Bareskrim tersemat di bagian kiri dada.
Pakaian tersebut bermerek Burberry, dengan tipe Check Stretch Cotton Poplin Shirt. Dalam website resmi Burberry, kemeja kasual ini dijual seharga USD 490 atau setara Rp 7,27 juta, belum termasuk pajak dan ongkos kirim.
Situs Burberry tidak menyediakan pengiriman langsung ke Indonesia, namun kemeja tersebut dapat dibeli dengan mudah melalui berbagai e-commerce dengan harga bervariasi, mulai Rp 15 juta sampai Rp 5 juta.
Pada foto lain, Andi Rian tampil dengan kemeja putih bergaris hitam melintang di dada. Tertulis “Burberry” di antara garis-garis hitam pada bagian kiri dada, menandakan bahwa kemeja tersebut juga keluaran Burberry—rumah mode mewah asal London, Inggris.
Baju putih seri White Embroidered Logo Oxford Shirt itu dipasarkan dengan harga USD 470 atau Rp 6,9 juta, belum termasuk pajak dan ongkir. Namun, Andi Rian menolak mengomentari keriuhan di jagat maya terkait kemeja-kemeja yang ia gunakan.
“Tugas saya bukan untuk menanggapi netizen. Tugas saya memastikan bekas perkara [pembunuhan Yosua] diterima jaksa untuk dibawa ke persidangan,” kata Andi Rian singkat kepada kumparan.
Jenderal bintang satu itu tentu bukan satu-satunya polisi yang menyandang barang mewah. Sosok penting yang tengah ia usut—Irjen Ferdy Sambo—pun memiliki aset-aset dengan nilai yang kemungkinan besar jauh lebih fantastis.
Kekayaan Sambo menjadi sorotan sejak ia resmi menjadi tersangka dalam kasus kematian Yosua, ajudannya. Rumah pribadinya yang megah di Jalan Saguling, Duren Tiga, Jakarta Selatan, kerap disinggahi berbagai pihak terkait kasusnya, sehingga rutin tertangkap kamera wartawan dan menghiasi pemberitaan.
Mobil-mobil mewahnya yang terpampang dalam rekaman CCTV pun bukan main-main. Sejumlah mobil Lexus dan Alphard tersebut harganya masing-masing berkisar Rp 1–2 miliar. Semua harta mewah Sambo itu belum tercatat resmi dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Rumah megah Sambo kian jadi sorotan saat polisi menggelar rekonstruksi di sana yang ditayangkan live oleh TV Polri. Dalam tayangan itu, tampak rumah Sambo di Jl. Saguling terdiri dari tiga lantai yang dilengkapi lift.
Ruang tamu di rumah itu terlihat begitu luks. Sofa mewah tertata rapi di atas lantai kayu. Nuansa megah bertambah dari lampu sorot yang menerangi ruangan dari sejumlah sudut, menyiramkan nuansa keemasan pada ruang tamu itu.
Pada salah satu lantai, terlihat walk-in closet berisi barang-barang sang istri, Putri Candrawathi. Walk-in closet merupakan sebuah ruang khusus untuk menyimpan pakaian serta aksesorinya, termasuk tas, sepatu, dan perhiasan. Walk-in closet jadi pilihan ketika barang-barang si empunya rumah tak muat ditempatkan hanya dalam beberapa lemari.
Salah satu lemari kaca berpanel putih pada walk-in closet itu tampak berisi deretan tas mewah. Salah satu yang tersorot jelas oleh kamera adalah tas anyam kulit berwarna merah keluaran Bottega Veneta—brand mewah asal Italia.
Di pasaran, tas seri Red Leather Mini BV Jodie Top Handle Bag itu dijual pada kisaran USD 1.450–2.500 atau setara Rp 21–37 juta, belum termasuk pajak dan ongkos kirim. Dan ini tentu bukan satu-satunya tas branded yang dimiliki Putri.
Saat rekonstruksi berlangsung, misalnya, Putri menenteng tas keluaran Gucci—fashion brand premium yang juga asal Italia. Produk tipe Boston Bag Top Handle GC Supreme Medium berwarna cokelat itu memiliki harga pasaran Rp 17 jutaan.
Sebagai istri jenderal bintang dua, Putri bisa dibilang punya selera busana yang baik. Merek-merek mewah yang ia kenakan berpadu dengan tampilan elegannya, dari atas sampai bawah. Dalam rekonstruksi itu pun ia memakai busana serbaputih, serasi dengan sepatu ketsnya yang juga berwarna putih.
Melihat Putri dan aset-aset mewah Sambo, tak salah bila orang menyebut mereka keluarga polisi kaya raya. Sayangnya, polisi kaya mengundang cibiran masyarakat—sejak lama.
Sejumlah anggota parlemen seperti Adies Kadir dan Johan Budi menyindir gaya glamor polisi dalam rapat Komisi III DPR dengan Kapolri, Rabu (24/8). Menurut Adies, polisi yang hidup mewah, terlebih dipamerkan di media sosial, akan membuat rakyat sakit hati. Apalagi Polri merupakan pelayan masyarakat.
“Kami tak menghalang-halangi polisi punya mobil banyak [kalau memang mampu]. Tapi gaya hidup tak usah di-upload ke medsos sehingga membuat masyarakat nyinyir, ‘Oh, begini toh Polri,’” kata politisi Golkar itu.
Senada, Johan Budi menyindir beberapa Kapolres yang gaya hidup mewahnya ditampilkan di medsos. Legislator PDIP yang juga mantan Juru Bicara KPK itu sering menemukan “Kapolres pamer” saat berkunjung ke daerah-daerah.
“Saya enggak mengomentari soal dia kaya atau tidak… Enggak ada yang melarang orang [jadi] kaya. Tapi jangan ditunjukkan. Jangan show off. Apalagi kalau dia penegak hukum.”
Komisi Kepolisian Nasional menilai, kebiasaan sebagian polisi untuk bergaya hidup mewah bukan sepenuhnya salah mereka. Sebab, sejak Orde Baru, hal tersebut dijadikan semacam tradisi untuk mengerek karier mereka. Alhasil, kultur ini tak bisa hilang begitu saja.
Gaya hidup mewah tersebut misalnya memiliki mobil mahal, rumah dan apartemen mewah, pakaian dan sepatu bermerek, merokok cerutu, hingga main golf.
“Golf merupakan olahraga sekaligus upaya ‘lobi’ para pejabat sejak masa Orde Baru. Ini dilakukan oleh para pejabat sipil maupun ABRI (TNI dan Polri) di era Presiden Soeharto untuk meningkatkan karier mereka,” kata anggota Kompolnas Poengky Indarti.
Terlebih, selepas Orde Baru, terjadi kenaikan besar anggaran Polri, buah pemisahan mereka dari TNI dan membaiknya kesejahteraan rakyat. Pada 2021, misalnya, anggaran Polri Rp 105,9 trilliun, naik Rp 1 trilliun dari tahun sebelumnya. Malahan, tahun 2022 ini, anggaran Polri mencapai Rp 111 trilliun, terbesar kedua setelah Kementerian Pertahanan.
“Pada masa Presiden Jokowi, anggaran Polri meningkat pesat, dan lebih dari 50% anggaran tersebut untuk membiayai gaji personel. Sementara dana [yang masuk di luar gaji] tersebut rentan disalahgunakan dan menjadi sumber untuk memperkaya diri sendiri,” ujar Poengky.
Jurus Tak Ampuh Mengekang Gaya Hedon
Polri bukannya tak melakukan apa-apa untuk mendisiplinkan anggotanya di jalur hidup sederhana. Sebaliknya, institusi itu sudah berkali-kali mengeluarkan aturan untuk mengekang gaya hidup mewah personelnya.
Tahun 2017, Jenderal Tito Karnavian yang saat itu menjabat Kapolri mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2017 tentang Penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. PNS Polri yang tidak menyerahkan LHKPN akan dikenai sanksi.
Masih tahun yang sama, 2017, terbit pula Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2017 tentang Usaha Bagi Anggota Polri yang mengatur tentang sejumlah larangan dan syarat bagi polisi yang hendak berbisnis. Salah satunya: dilarang bekerja untuk mencari keuntungan pribadi.
Berikutnya, muncul Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2017 tentang Kepemilikan Barang yang Tergolong Mewah oleh Pegawai Negeri Polri. Berdasarkan aturan ini, aset milik anggota Polri perlu disesuaikan dengan kemampuan ekonominya. Aset tersebut juga harus diperoleh dengan cara yang sah—dari gaji, warisan, atau cara-cara legal lainnya.
Aset mewah pun harus dilaporkan ke Propam. Barang yang tergolong mewah misalnya mobil dengan harga di atas Rp 450 juta, dan rumah senilai lebih dari Rp 1 miliar. Selain itu, anggota Polri yang memiliki barang dengan nilai di atas Rp 500 juta dianjurkan melapor.
Pada saat yang sama, Tito mengancam anggota Polri yang tak menyetorkan LHKPN tak bakal mendapat promosi atau kenaikan pangkat.
Pada 2019, di masa Kapolri Jenderal Idham Azis, Irjen Listyo Sigit Prabowo yang ketika itu masih menjabat Kadiv Propam mengeluarkan Surat Telegram bernomor ST/30/XI/Hum.3.4/2019/DivPropam yang melarang anggota Polri untuk pamer kemewahan. Secara rinci, ada 7 larangan yang diatur dalam telegram tersebut:
Sayangnya, seabrek aturan tersebut terhitung tak ampuh karena kurangnya penindakan. Memang, beberapa anggota Polri diberi sanksi akibat melanggar. Sebut saja AKBP Agus Sugiyarso yang dicopot dari jabatannya selaku Kapolres Tebing Tinggi pada 31 Oktober 2021 karena ulah istrinya yang pamer duit arisan di medsos.
Ada pula Kapolres Labuhanbatu AKBP Deni Kurniawan yang juga dicopot dari jabatannya lantaran kerap memamerkan mogenya di medsos. Moge bertipe BMW R 1200 GS tersebut ditaksir bernilai Rp 700–800 juta.
Baru dua kapolres itu yang sampai saat ini ditendang gara-gara melanggar aturan untuk tidak pamer barang mewah. Menurut Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, pihaknya belum memiliki data lengkap terkait jumlah polisi yang ditindak akibat bergaya hidup mewah. Ia pun meminta agar hal itu ditanyakan ke Propam.
Di sisi lain, Peongky berpendapat bahwa terdapat kelemahan pendataan pada Propam Polri. Menurutnya, “Banyak yang tidak lapor dan Propam tidak proaktif mendata.”
Indonesia Corruption Watch menyatakan, aturan-aturan yang dibuat Polri untuk mendisiplinkan anggotanya dari gaya hidup mewah nyatanya belum membuat masyarakat puas, sebab tak ada kendali kuat pada tataran implementasi.
Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, amat wajar bila masyarakat mempertanyakan kekayaan polisi, sebab anggota Polri adalah pejabat sekaligus pelayan publik, sekaligus aparat penegak hukum.
“Pengawasan [terhadap mereka] melekat 24 jam. Mereka wajib menjawab keresahan masyarakat terkait tindakan atau perilaku mereka. Namun, hal ini sekarang tidak banyak dilakukan oleh pejabat publik, termasuk perwira Polri aktif,” kata Kurnia.
Aturan-aturan yang ada selama ini juga ia nilai tak efektif karena hanya menyoal perilaku polisi di media sosial tanpa menyinggung sumber harta mereka, terlebih bila mencurigakan.
“Kalau hidup mewah tanpa ada kejelasan asal-usul harta kekayaannya, patut diduga ada indikasi kecurangan atau tindak pidana korupsi,” ujar Kurnia.
Bolong-Bolong Melapor Harta
Anggota Polri sendiri cenderung mengabaikan aturan-aturan soal pengawasan harta yang ada di internal mereka. Kewajiban untuk melaporkan harta kekayaan yang diatur dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2017, misalnya, tak lantas mempan membuat para pejabat Polri berbondong-bondong menyerahkan LHKPN.
Berdasarkan penelusuran kumparan terhadap 64 pejabat strategis Polri yang terdiri dari 34 Kapolda dan 34 Pejabat Utama Mabes Polri, terdapat 14 orang yang tak pernah menyetor LHKPN, termasuk Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi dan Komandan Korps Brimob Polri Komjen Anang Revandoko.
“Ketika proses pemilihan calon pimpinan KPK 2019 pun, ada sejumlah perwira tinggi Polri dikirim untuk menjadi pimpinan KPK, tapi ternyata tidak patuh lapor LHKPN. Dari situ saja kita bisa menakar bagaimana rendahnya keseriusan Polri menata internal dalam melaporkan harta kekayaan,” kata Kurnia.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menyatakan, berdasarkan informasi yang ia dapat, gaji pokok Kapolri yang berpangkat jenderal berada di kisaran Rp 5,5 juta, dengan tunjangan kinerja Rp 44 juta.
“[Pangkat] di bawah dia, [gajinya] tentu di bawah itu. Tak bisa untuk mengongokosi hidup mewah,” ucap Sugeng.
Seorang brigadir jenderal polisi, lanjut Sugeng, memiliki gaji sekitar Rp 3,9 juta, dengan tunjangan kinerja Rp 17 juta.
“Jadi kalau dari gaji, tak bisa membiayai pakaian Rp 12 juta,” ujarnya.
Namun, bukan rahasia lagi bahwa polisi memiliki pendapatan lain di luar gaji. Sugeng mencontohkan kasus mantan Kapolres Bandara Soekarno-Hatta Kombes Edwin Hatorangan Hariandja yang menerima uang USD 225 ribu dan SGD 376 ribu (setara Rp 8 milliar) dari barang bukti penanganan kasus narkoba.
“Rp 7–8 miliar itu penghasilan sekali transaksi. Bayangkan kalau banyak transaksi ilegal. Inilah sebab kepercayaan masyarakat rendah [terhadap Polri]. Karena pada praktiknya, sebagian mereka diduga menerima uang haram,” kata Sugeng.
Edwin Hatorangan Hariandja kini telah diberhentikan secara tak hormat dari Polri.
Contoh lain adalah kasus Briptu Hasbudi yang memiliki tambang emas ilegal di Kalimantan Utara. Saat menyidikan, Polda Kaltara menyita sederet barang bukti yang bernilai fantastis, terdiri dari 12 speedboat, 3 alat berat, 1 mobil Alphard, 1 mobil Honda Civic, 1 mobil Toyota Fortuner, 17 kontainer, 1 jet ski, dan 1 rumah yang sedang dibangun.
Semua aset itu adalah sarana yang diduga digunakan untuk kelancaran usaha ilegalnya.
Namun Sugeng meyakini bahwa Hasbudi hanyalah operator, bukan pemilik tambang emas ilegal tersebut. Meski demikian, kasus ini menegaskan bahwa polisi berbisnis adalah urusan runyam, sebab orientasi bisnis ialah keuntungan pribadi atau kelompok.
“Harusnya dilarang tegas. Polisi ya melayani masyarakat, bukan yang lain,” ucap Sugeng.
Tak Semua Gila Harta
Tak semua polisi bergelimang harta dan bermewah-mewah. Johan Budi menceritakan, ia cukup sering bertemu dengan Kapolres yang kerap berderma.
“Ada Kapolres yang dulu kadang tiap Jumat tuh nyegatin tukang becak. Bukan mau ditilang, tapi dilihat dompetnya. Kalau enggak ada isinya, dia kasih Rp 50 ribu,” tutur Johan.
Poengky mengamini. Ia bercerita, sementara beberapa pejabat Polri tenggelam dalam kemewahan, banyak polisi di level bawah malah perlu banting tulang mencari uang tambahan selepas jam kerja demi memutar roda ekonomi keluarga.
“Biasanya tamtama atau bintara berpenghasilan kecil dan tidak punya akses untuk korupsi. Mereka ini banyak yang mengupayakan pemasukan tambahan di luar jam dinas, misalnya dengan jadi tukang ojek,” ujar Poengky.
Kurnia menilai, gaya hidup mewah anggota Polri yang menjadi-jadi belakangan ini tak lepas dari ketiadaan sosok teladan di sekitar mereka. Padahal, dahulu ada sosok Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso yang dikenal karena kejujuran dan kesederhanaannya.
“Tidak ada lagi sosok Hoegeng di lembaga Kepolisian. Kalau ada yang seperti itu, mungkin bisa dihitung jari,” kata Kurnia.
Hoegeng menjabat pada periode 1968–1971. Semasa menjabat, ia beberapa kali hendak disuap, namun tegas menolak. Ia berprinsip: lebih baik miskin ketimbang menerima suap.
Saking sederhana sosoknya, Gus Dur sampai pernah menyebut bahwa hanya ada 3 polisi jujur di negeri ini, yakni polisi patung, polisi tidur, dan Hoegeng.
Megawati Soekarnoputri pun mengenang Hoegeng sebagai sosok yang tak pernah malu menunjukkan kesederhanaannya.
“Dia naik sepeda, loh. Mana ada Kapolri naik sepeda kayak dia? … Malu-maluin, masak Kapolri naik sepeda? [Kata dia], ‘Ya biar saja, ini kan sekalian olahraga,’” kata Megawati saat peluncuran buku Dunia Hoegeng: 100 Tahun Keteladanan, November 2010.