Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Athiya Deviyani, Peneliti AI yang Magang di Google Hingga Apple
1 Maret 2022 9:29 WIB
·
waktu baca 9 menitNama Athiya Deviyani mungkin tak asing bagi para pengguna Twitter. Perempuan yang biasa disapa Tia ini sempat ramai dibicarakan warganet lantaran isi CV-nya yang cemerlang dan sudah wara wiri magang di Google , Goldman Sachs, dan Amazon.
Terbaru, Tia diterima magang untuk departemen Siri di Apple . Cerita ini pun sampai di-retweet oleh Ainun Najib, tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus praktisi teknologi yang dikenal Presiden Jokowi.
Athiya saat ini tengah menempuh program S2 di Carnegie Mellon University jurusan Artificial Intelligence and Innovation. Selain belajar, dia juga sibuk jadi teaching assistant (asisten dosen) bagi mahasiswa S1 dan melakukan riset.
Wanita kelahiran Batam tahun 1999 ini memang punya minat besar di bidang riset, terutama soal kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin (machine learning). Proyek penelitiannya saat ini adalah membuat mesin seperti text-to-speech mampu mengerti bahasa-bahasa yang kurang terkenal atau yang sumbernya sedikit.
“Contohnya kalau di China, dialeknya lain-lain, ya, ada Hokkian, ada Taiwanese, ada Cantonese, itu gimana sih caranya biar gak cuma Mandarin doang yang dia (mesin) mengerti, tapi dialek-dialek tertentu itu dia juga mengerti. Kita enggak mau memarjinalkan bahasa-bahasa yang enggak seterkenal atau enggak digunakan sebanyak bahasa lain (bahasa mayoritas),” jelas Tia kepada kumparan, pada Jumat (18/2) WIB.
Sebelumnya, Tia pernah terlibat dalam riset machine learning di mana ia dan timnya ‘mengajarkan’ mesin untuk mendeteksi kalimat slang atau bahasa gaul. Seringkali bahasa slang tersebut belum tentu ada di kamus dan dapat memuat arti kasar atau muatan negatif.
“Dengan cara kita bisa extend mesin ini untuk slang words (bahasa gaul), colloquial words (bahasa sehari-hari), bad words (kata kasar), itu kita bisa lebih mengerti inti dari sentence itu. Dan ini dipakai untuk identify hate speech (identifikasi ujaran kebencian) di Twitter atau Facebook,” imbuh Tia.
Magang Setiap Liburan Hingga Jadi Lulusan Terbaik
Selama berkuliah, Tia bukan tipikal mahasiswa kupu-kupu alias ‘kuliah-pulang-kuliah-pulang’. Ia kerap menyibukkan diri dengan banyak kegiatan volunteer dan organisasi. Bahkan, ia menghabiskan masa liburan musim panasnya dengan magang di sejumlah perusahaan teknologi raksasa.
Tahun 2019 silam, Tia bergabung dengan divisi YouTube Creator Commerce di Google sebagai Summer Trainee Engineering Program (STEP) Intern. Bersama timnya dia membangun fitur penjualan merchandise para artis atau YouTuber.
“Barang jualannya itu setiap kita nonton (misalnya) video Taylor Swift, itu (iklan) ada di bawahnya. Atau enggak, kita pencet channel Taylor Swift itu kan ada videos, about, dan lain-lain itu ada tab namanya store, dari situ pencet items, dan sebagainya,” jelas Tia.
Tahun selanjutnya, Tia juga bergabung dengan Google sebagai software engineer magang. Tugasnya adalah membangun fitur Timeline di Google Maps.
Tak hanya aktif mengumpulkan pengalaman di industri, perempuan penyuka kickboxing ini juga kerap ikut hackathon dan menang. Acara hackathon merupakan ajang perlombaan IT di mana setiap tim membangun sistem atau aplikasi untuk memecahkan masalah tertentu dalam waktu singkat.
“It’s fun sih for me, jadi kita (dalam waktu) 24 jam kita build the project, solve the problem. Tapi fun part is not the winning, fun part is the process,” katanya.
Ikut berbagai kegiatan dan punya nilai akademis nyaris sempurna, sukses mengantar Tia jadi lulusan terbaik dari program S1 jurusan Artificial Intelligence and Computer Science, The University of Edinburgh.
Ia mengaku tak menyangka dengan pencapaian itu. Pasalnya, Tia berangkat ‘dari nol’ tanpa kemampuan IT yang cakap.
Semasa SMA, Athiya Deviyani memang sangat menyukai matematika. Dia juga sempat mengikuti beberapa perlombaan kecil. Namun, kesukaannya pada bidang IT baru tumbuh saat memilih jurusan kuliah. Kala itu, ia mencari jurusan apa yang tepat untuk mengaplikasikan matematika. Jadilah dia memilih computer science.
“Aku juga mikir karena background aku nature mathematics yang enggak pernah belajar computer science sama sekali, aku kayak ragu, kira-kira jurusan apa yang lebih imbang matematika sama coding. Aku pengen belajar coding tapi juga pengen ngembangin skill matematika juga. Nah, terus aku nemu jurusan artificial intelligence, kebetulan ada di University of Edinburgh. Jadi itu setengah matematika, setengah computer science, which is a perfect degree for me,” terang Tia.
Tia pun ‘makin cinta’ dengan jurusan tersebut. Dia lalu melanjutkan kuliahnya ke jenjang S2. Saat ditanya soal rencana masa depan, Tia pun mantap ingin lanjut S3 sampai mendapat gelar PhD di bidang AI dan menjadi peneliti. Apa alasannya?
“Aku sudah nyoba di industri bagian software engineering, kebanyakan jurusan computer science, lulus S1 langsung kerja. Tapi aku kayak, there’s so much more to learn (ada banyak yang bisa dipelajari). Terus aku pengen aku bekerja keras bukan untuk ngasih cuan ke CEO-CEO dunia, tapi I want to innovate to push human knowledge (aku ingin berinovasi untuk memperluas pengetahuan manusia),” tegasnya.
Menurut Tia, berkutat di bidang artificial intelligence memberinya banyak ruang untuk berkembang.
Sebab, bidang tersebut masih baru, sehingga ada banyak hal yang bisa dieksplor.
“Penemu-penemu itu masih hidup, jadi kita bisa contribute (berkontribusi), soalnya masih bener-bener kosong. Beda kayak bidang-bidang seperti biologi; Charles Darwin itu kan sudah meninggal ya. Jadi susah banget kalau kita mau develop (mengembangkan) sesuatu. Tapi karena ini bidangnya masih baru, I just find it exciting (rasanya menyenangkan) untuk lanjut jadi peneliti,” kata Tia.
Soal Privilege dan Cara Belajar
Athiya Deviyani memang saat ini bukan mahasiswa yang berkuliah karena beasiswa. Namun, dia sadar betul ada cara lain untuk melihat privilege atau hak istimewa.
Sebagai contoh, Tia beberapa kali mengajar di sejumlah event. Salah satunya, mengajar machine learning di program Bangkit Academy yang dihelat Gojek, Google, Tokopedia, dan Traveloka tahun 2021 lalu.
Melalui program itu, wanita 22 tahun tersebut dapat membagikan ilmunya kepada mahasiswa-mahasiswa yang ‘tidak seberuntung’ dirinya yang bisa berkuliah di luar negeri. Tia pun mengaku ada kepuasan batin yang dirasakan saat ia membantu orang lain dengan mengajar.
“Kalau kita ngajarin 1 orang, orang itu mungkin ngajarin ke beberapa orang lainnya. Jadi impact-nya tuh eksponensial. Kadang aku enggak taruh (pengalaman mengajar) di CV, tapi misalnya ada muridku dulu DM aku di LinkedIn, ‘Hai kak aku dapat kerja di sini, makasih, ya’ Itu beneran bikin aku bahagia dan yang tahu tuh cuma aku sama orang itu saja. It is a soul thing yang bikin it’s just make me feel happy in a genuine way,” ujar Tia.
Sebagai lulusan terbaik, Tia punya beberapa prinsip yang selalu dipegang saat belajar. Pertama, kalau ada materi yang tidak dimengerti, lebih baik langsung tanya ke dosen saat itu juga daripada disimpan terus. Sebab, jika ditunda maka akan ada lebih banyak lagi hal yang lebih sulit nantinya.
Tia mengatakan, prinsip lain yang tak kalah penting adalah jangan membandingkan diri kita dengan orang lain. Di tahun pertama, ia mengaku nilainya tak sebaik teman-teman karena belum bisa coding. Namun, Tia tak mau melihat ke atas, sebab hanya akan membuatnya tambah stres.
“Jadi daripada membandingkan diri, aku coba belajar dari orang yang lebih dari kita, gimana mereka bisa lebih dari kita. Kita bisa mikirnya gimana bisa selevel mereka, bukan cuma yang ‘Ah ya udahlah emang seharusnya begitu’. Itu sangat enggak kondusif. Untuk kondusif itu kita jadi temenlah orang-orang yang pinter itu, gimana mereka belajar,
Masa Depan Cemerlang
Saat ini jumlah perempuan yang bekerja di bidang teknologi masih cenderung kalah dibandingkan laki-laki. Athiya pun sadar akan hal itu. Menurutnya, sebenarnya perempuan sangat cocok bekerja di IT, sebab tak mengandalkan kekuatan fisik dan bisa dilakukan di mana saja.
Ia juga menyayangkan anggapan yang mengatakan bahwa bidang IT hanya untuk laki-laki saja. Menurutnya tidak ada hal ‘manly’ di IT; semua orang bisa terjun ke dalamnya.
Tia punya pengalaman kurang menyenangkan terkait ini. Karena jumlah perempuan lebih sedikit di IT, banyak orang yang memandangnya bisa diterima magang di perusahaan besar karena dia perempuan.
“Kadang mereka (perusahaan) juga hire orang kulit hitam, hire orang Asia biar ‘Oh we are very diverse’ (kita sangat beragam). Dan the reason why orang tuh mikir aku masuk, bukan karena aku pinter, bukan karena kerja keras, itu karena aku cewek. Which is pretty annoying, kan, aku kayak, apa bedanya gitu. Itu satu kendala yang kita harus don’t care. Tapi at the end, how lucky can you be if you keep having this achievement? (betapa beruntungnya kalau kamu mempertahankan pencapaian ini), kan pasti ada faktor kerja keras, faktor intelligence juga,” jelas Tia.
Oleh karena itu, dia memilih untuk fokus pada kemampuan dan usaha kerasnya. Tia memang belum benar-benar tahu pasti ingin jadi apa di masa depan. Satu yang pasti, dia ingin selalu bisa berkontribusi untuk ilmu pengetahuan.
“That’s academia, that’s research in general, definitely bukan industri atau software engineering udah pasti enggak. I wanna do research. Jadi, where I will be, I don’t know, tapi I will be where I can do the most in the field that I care about (di mana aku akan berada, aku enggak tahu. Tapi aku bakal ada di tempat di mana aku bisa lakukan banyak hal yang aku suka),” terangnya.
Salah satu fenomena yang menyita perhatiannya adalah soal adanya bias dalam penerapan sistem AI. Ada banyak kaum minoritas seperti ras Asia atau kulit hitam yang wajahnya ‘tidak terbaca’ oleh sistem. Tia pun ingin menggali topik ini lebih dalam saat nanti ia S3.
Tia menggambarkan, sebuah sistem pengenalan wajah sempat mendeteksi perempuan berhijab sebagai telur. Problem tersebut mungkin bisa dipecahkan dengan mudah. Namun, Tia mengaku ada kekhawatiran lainnya.
“Ada misalnya kita enggak bisa buka face ID karena misalnya kulit kita gelap segala macem, kan, that’s very bad as AI is built for everyone, it should be built by everyone (itu buruk sekali, melihat fakta bahwa AI dibangun untuk semua orang dan seharusnya dibangun oleh semua golongan),” kata Tia.
Sebelumnya, dia pernah mengangkat topik serupa dalam skripsi S1-nya, bagaimana membuat sistem pengenalan wajah yang bisa digunakan oleh gender atau ras manapun. Skripsinya itu menuai pujian dan nilai yang baik.
“I think that’s one thing that I genuinely care about (satu hal yang aku benar-benar pedulikan) dan semoga aku punya kemampuan untuk make AI more fair in the future (membuat AI lebih adil di masa depan),” imbuhnya.
Soal kembali ke Indonesia, Tia mengatakan itu masih jadi rencana jangka panjang. Sebab, dia masih harus menamatkan S2 dan berencana lanjut S3.
Dia pun mengaku tak terlalu memikirkan akan berkarier di suatu negara tertentu. Tia hanya ingin kesempatan itu membuka peluangnya untuk meneliti sesuatu bagi orang banyak.
“Yang penting aku bisa berbuat kebaikan terbanyak, di situlah aku berada,” ujarnya.