Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Aturan Pemeriksaan Keamanan di Bandara bagi Muslim Berhijab
12 April 2017 5:55 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Setelah menghabiskan lima hari vakansi di Italia, Aghnia Adzkia, mahasiswi Indonesia yang sedang menempuh studi Inggris, hendak kembali ke London. Namun ia tertahan di bandara Ciampino Roma karena harus menjalani prosedur pemeriksaan tambahan. Ia diminta membuka jilbab untuk pemeriksaan menyeluruh dari ujung kepala ke ujung kaki.
ADVERTISEMENT
Aghnia menolaknya. Alih-alih menuruti permintaan petugas untuk diperiksa di ruangan, ia justru menanyakan dasar hukum prosedur keamanan tersebut dan meminta petugas menunjukkannya secara tertulis. Petugas lantas menunjukkan kertas dalam bahasa Italia yang tak dimengerti Aghnia, dan perdebatan terjadi nyaris tak berujung.
Esti Andayani, Duta Besar Indonesia untuk Italia yang baru dilantik bulan lalu, mengimbau semua warga untuk tak terlampau tersinggung apabila mengalami pemeriksaan ketat di bandara Eropa.
"Memang situasi dunia sedang tidak aman. Siaplah jika dipegang-pegang kepalanya (untuk diperiksa di bandara). Namun dari pengalaman (Aghnia) ini, saya yang akan segera berangkat ke Roma akan memasukkan informasi penting soal ini ke website KBRI Roma," kata Esti kepada kumparan (kumparan.com), Selasa (11/4).
ADVERTISEMENT
Situasi tak aman yang dimaksud Esti adalah teror yang belakangan gencar melanda Eropa, mulai serangan Westminster di London, Inggris, bulan lalu ketika Khalid Masood menabrakkan mobil ke para pejalan kaki di dekat gedung Parlemen Inggris dan menyerang polisi hingga 5 orang tewas dan 50 lainnya terluka; ledakan bom di kereta bawah tanah St. Petersburg, Rusia, awal bulan ini, yang mengakibatkan 14 orang tewas dan 15 lainnya terluka; hingga terakhir lagi-lagi teror truk yang ditabrakkan ke kerumunan pejalan kaki di Stockholm, Swedia, yang menyebabkan 4 orang tewas dan 15 terluka.
Esti paham, teror-teror di Eropa yang beberapa di antaranya melibatkan ekstremis muslim, secara tak langsung bisa merugikan para perempuan berhijab, meski mereka jelas-jelas tak ada kaitannya dengan aksi teror, bahkan menentang terorisme.
ADVERTISEMENT
"Apapun, c'est la vie (itulah kehidupan). Saya juga kadang mengalaminya. Paling nggak enak waktu di bandara New Delhi, kami yang perempuan disuruh masuk ke ruangan tertutup dan diraba seluruh tubuh. Saya nggak suka, tapi aturannya begitu," ujar Esti.
Berdasarkan informasi yang ia dengar dari rekannya yang bertugas lebih dulu di Roma, bandara-bandara di Italia memang menerapkan pemeriksaan tambahan untuk mereka yang berkerudung, juga perempuan bertopi.
"Tapi, mereka (rekan berhijab di Italia) tak pernah berpengalaman melintas bersamaan dengan suster," ujar Esti, merujuk pada pengalaman Aghnia yang diminta membuka jilbab, sedangkan dua biarawati dibiarkan melintas tanpa diminta membuka penutup kepala mereka.
Bagaimana sesungguhnya standar keamanan bandara internasional mengatur urusan pakaian, termasuk hijab yang dipakai sebagian perempuan muslim?
ADVERTISEMENT
Prosedur keamanan bandara di dunia, terutama Eropa dan Amerika Serikat, semakin ketat setelah petaka 9/11 --ketika pesawat yang telah dibajak teroris menabrak gedung kembar World Trade Center (WTC) di New York dan menewaskan 213 penumpang pesawat dan hampir 3.000 orang yang sedang bekerja atau berlalu lalang di dalam gedung pencakar langit dan kawasan sekitarnya itu.
Kejadian tersebut mendorong perombakan terhadap peraturan keamanan udara di Amerika pada November 2001. Diterbitkanlah Aviation and Transportation Security Act (ATSA) sebagai landasan aturan keamanan udara. ATSA lantas melandasi terbentuknya Transportation Security Administration (TSA) yang selanjutnya bertanggung jawab atas penjagaan kualitas keamanan bandara di AS.
ATSA kemudian jadi rujukan bandara-bandara internasional lain di dunia. Berbagai perkembangan aturan keamanan udara tercantum dalam akta tersebut.
ADVERTISEMENT
Proses pemeriksaan yang semula lebih longgar, kini dilakukan lebih detail, termasuk misalnya: semua barang bawaan harus masuk dalam rangkaian pemeriksaan, mulai alat pendeteksi logam (metal detector) hingga alat pendeteksi badan peledak.
Benda tajam yang semula bisa disimpan di kabin pun kini dilarang, misalnya pisau saku atau gunting. Pemeriksaan personal juga semakin ditingkatkan. Barang bawaan penumpang dicek dengan detail, termasuk tas tangan.
Perjalanan keluar-masuk pintu bandara-bandara tak lagi semudah sedia kala.
Calon penumpang di bandara harus melewati rangkaian proses pemeriksaan, mulai dari memasuki metal detector, full body scanner, dan ditutup dengan proses pat-down screening di mana para petugas akan mengecek penumpang dengan melibatkan sentuhan tangan pada tubuh penumpang.
ADVERTISEMENT
Prosedur tersebut juga dilakukan pada bagian penutup kepala dan bagian sensitif seperti dada, pantat, dan paha. Petugas akan menekan beberapa bagian lekuk tubuh itu untuk memastikan tak ada benda yang disembunyikan.
Pada prosesnya, para penumpang diminta untuk melepas alat-alat berbahan logam seperti sabuk pinggang, jam tangan, gelang; juga jaket dan sepatu. Setelah dianggap aman, penumpang dinyatakan lolos dan bisa menanti penerbangan.
Dalam proses tersebut, penumpang yang mengenakan penutup kepala seperti kerudung, kain penutup, peci, sorban, atau jenis lainnya, diimbau untuk membukanya --termasuk perempuan muslim diminta membuka hijab, niqab, maupun burka yang ia kenakan.
Bila penumpang merasa tak nyaman dengan pemeriksaan yang dilakukan di tempat umum, penumpang berhak meminta pemeriksaan dilakukan secara privat di ruangan tertutup, ditemani dua petugas yang bergender sama dengannya.
ADVERTISEMENT
Prosedur tersebut ditujukan bagi mereka yang menggunakan artibut tertentu dan tidak nyaman bila pemeriksaan atas mereka terekspose di depan umum.
Hak itu dijabarkan dengan gamblang oleh American Civil Liberties Union yang memperjuangkan hak asasi manusia di mata hukum. Hak tersebut juga diakui secara resmi oleh TSA, dengan harapan penumpang tak perlu khawatir merasa ditelanjangi di depan publik.
Masalahnya, proses screening kerap mendiskriminasi mereka yang memakai identitas keagamaan tertentu. Seorang perempuan yang mengenakan hijab bisa jadi memerlukan waktu berjam-jam untuk melalui proses pemeriksaan keamanan. Seperti halnya yang dialami Nafees Syed, seorang perempuan muslim Amerika.
Syed, seperti dilansir New York Times , butuh waktu lebih lama untuk mengikuti proses pemeriksaan keamanan di bandara. Setelah lolos pemeriksaan tahap pertama, calon penumpang bukan berarti bisa leluasa melenggang masuk ke area bandara. Penumpang berhijab diminta mengikuti proses pemeriksaan tambahan --walau telah lulus pat-down screening
ADVERTISEMENT
Proses tambahan itu disebut sebagai racial profiling, yakni prosedur keamanan berdasarkan warna kulit atau atribut yang dikenakan oleh penumpang. Proses ini kerap dilakukan dengan cara intimidatif dan mempermalukan penumpang, misalnya secara verbal maupun sikap bicara yang cenderung merendahkan dan menyalahkan tanpa basis bukti apapun. [Baca: ]
Sejak kejadian di September 2001, kelompok Muslim, Arab, maupun Asia Tenggara kerap menjadi korban racial profiling dalam proses pemeriksaan keamanan.
Mau-tak mau ada subjektifitas di sini, sebab racial profiling sendiri lahir akibat praduga dan stigma yang melekat di benak para petugas keamanan --entah karena pengalaman reflektif akibat rangkaian terorisme oleh kelompok ekstremis, atau semata kebencian tak berdasar tanpa mencoba mencari tahu fakta lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi semacam itulah yang masih mewarnai proses pemeriksaan di berbagai bandara dan kerap menyulitkan calon penumpang berhijab yang datang dari ras, suku, maupun kepercayaan tertentu.
Terlepas dari suku, ras, dan keyakinan individu, adalah hak asasi semua orang untuk dipandang sama di mata hukum. Namun, seperti disebut Dubes Esti, pengertian satu sama lain juga diperlukan.
Maria Sattwika Duhita, Yudhistira Amran Saleh